Marak Jelang Lebaran, Bagaimana Hukum Penukaran Uang?
Mendekati Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Muslim begitu antusias dan sibuk mempersiapkan segala halnya, tak terkecuali kebutuhan akan uang pecahan yang digunakan untuk memberi santunan kepada sanak famili dan lainnya. Tentu saja kebutuhan akan beredarnya uang pecahan mengalami peningkatan. Praktis, bank yang melayani penukaran uang menjadi penuh oleh nasabah yang ingin mendapatkan uang pecahan dari yang terkecil nominalnya hingga pecahan Rp 20 ribu.
Panjangnya antrean dan waktu yang kurang efisien menjadikan mereka enggan pergi ke bank. Fenomena ini dianggap peluang bisnis oleh sebagian masyarakat untuk mengais pundi-pundi rupiah, yakni dengan menyediakan jasa penukaran uang yang berlaku adanya selisih nominal, semisal uang Rp100 ribu mereka tukar dengan nilai Rp 90 ribu atau Rp 95 ribu lembar uang Rp5 ribu atau pecahan lainnya.
Peluang bisnis ini terbukti mendapat perhatian masyarakat secara umum. Dan usaha mereka terbilang cukup mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Kendati demikian, transaksi model di atas perlu perhatian khusus dalam hal status hukumnya dalam literatur Islam, agar masyarakat tidak terjebak dengan praktik bermuamalah yang menyalahi aturan syariat seperti halnya riba.
Secara umum, dalam bertransaksi haruslah memenuhi syarat dan rukun sebagai unsur yang harus dipenuhi. Juga jenis transaksi yang diakadi antara kedua belah pihak (mutaaqidaini) haruslah jelas.
Dilihat dari praktik pertukaran uang yang terjadi di masyarakat seperti gambaran di atas, status transaksi tersebut beragam, bisa berstatus sebagai akad jual beli (bai') maupun akad ijarah. Namun penulis fokus membahas permasalahan ini pada tinjauan akad jual beli.
Pertimbangan praktik pertukaran uang diarahkan kepada transaksi jual beli adalah mengingat bahwa pada zaman sekarang, mata uang terkait dengan neraca perdagangannya (bukan berdasarkan cadangan emas dan perak yang dimilikinya).
Maka hukum transaksi di atas adalah sah dan boleh menurut ulama dari kalangan Mazhab Syafi'i, Hanafi, serta pendapat yang masyhur di kalangan Mazhab Hanbali, karena hal demikian tidak tergolong mal ribawi (kategori harta yang berpeluang riba).
Artinya: ’’Dan disyaratkan dalam jual beli barang kategori ribawi, yaitu terbatas pada dua hal : 1.bahan makanan, seperti gandum, jelai, kurma, kismis, garam, beras, jagung, kacang-kacangan. 2. uang, yaitu emas dan perak sekalipun keduanya tidak dicetak sebagai mata uang seperti bentuk perhiasan, dan emas mentah. Keduanya dari jenis yang sama seperti gandum ditukar dengan gandum dan emas dengan emas secara kontan dan transaksi dilakukan sebelum berpisah. Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami berpendapat dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj " alasan dikatakan riba di sini adalah inti dari nilai/harga mata uang tersebut, maka tidak ada unsur riba dalam uang (selain emas & perak) meskipun berlaku sebagai alat tukar.’’ (I'anah at-Thalibin Juz 3 hal.12-13)
Dalam kitab lain dijelaskan yang artinya, ’’Ulama Madzhab Syafii, Hanafi kecuali Muhammad serta ulama Hambali dalam pendapat yang masyhur, hal ini juga merupakan pendapat al-Qadhi di dalam kitab al-Jamik, Ibnu Aqil serta al-Syirazi dan pemilik kitab al-Mustau'ab, dan lain-lain. Bahwasanya tidak ada riba di dalam uang yang dibuat transaksi walaupun diakui sebagai alat transaksi. Karena uang tidak bisa ditimbang dan ditakar (sebagaimana emas dan perak), serta tidak adanya nash yang menyatakan riba dalam uang sebagaimana dikatakan oleh al-Buhuti.’’ (Mausuu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah).
Sedangkan menurut pendapat yang kuat dari Mazhab Maliki dan sebagian riwayat dalam Mazhab Hanbali, hukumnya tidak diperbolehkan, karena mata uang rupiah bisa disetarakan dengan emas dan perak dalam unsur ribawi-nya.
’’Ulama Mazhab Maliki memiliki silang pendapat, namun pendapat yang kuat di kalangan mereka yang juga merupakan satu riwayat ulama Mazhab Hanbali di mana silang pendapat di kalangan ulama Hanbali ini dikonfirmasi oleh Abu al-Khatib. Hal ini juga merupakan pendapat Muhammad seorang ulama bermazhab Hanafi bahwasanya tidak diperkenankan menjual uang dengan sesama jenisnya secara tidak sama. Dan juga tidak boleh secara hutang, dan juga tidak boleh menjual uang dengan emas atau perak secara utang.’’ (Mausuu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah)
Wallahu a'lam bisshawab
Moh Zainul Arif, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PCNU Kota Tangerang Selatan