• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 26 April 2024

Banten Raya

Kesederhanaan dan Identitas Santri Tak Boleh Pudar

Kesederhanaan dan Identitas Santri Tak Boleh Pudar
Pengasuh Ponpes Ummul Qura KH Syarif Rahmat saat menyampaikan nasihat kepada santri. (Foto: NUOB/Arfan)
Pengasuh Ponpes Ummul Qura KH Syarif Rahmat saat menyampaikan nasihat kepada santri. (Foto: NUOB/Arfan)

Tangerang Selatan, NU Online Banten

Kesederhanaan merupakan salah satu tradisi pesantren yang harus dijaga. Berlatar belakang apapun santri. Baik itu anak pejabat, konglomerat, dan Kiai sekalipun. Seorang santri harus diajarkan kesederhanaan. Penanaman itu penting diajarkan agar seorang santri senantiasa bersyukur dan memiliki semangat jihad dalam menegakkan agama.

 

“Kesederhanaan merupakan tradisi yang ada di pesantren. Sehingga santri bisa belajar bersyukur dan memiliki semangat jihad dalam menegakkan agama,” ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qura KH Syarif Rahmat pada saat peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-29 tahun UQ dan Pelantikan Forum Komunikasi Alumni (FOKAL), Sabtu (11/3/2023) di Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan.

 

Seorang santri tidak dituntut untuk menjadi besar akan tetapi bermanfaat, kata Kiai Syarif, meskipun terlahir dari pondok kecil sekalipun. Kelak seorang santri memiliki tanggung jawab besar di masyarakat. Ia mengibaratkan santri seperti garam. Percikan garam jika ditaburkan kedalam masakan bisa merubah rasa menjadi lezat. 

 

Begitu juga seorang santri. Perannya dalam masyarakat harus dilandasi dengan keindahan akhlak. Dan menanam kebaikan dari ilmu yang ditaburkan oleh seorang santri.

 

“Santri itu ibarat garam, bisa merubah rasa sayur. Bisa mengawetkan ikan-ikan di laut. Karena ikan tidak akan busuk jika sudah ditabur garam. Dan serusak apapun karakter masyarakat, jika tersentuh oleh santri, saya yakin sembuh,” tegas Kiai Syarif.

 

Namun, Kiai Syarif mengingatkan, bahwa santri tidak boleh meninggalkan rutinitas dan kebiasaannya selama di pesantren. Seperti Shalat Tahajud yang telah dilakukan, kebiasaan puasa sunnah Senin dan Kamis yang tidak boleh ditinggalkan.

 

Mengamalkan doa-doa yang diberikan Kiai kepada santri. Karena hal tersebut merupakan bekal santri ketika terjun kepada masyarakat.

 

“Meski santri kecil kelihatannya, sepercik garam bisa mengawetkan ikan di laut yang luas. Ikan-ikan di laut itu bisa menjadi busuk jika tidak ada garam. Dan jadilah garam-garam untuk masyarakat. Dengan garam, ikan di laut itu bisa diawetkan, tapi apa jadinya jika garam-garam itu berubah rasa menjadi tawar?,” analogi Kiai Syarif soal garam kepada santri agar tidak kehilangan identitasnya.

 

Lebih lanjut, Kiai Syarif mengatakan, seorang santri tidak boleh berharap untuk dihargai. Santri harus lebih dahulu mengaktualisasikan diri dengan akhlak dan ilmu. Dan hal tersebut diamalkan untuk diberikan kepada masyarakat. Sehingga kapasitas sebagai santri diakui oleh masyarakat dengan sendirinya.

 

“Jangan pernah meminta untuk dihargai. Tetapi jadilah kalian untuk pantas dihargai. Karena mutiara sedalam lautan pun pasti dicari,” pungkas Kiai Syarif.

 

Pewarta: Arfan Effendi


Banten Raya Terbaru