• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Rabu, 17 April 2024

Fragmen

Kemandirian Muktamar Menes dan Sumbangan KH Hasyim Asy’ari

Kemandirian Muktamar Menes dan Sumbangan KH Hasyim Asy’ari
Muktamar NU Menes ke-13 pada tahun 1938.
Muktamar NU Menes ke-13 pada tahun 1938.

Pada tahun 1938, Muktamar NU ke-13 diselenggarakan di Menes. Sebuah daerah di ujung kulon pulau Jawa. Kepemilikan kendaraan mobil dan motor pun masih bisa dihitung oleh jari. Keterbatasan transportasi modern, juga tidak adanya jalur kereta api menuju Menes.

 

Terpilihnya sebagai arena Muktamar karena perjuangan NU Cabang Menes kala itu. Selain juga untuk membuktikan bahwa NU peduli terhadap semua masyarakat, termasuk yang ada di pedesaan.

 

Namun, hal tersebut tidak menghalangi Muktamirin untuk tidak hadir pada forum tertinggi dalam NU itu. KH Abdullah Ubaid semisal, meskipun berasal dari Surabaya nekad datang menuju arena Muktamar menggunakan sepeda motor.

 

Ketua PBNU kala itu dijabat oleh KH Mahfudz Shiddiq. Segala bentuk kesulitan dan kekurangan disadari betul olehnya. Karenanya KH Mahfudz Shiddiq mengajak kepada Muktamirin untuk menerima segala fasilitas dan konsumsi apa adanya.

 

Kondisi kesehatan yang kurang mendukung membuat Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari berhalangan untuk hadir. Sebagai pimpinan tertinggi NU tentu saja ingin hadir di tempat bersejarah itu.

 

Meskipun berhalangan, kendali Muktamar diserahkan pada Trio pemimpin NU yakni KH Wahab Chasbullah, KH Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah saat itu) dan KH Wahid Hasyim, momen itupun masih didampingi oleh sesepuh seperti Kiai Asnawi Kudus, ditambah para sesepuh yang ada di seantero Banten, seperti Kiai Muhammad Rois, sehingga Muktamar tetap santer gaungnya. Apalagi Kiai Hasyim tetap juga mengirimkan pidato tertulisnya untuk memberikan arahan pada Muktamirin.


Sebagai komitmen pada jam’iyah itu, maka Hadratussyekh Hasyim Asy’ari mendermakan uang sebesar 30 rupiah, uang itu semestinya untuk bekal ke sana, suatu jumlah yang amat banyak. 

 

Selain itu juga banyak ulama lain yang memberikan sumbangan, seperti Rais Syuriah NU Banten menyumbang sebesar 10 rupiah, lalu KH Ismail Pandeglang menyumbang 120,68 rupiah. Total kontribusi dari wilayah dan cabang mencapai 471 rupiah. 

 

Belum lagi ditambah dengan bantuan bahan makanan pokok dari masyarakat berupa beras, gula, minyak goreng, kerbau sapi, sayuran kue dan sebagainya yang ditaksir sekitar 100 rupiah. Dengan demikian Muktamar telah memperoleh dana cukup, yang seluruhnya ditopang Nahdliyin sendiri.

 

Tanpa adanya sumbangan dari penjajah Belanda. Biaya itu selain untuk menjamu para Muktamirin, juga digunakan untuk membangun berbagai gedung dan panggung pelaksanaan Muktamar yang anggun dan megah, sehingga kota kecamatan yang terpencil itu dihadiri oleh umat Islam dari seluruh Nusantara. 

 

Mengingat pentingnya kemandirian dana, maka bisa dipahami kalau Muktamar Menes ini paling serius dalam membahas persoalan ekonomi, mulai pertanian, perdagangan hingga perbankan Islam.


Bahkan para pejabat tinggi wilayah itu hadir dalam pembukaan seperti Patih Pandeglang, Wedono Serang, termasuk Wedono Menes. Bahkan banyak di antaranya yang tertarik mengikuti tahap demi tahap persidangan. 

 

Muktamar itu juga dipantau oleh seorang orientalis terkenal yaitu Dr Pijper, yang saat itu menjabat sebagai kepala Adviseur voor Inlandsche Zaaken (Penasehat Urusan rakyat Pribumi) yang menulis banyak tentang perkembangan Islam awal abad ke-19 hingga abad ke -20.

 

Dengan penyelenggaraan Muktamar di kota terpencil yang sebelumnya tidak cukup dikenal, tiba-tiba kota itu dikenal seluruh Hindia Belanda sebab kegiatan dan kepuutusan Muktamar itu disiarkan oleh berbagai Koran yang berbahasa melayu dan Belanda. 

 

Koran yang terkenal seperti Pemandangan ikut menyiarkan berita Muktamar ini. Belum lagi surat kabar yang diterbitkan NU sendiri seperti Berita Nahdlatoel Oelama dan sebagainya.


Sumber verslaag Muktamar Menes 1938

 

 

Editor : Ari Hardi
 


Editor:

Fragmen Terbaru