Banten Raya

MWCNU dan Ranting NU Se-Tangsel Gelar Seminar Deradikalisasi

Ahad, 9 Januari 2022 | 20:00 WIB

MWCNU dan Ranting NU Se-Tangsel Gelar Seminar Deradikalisasi

Seminad Deradikalisasi yang digelad oleh PCNU Tangsel. (Foto: NU Online Banten/Arfan)

Tangerang Selatan, NU Online Banten 

Sebagai upaya memperkuat pemahaman untuk menangkal paham radikalisme, MWCNU dan Ranting NU se-Tangerang Selatan menggelar seminar deradikalisasi. Pasalnya, paham radikalisme bukan menjadi barang asing lagi, semua masyarakat harus memahami bahaya dari paham radikalisme yang memicu terjadinya kekerasan.

 

Islam, baik secara literal maupun sebagai agama berarti kedamaian, ketentraman, dan cinta kasih kepada sesama. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, sehingga identik dengan agama damai. Maka dari itu, radikalisme yang menyebabkan kekerasan tidak menjadi cerminan islam 

 

Dalam seminar tersebut, KH Fuad Tohari, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat yang hadir sebagai salah satu pembicara, memaparkan bahwa Islam sebagai agama yang didasarkan pada prinsip percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (tauhid), percaya kepada risalah Nabi-Nya,  menghargai, dan menyayangi orang lain tanpa harus memandang warna kulit, bahasa, ras atau bahkan agama. 

 

Ia juga melanjutkan dengan mengutip firmankan Allah swt, (Q.S. Al-Isra' [17]: 70), "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan". 

 

Dari kutipan ayat tersebut, anak Adam yang berarti manusia secara keseluruhan adalah individu yang dimulyakan, sehingga Islam pun melarang setiap umatnya untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan dalih agama, baik dalam bentuk teror, intimidasi, fitnah, dan terlebih pembunuhan.

 

Serangan atas hidup seseorang, apakah dengan membunuh, melukai, mengancam, dan menteror yang menjadikan orang takut seperti kasus-kasus terorisme belakangan ini, merupakan serangan terhadap hak-hak hidup manusia. Dan jika terror tersebut dilakukan oleh salah satu umat Islam, maka hal tersebut, sekali lagi, bukan gambaran dari ajaran Islam yang damai dan jauh dari tindakan kekerasan. 

 

Lebih jauh KH Fuad Tohari menjelaskan dalam Islam menghilangkan 1 nyawa yang tidak bersalah, hukumannya seperti membunuh seluruh manusia seperti dijelaskan dalam Q.S al-Maidah/5:32: 

 

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ 

Secara etimologis, “menteror” dalam al-Qur’an berarti; membuat tegang dan takut seperti kata istarhabahum (Q.S. Al-A’raf/7:116). Kata ini kemudian ditafsirkan dengan: arhabuhum (menteror mereka), khawwafahum (membuat mereka takut), dan fazza’ahum (membuat mereka terkejut). Demikian pandangan ahli tafsir kontemporer sebagaimana dinyatakan Abd. Al-Hay al-Farmawi. 

 

Selanjutnya, dalam sunnah Nabi SAW dinyatakan, Islam menghukumi haram semua tindakan yang membuat takut orang lain, meskipun awalnya hanya bercanda. 

 

Sebagaimana diriwayatkan ‘Amir bin Rabi’ah r.a., “Suatu saat seorang laki-laki mengambil dan menyembunyikan sandal temannya dengan maksud bercanda. Peristiwa itu kemudian diceritakan kepada Nabi Muhammad SAW, beliau lalu bersabda, “Jangan membuat takut seorang muslim, karena membuat takut seorang muslim merupakan kezaliman yang besar” (al-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, dengan sanad yang tsiqah/kuat) 

 

Lebih dari itu, ancaman keras ditujukan kepada tindakan teror terhadap muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya (muslim), Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti” dan sabdanya, “Barang siapa menteror seorang muslim, Allah SWT tidak akan melindunginya dari ketakutan-ketakutan pada hari Kiamat”. 

 

Islam menolak dengan tegas terorisme dan bahkan pelakunya dapat dikategorikan sebagai pelaku “Dosa Besar”, tegas KH Fuad Tohari. 

 

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2004 M/1424 H memfatwakan “Haram” bagi tindakan kekerasan ekstemis atau terorisme baik dilakukan perorangan, kelompok maupun negara. 

 

MUI juga mengemukakan dasar-dasar fatwa ini antara lain dari Al-Quran surat al-Hajj:39-40; al-Anfal:60; al-Nisa’:29; al-Maidah:32; al-Baqarah:195; hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim; dan juga kaidah fikih yang artinya “Apabila terdapat dua mafsadat yang saling bertentangan, harus diperhatikan salah satunya dengan mengambil darar (resiko) yang lebih ringan.”               

 

Faktanya, tindakan terorisme, menurut sebagian pelakunya dianggap sebagai bagian jihad yang banyak diajarkan dan dianjurkan Islam. Karenanya harus dilaksanakan walaupun dengan menanggung resiko terhadap harta dan jiwa sendiri maupun orang lain. Padahal, ini merupakan bentuk kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Qur’an tentang jihad. 

 

Sementara, dalam seminar tersebut dijelaskan makna “Jihad” yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu “mengerahkan segenap potensi diri untuk melakukan sesuatu”. Kata ini dengan berbagai derivasinya, disebut sebanyak 41 kali dalam Al-Qur’an yang semuanya berkonotasi peperangan. 

 

Tidak hanya mengenai “peperangan”, istilah “Jihad” juga diperkenalkan Rasulullah SAW sebagai sebuah upaya pengendalian diri dari hawa nafsu. Al Quran dan hadits lebih sering menyebut peperangan dengan al-Qitaal, al Harb, al Ma’rakah, dan al-Sariyah, bukan dengan kata jihad. 

 

Maka dari itu, jihad dalam yang dipahami sebagai tindakan kekrasan dengan dasar agama adalah hal yang disalah pahami. 

 

Abi Bakar Syatha al-Dimyathi dalam kitabnya ‘I’anath al-Thalibin menegaskan, salah satu pengertian  jihad adalah: “Bersungguh-sungguh membantu umat yang termarginalkan secara ekonomi. Bersungguh-sungguh membantu umat yang memiliki keterbatasan sandang, pangan, dan papan. Bersungguh-sungguh membantu umat yang memiliki keterbatasan pendidikan. Bersungguh-sungguh menjadikan keluarganya tercukupi kebutuhan lahiriah (jasmani) dan batiniah (ruhani). Dan bersungguh-sungguh hidup di jalan Allah dengan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah.” Tutup KH Fuad Tohari.

 

Pewarta: Arfan Effendi

Editor: Sofwatul Ummah