Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023

Ubudiyyah

Pengendalian Diri Menurut Umar Bin Khattab

Ilustrasi, (Foto : NU Online)

Dalam kesempatan ini penulis ingin mencoba menguak kalimat mutiara atau sebuah nasihat dari Sahabat Nabi Sayyidina Muhammad SAW yang merupakan Khalifah Islam yang kedua setelah Sayyidin Abu Bakar as-Shiddiq yakni Sayyidina Umar bin Khattab beliau mengungkapkan sedikitnya dua kalimat nasihat yang pertama beliau mengungkapkan bahwa: 

 

لاتنظرُوا إلى صيَامِ أحدٍ ولاَ إلى صلاتِه ولكِن انظُروا إلى مَن إذا حدَث صدقَ وإذَا ائتُمِن أدَّى وإذا أشفَى أيْ همَّ بالمعصِية ورَع

 

Ini merupakan pelajaran tentang pengendalian diri, artinya kira-kira demikian yang pertama ialah janganlah kalian melihat puasanya seseorang atau puasanya seseorang akan tetapi lihatlah orang-orang itu yang ketika berkata-kata yang keluar ialah kebenaran dan ketika diberikan sebuah amanah mereka menunaikannya dan ketika mereka ingin melakukan kemaksiatan mereka menahan diri.

 

Dari nasihat Khalifah Umar bin Khattab ini yang pertama untuk menetapkan kualitas seseorang tidak bisa kita hanya melihat seseorang secara kuantitas aspek-asepek lahiriahnya saja, Dari keterangan tersebut secara jelas disampaikan jangan hanya melihat puasanya atau shalatnya saja, karena terkadang orang itu yang puasanya serius lalu shalatnya terlihat serius akan tetapi kelakuannya sehari-hari, perilaku-perilaku diluar shalat, diluar puasa berkebalikan dengan semangatnya shalat maupun semangatnya puasa.

 

Jadi, pesannya Sayyidina Umar bin Khattab ini ialah kepada kita adalah untuk kalau melihat seseorang itu jangan hanya lihat shalat atau puasanya yang dikhawatirkan kita malah tertipu nanti kita menganggap orang ini shalatnya sudah tekun puasanya juga sudah rajin sekali, pasti ia adalah orang baik. Nah, kalau kita hanya melihat dari sisi itu saja kita bisa terjebak dalam lubang tipuan. Maka, lihatlah pada aspek-aspek lain yang disarankan oleh Sayyidina Umar bin Khattab adalah cari orang lihatlah dan nilailah orang itu yang pertama saat dia bicara. Kalau dia bicara itu yang diomongkan adalah kebenaran atau kebohongan atau dia mungkin melakukan manipulasi-manipulasi informasi dan lain sebagainya. Jadi, coba kita lihat ia yang pertama ialah apa yang ia bicarakan apakah masuk dalam kategori jujur, benar, bohong atau salah.

 

Kedua ialah lihat tanggungjawab dia, kalau dia oleh Gusti Allah SWT diberikan amanah pekerjaan apa, posisi apa atau jabatan apa dia itu amanah atau tidak dia ini curang atau tidak dia korupsi atau tidak dia malas atau tidak dia santai-santai atau tidak dan lain sebagainya. Nah, itukan bagian parameter dari amanah yang dia emban.

 

Sedangkan poin yang ketiga itu, ialah ketika dia “Hamma bi al-Maksiat” jadi, menginginkan kemaksiatan, orang itu kan senantiasa dari dalam dirinya seringkali ada dorongan-dorongan. Mungkin, dari hawa-nafsu lalu bisikan-bisikan syaitan untuk melakukan keburukan ataupun kejelekan. Itu dia mampu atau tidak untuk menahan diri. Lantas timbul pertanyaan loh iya pak bagaimana ya kita mengetahu mampu mendeteksi diri-sendiri ada dorongan atau tidak kalau kita ini mengalami langsung? Ya, mungkin juga bisa dilihat dari lingkungan sekitarnya, loh itu ya teman-temennya sudah melakukan hal yang sia-sia semua dia saja yang tidak yang lainnya sudah curang dia sendirian yang tidak melakukan kecurangan, nah itu kan bisa menunjukkan dan termasuk dalam kategori orang yang mampu menahan diri.

 

Jadi, apakah dia kalau berbicara lurus, apakah dia kalau dia berikan sebuah amanah bertanggungjawab, apakah dia mampu menahan diri inilah yang lebih penting yang kita jadikan sebagai parameter untuk menilai seseorang, menurut Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab. Nah, ini saya kira mudah difahami oleh teman-teman tinggal sama-sama kita mempraktikannya agar kita tidak mudah tertipu,terkadang kita ini tertipu oleh aspek-aspek lahiriah dan aspek-aspek formalitas bukan berarti salah akan tetapi terkadang kurang dalam kalau hanya melihat itu saja.
Tidak sedikit loh orang yang shalatnya rajin lalu puasanya luar biasa, tapi juga korupsinya jalan terus. Tidak sedikit orang orang yang dahulu mungkin tiap tahun melaksanakan umrah akan tetapi yang dia lakukan ditengah masyarakatnya substansinya adalah sebuah bentuk kedzoliman-kedzoliman, kecurangan-kecurangan misalnya. Maka, biar tidak mudah tertipu ya kalau hendak melihat seseorang jangan hanya melihat ritual ibadah shalatnya atau ritual ibadah pusanya saja.

 

Selanjutnya dari nasihat kedua dan inipun mengandung kontravesi mungkin ada yang setuju atau ada yang tidak setuju dari yang beliau ungkapkan bahwa:

 

أميتُوا الباطِل بالسُكوت عنهُ ولا تثَرثرُوا فيَنتبِه الشامتُون

 

Akan tetapi kita akan coba memahaminya lebih mendalam lagi dari substansi yang dimaksud oleh Sayyidina Umar bin Khattab dari nasihat ini bahwa “Amiitu al-Batila” Bunuhlah kesesatan itu “Bi al-Syukuti anhu”  dengan mendiamkannya, “Wala tatsartsaru” jangan kamu sebar-sebarkan dengan gosip dan lain-lainnya “Fayantabihu al-Syaamituna” sehingga membuat para pemfitnah terbangun. Sehingga terus ia terbangun kemudian menyebarkan fitnah-fitnah keji yang sampai padanya.

 

Jadi, ini adalah menurut saya nasihat yang kedua ini penting untuk kita pedomani dalam kasus ya kadang-kadang ada kesalahan-kesalahan, kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh orang-orang disekeliling kita yang itu lebih baik kita diamkan atau seandainya harus diingatkan kita ingatkan secara diam-diam tidak usah di publish tidak usah diumumkan  dikhalayak umum.

 

Seirama dengan kamaqola atau ucapannya para ahli filsuf, ulama faqih dan lainnya tidak sedikit nasihat yang beliau katakan bahwa kalau kita ingin mengingatkan orang jangan dipublik, jangan didepan orang banyak karena alih-alih mengingatkan itu malah jadinya mencela. Jadi yang baik ialah mengingatkan coba ingatkan langsung sampaikan langsung kepada yang bersangkutan tanpa harus kita pamer-pamerkan kesalahannya kepada orang lain atau khalayak umum. Kalimat “Wala tatsartsaru” karena menyebar-nyebarkan itu namanya gosip dalam tinjauan bahasa agamanya ialah “ghibah” yang artinya menyebar-nyebarkan kejelekan, kesalahan, orang lain meskipun itu sebenarnya kebenaran faktanya memang begitu tapi lah iya jangan disebar-sebarkan kalau harus mengingatkan ya mengingatkan saja secara privat atau ya dengan melakukannya diam-diam atau kalau memang sama sekali tidak mungkin “Bi al-Syukuti anhu”  kata Khalifah Umar bin Khattab diamkan.

 

Fayantabihu al-Syaamituna” mengapa kok tidak harus disebar-sebarkan? Supaya tidak memancing orang untuk memfitnah, karena orang itu biasanya kalau yang sudah memfitnah kita menyampaikan kesalahan ibarat 5CM dia akan nambah-menambahi jadi 10CM. Para pemfitnah itu kesalahan 10 akan dia sebarkan kemana-mana menjadi kesalahan 20CM yang 10CM ini yang fitnahnya meskipun hakikatnya yang 10Cm awal ini faktanya, tapi kan akhirnya menjadi 20CM akhirnya ya lahirlah fitnah-fitnah. Biasanya orang yang sudah sangat tidak suka kepada seseorang atau sekelompok orang itu terus mencampur antara yang fakta dengan yang fitnah seolah-olah semuanya fakta, padahal sebagiannya fitnah. 

 

Maka, diantara jalan agar kita tidak terjebak dalam kategori ghibah dan fitnah adalah “Amiitu al-Batila bi al-Syukuti anhu” membunuh kesesatan dengan tidak menyebar-nyebarkannya dengan mendiamkannya ya kalau mau mengingatkannya dengan cara diam-diam. Nah, ini adalah poin penting biasanya kita ini yang mana sudah terbiasa nge-share apa-apa tidak memperdulikan informasi itu hoaks atau tidak itu kan ya terasa gatel ya gereget begitu, kalau ada berita kok unik atau berita yang menurut kita bombastis ini mesti tidak sedikit yang menanggapai, yang nge-like misalnya yang komentar itu biasanya lebih menarik kita untuk kita share atau kita sebarkan. Kalimat nasihat selanjutnya soal nasihat dari Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab ialah:

 

ماندَمتُ على سكُوتي مرةً لكِنني ندمتُ على الكلامِ مِرارًا

 

“Aku tidak pernah menyesal atas kediamankanmu meskipun sekali, jadi tidak pernah sekalipun aku menyesal karena kediamanku. Namun, aku berkali-kali menyesal karena kata-kataku”.


Ini terkadang kita kalau ada kasus kalau ada masalah itu kita memilih diam saja, adakalanya kita reaktif ya responsif memilih ikut berbicara, ikut berkomentar, ikut menilai, ikut men-justment bahkan sekali-sekali ikut memaki mungkin juga tidak sadar ikut memfitnah. 

 

Katanya beliau Khalifah Umar bin Khattab kalau pas aku diam itu tidak pernah aku menyesal, menyesal itu ya aku diam ya tidak ikut-ikutan komentar, kok tidak mencela ya, kok tidak ikut maki-memaki ya aku tidak pernah menyesal atas kediamanku. Akan tetapi, aku berkali-kali menyesal ketika aku ikut berbicara atas kata-kataku jadi ya mungkin ada yang pas ada yang aku puas tetapi aku sering sekali menyesal mengapa aku tadi ikut komentar, aku tadi ikut berbicara dan lain sebagainya. Nah, ini adalah pentingnya pengendalian diri  “Maa nadamtu ‘ala sukutii marratan lakinanni nadamtu ‘ala al-kalami miraraan”.

 

 

Taufik Hidayat at-Tanari, Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Al-Fathaniyah Tengkele, Serang, Banten

 

Sajian tulisan dari hasil ikut kajian “Ngaji Filsafat” MJS Jogjakarta Dr Fahruddin Faiz