Nasional

Pemerintah Tidak Merazia Pengibaran Bendera One Piece, Asal….

Kamis, 7 Agustus 2025 | 16:17 WIB

Pemerintah Tidak Merazia Pengibaran Bendera One Piece, Asal….

Tampak bendera One Piece di bagian belakang truk. (Foto: Dok Ist/Ika Rostianti)

Jakarta, NU Online Banten

Maraknya pengibaran bendera Jolly Roger dalam serial manga populer One Piece asal Jepang di berbagai daerah menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-80 Kemerdekaan Indonesia, pemerintah memberi respons. "Kalau berkenaan dengan bendera One Piece yang itu kaitannya dengan teman-teman komunitas, dan itu bagian dari ekspresi kreativitas, sekali lagi itu tidak ada masalah," ujar Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi dalam keterangan pers di Istana Negara, Jakarta, dikutip NU Online, Rabu (6/8/2025).


Namun, dia mengingatkan agar tidak ada pihak yang memanfaatkan ekspresi tersebut untuk tujuan yang tidak tepat, terutama pada Agustus yang penuh makna perjuangan. "Yang jadi persoalan manakala ada pihak-pihak yang kemudian menggunakan kreativitas teman-teman komunitas ini untuk hal-hal yang kurang pas, secara waktu juga tidak pas. Bulan itu bulan kemerdekaan kita. Itu bukan hadiah, itu pengorbanan para pahlawan," tegasnya.


Pemerintah mendorong masyarakat agar tetap menjunjung tinggi kesakralan bendera Merah Putih, simbol negara yang diwariskan dengan perjuangan dan darah para pendahulu bangsa. "Janganlah ada pihak-pihak yang mengganggu kesakralan bulan kemerdekaan ini dengan membenturkan kreativitas dalam bentuk bendera dengan kesakralan bendera negara. Kita harus mencintai bangsa kita, cintai Merah Putih apa adanya dari lahir, batin, dan kondisinya," terangnya.


Ditambahkan, bendera Merah Putih adalah satu-satunya lambang resmi negara yang harus dihormati sepenuhnya oleh seluruh rakyat Indonesia. "Kalau sebagai bentuk ekspresi, oke tidak ada masalah. Tapi jangan dibenturkan atau dipertentangkan dengan bendera Merah Putih. Tidak seharusnya seperti itu," katanya.


Prasetyo juga memastikan bahwa pemerintah tidak akan melakukan razia terhadap bendera-bendera kreatif seperti bendera One Piece yang dikibarkan masyarakat. Namun, ia mengingatkan agar tidak ada provokasi yang melecehkan simbol negara.



Prasetyo menyatakan, pemerintah tetap membuka diri terhadap kritik, termasuk dari komunitas anak muda. “Kita sangat terbuka terhadap kritik. Kita menyadari kok, memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita perbaiki," ucapnya. Meski demikian, dia menekankan pentingnya menjaga kehormatan simbol negara di tengah kebebasan berekspresi.



Terpisah, Setya Indra Arifin, dosen hukum pidana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) memastikan bahwa tidak ada unsur pidana dalam pengibaran bendera One Piece. ’’Karena hukum pidana dibangun dengan asas legalitas. Artinya, tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dipidana tanpa ada aturan hukum tertulis yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana,” katanya kepada NU Online,  Rabu (6/8/2025).



Dia menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada ketentuan hukum di Indonesia yang secara eksplisit melarang penggunaan atau pengibaran bendera selain bendera negara. Karena itu, menurutnya, pemidanaan terhadap tindakan pengibaran bendera One Piece tidak memiliki dasar hukum yang sah.


Indra juga menyinggung keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1958 yang dahulu pernah mengatur sanksi terhadap pengibaran bendera negara asing di wilayah Indonesia. Dalam regulasi tersebut, lanjutnya, larangan diberlakukan demi menjaga ketertiban umum


Meski begitu, dia menegaskan bahwa konteks tersebut tidak serta-merta dapat diberlakukan untuk kasus pengibaran bendera One Piece. Menurutnya, jika aparat penegak hukum mencoba menggunakan dalih ketertiban umum dan menyamakan bendera One Piece dengan bendera negara asing, maka hal itu akan memunculkan analogi hukum. Padahal, dalam prinsip hukum pidana, tidak boleh menggunakan analogi.


“Jika pun aparat penegak hukum hendak menggunakan dasar ketertiban umum, itu pun akan terjadi yang namanya analogi (mempersamakan bendera One Piece dengan bendera negara lain). Padahal secara prinsip hukum pidana, analogi itu dilarang keras penggunaannya,” jelasnya.


Sedangkan dosen sosiologi Unusia Moh Faiz Maulana menilai fenomena ini menunjukkan identitas populer bernegosiasi dengan simbol-simbol nasional. "Menurut saya, ini adalah ekspresi budaya generasi muda yang mengadopsi simbol global dalam ruang publik Indonesia, termasuk dalam isu sekarang," kata Faiz kepada NU Online, Rabu (6/8/2025).



Secara sosio-antropologis, lanjutnya, penggunaan simbol budaya populer di ruang publik lahir dari kebutuhan akan identitas dan pengakuan sosial. Di era digital saat ini, identitas tidak lagi hanya ditentukan oleh asal-usul atau simbol resmi negara, melainkan juga oleh keterikatan pada komunitas global. 



Simbol seperti bendera One Piece menjadi penanda identitas kolektif yang menunjukkan keanggotaan dalam subkultur anime. "Fenomena ini menunjukkan pergeseran representasi identitas—dari yang berbasis institusi seperti negara dan agama, ke identitas berbasis gaya hidup dan fandom," ujarnya.


Menurut Faiz, popularitas One Piece merupakan bagian dari dampak globalisasi budaya populer Jepang yang telah mengakar sejak 1980-an melalui anime, manga, dan J-pop.  Globalisasi tidak hanya membawa produk, tetapi juga membentuk imajinasi dan nilai seperti kebebasan, persahabatan, dan petualangan, yang diinternalisasi oleh para penggemarnya.



"Dalam perspektif antropologi budaya, ini bisa dibaca sebagai bentuk cultural hybridization, yaitu pertemuan antara nilai lokal seperti nasionalisme Indonesia dan nilai global dari budaya anime Jepang. Ruang publik pun menjadi arena kontestasi simbol antara identitas resmi dan identitas lintas negara,”jelasnya.


Dia menambahkan, simbol bajak laut dalam One Piece memiliki unsur mitologi perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Hal ini memberi resonansi emosional bagi generasi muda. Dalam pandangan sosio-antropologi, tindakan ini merupakan bentuk resistensi simbolik—bukan pemberontakan nyata--, tetapi cara mengekspresikan ketidaknyamanan terhadap aturan negara yang dianggap terlalu formal dan kaku.



"Generasi muda akhirnya memilih kanal yang aman untuk menegosiasikan ruang kebebasan. Budaya populer menjadi sarana legal untuk melawan hegemoni makna resmi tanpa harus menanggung risiko sosial besar," ucapnya.


Faiz juga menyebut fenomena ini sebagai bentuk displacement of meaning, yaitu ketika simbol dari dunia fiksi dipindahkan ke dunia nyata untuk memenuhi kebutuhan identitas dan ekspresi sosial. 


Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat saat ini tidak lagi membatasi identitas pada simbol formal seperti bendera negara, melainkan menciptakan makna baru melalui media populer. "Dalam antropologi, ini disebut ritualisasi simbol hiburan di mana objek hiburan dijadikan tanda kesetiaan, kebanggaan, dan solidaritas dalam komunitas," jelasnya.


Terkait perbedaan respons masyarakat terhadap fenomena ini, Faiz menilai hal tersebut mencerminkan adanya benturan dua rezim makna. Kelompok yang pro melihat ini sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan kreativitas yang tidak mengancam nasionalisme. 


Adapun kelompok yang kontra menilainya sebagai pelanggaran terhadap kesakralan simbol negara. Dalam sosiologi, ini disebut konflik interpretatif yakni satu objek seperti bendera bajak laut One Piece memunculkan tafsir yang berbeda karena latar nilai yang berbeda. 


"Antropologi budaya melihatnya sebagai proses boundary-making. Kelompok nasionalis mencoba mempertahankan batas identitas, sedangkan kelompok fandom ingin membuat batas itu menjadi lebih cair," tutupnya. (M Fathur Rohman, Haekal Attar, Suci Amaliyah)