Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023

Banten Raya

Rijalul Ansor Banten Perkuat Strategi Dakwah Digital

Pengurus MDS Rijalul Ansor Banten saat menggelar Halaqoh Kiai Muda dan Rakerwil II. (Foto : Hamdan Suhaemi).

Cilegon, NU Online Banten

Pimpinan Wilayah (PW) Majelis Dzikir Shalawat (MDS) Rijalul Ansor provinsi Banten menggelar Halaqoh Kiai Muda se-Banten dan Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) II. Mengusung tema ‘Membawa Dakwah yang Ramah Menyampaikan Cara Humanis Dengan Pendekatan Digital Transformatif’, acara dibuka langsung oleh Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten KH Amas Tajuddin. 

 

Halaqoh dan Rakerwil diikuti oleh masing-masing utusan cabang dan diselenggarakan di pondok pesantren al-Bustaniyah Lingkar Selatan Bagendung Cilegon, Sabtu, (13/11).

 

Ketua PW MDS Rijalul Ansor Banten Hamdan Suhaemi, menyampaikan tiga poin dalam pembahasan Rakerwil II. Pertama, strategi dakwah di era digital. Kedua, menjaga dan merawat khazanah keislaman dan ke-Bantenan. Ketiga, inisiasi forum bahtsul masail tingkat MDS Rijalul Ansor. 


 

Berdakwah Dengan Strategi

 

Kepada NU Online Banten, Hamdan menguraikan, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Al-Muyassar dan tafsir Qur’anul Adhim, bahwa bi thariqil hikmah adalah jalan lurus yang telah di berikan Allah SWT kepada semua manusia yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, kemudian dijelaskan juga al-hikmah adalah hendaklah bercakap-cakap dan berbicara dengan bahasa yang dimengerti oleh orang diajak bicara. 

 

Hamdan mengingatkan bagi para penyeru atau dai. Setiap ucapan dan perkataan yang dilontarkan haruslah berlandaskan al-qur’an dan sunnah, terlebih pada sikap dan tingkah lakunya haruslah sesuai dan cocok dengan ajaran-ajaran al-quran dan sunnah. 

 

“Karena setiap ucapan, perkataan, sikap, dan tingkah laku seorang dai itu akan selalu di lihat dan di pantau oleh orang lain untuk kemudian di jadikan teladan bagi mereka.” Pesan Hamdan. 

 

Kiai muda ini mengatakan, bahwa dakwah bil hikmah, yaitu metode dakwah dengan memberi perhatian yang teliti terhadap keadaan dan suasana yang melingkungi para mad’u (orang-orang yang didakwahi), juga memperhatikan materi dakwah yang sesuai dengan kadar kemampuan mereka dengan tidak memberatkan mereka. 

 

Sebelum mereka bersedia untuk menerimanya. Metode ini juga membutuhkan cara berbicara dan berbahasa yang santun dan lugas. Sikap ghiroh yang berlebihan serta terburu-buru dalam meraih tujuan dakwah sehingga melampaui dari hikmah itu sendiri, lebih baik dihindari oleh seorang pendakwah.

 

"Artinya nasehat yang baik. Dijelaskan dalam tafsir al-muyassar bahwa “al-mauidah khasanah” adalah memberi nasehat yang baik sehingga orang akan suka kepada kebaikan dan menjahui kejelekan." Ujar Hamdan. 

 

Sedangkan tafsir Qur’anul adhim menjelaskan bahwa al-mauidah khasanah adalah memberi nasehat menggunakan perasaan hati dan memahami konteks keadaan, agar mereka menjadi takut dengan siksaan Allah SWT. Dakwah dengan cara mau’izhah al-hasanah, yaitu metode dakwah dengan pengajaran yang meresap hingga ke hati para mad’u.

 

Hamdan menuturkan, pengajaran yang disampaikan dengan penuh kelembutan akan dapat melunakkan kerasnya jiwa serta mencerahkan hati yang kelam dari petunjuk dien. Pada beberapa da’i, ada yang masih saja menggunakan metode dakwah yang berseberangan dengan hal ini, yaitu dengan cara memaksa, sikap yang kasar, serta kecaman-kecaman yang melampaui batas syar’i.

 

“Makna ‘wajadilhum bil lati hiya ahsan’ dalam tafsir qur’anul adhim adalah jika ada orang yang berhujjah atau mengajak berdebat hendaklah melawan dengan raut muka yang manis, sikap yang lembut, dan ucapan yang baik.” Tutur Hamdan.

 

Lebih lanjut, Hamdan mengatakan banyak pendekatan yang bisa diperankan dalam upaya mendakwahkan kebaikan dan kebenaran ajaran Islam. Terutama bagaimana budaya selalu membersamai dengan ajaran, tapi tidak dengan mukholith (berbaur saling menggantikan), intinya adalah agar dakwah terpoles keindahan dengan tutur kata yang baik, bijak dan toleran.  

 

“Ajaran ya ajaran, budaya ya budaya. Keduanya saling melengkapi dan tidak pernah saling gantikan.” Pungkasnya.

 


Editor : Ari Hardi