PENGGUNAAN fasilitas negara untuk kepentingan pribadi sudah sering terjadi dan kerap dianggap wajar. Mobil dinas dipakai antar-jemput anak sekolah, ruang rapat digunakan untuk acara keluarga, hingga sopir dan hotel dinas dimanfaatkan untuk keperluan pribadi.
Meski terkesan sepele, praktik seperti ini menimbulkan pertanyaan, apakah pejabat publik boleh memakai fasilitas negara untuk urusan pribadi? Lalu bagaimana pandangan Islam dan hukum negara terhadap hal semacam ini?
Islam sangat menjunjung tinggi keadilan, tanggung jawab, dan berhati-hati ketika mengelola harta umat. Islam mengenal konsep malul‘am (harta milik umum), yang harus dijaga dari penyalahgunaan.
Menurut pandangan fiqih, segala bentuk aset yang diperoleh negara dari pajak, zakat, sumber daya alam, atau anggaran publik lainnya masuk ke dalam kategori malul‘am. Fasilitas negara adalah bagian dari harta milik umum yang merupakan amanah bagi pemimpin, dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi.
Ulama besar Mazhab Syafi’i, Imam al-Ghazali (w. 505 H) menulis:
المَالُ المُسْتَخْرَجُ مِنْ بَيْتِ المَالِ، إِذَا أُخِذَ لِغَيْرِ مَصْلَحَةِ المُسْلِمِينَ فَهُوَ غُلُولٌ
Artinya: “Harta yang diperoleh dari baitul mal (kas negara), apabila digunakan bukan untuk kemaslahatan umat Islam, maka hal tersebut termasuk ghulul (pengkhianatan harta publik).” (Ihya Ulumiddin, [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005], Juz II, halaman 145)
Selain itu, terdapat larangan menyalahgunakan harta yang diberikan negara. Disebutkan dalam Al-Qur’an:
وَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۚ
Artinya: “Siapa yang menyelewengkan (-nya), niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu.” (QS Ali Imran: 161)
Secara eksplisit, ayat ini tidak terang-terangan menjelaskan tentang penyalahgunaan fasilitas negara, tetapi secara implisit sebagian ulama menjelaskan bahwa bentuk pengkhianatan atau penyalahgunaan fasilitas negara termasuk ke dalam kategori غُلُولٌ.
Imam Fakhruddin ar-Razi menulis di dalam kitabnya, Tafsir ar-Razi sebagai berikut:
هذا تنزيه لمقام النبوة عن الخيانة، والغُلّ يشمل كل خيانة في المال العام. فكل من كان في موضع أمانة عامة، يجب عليه أن يتقي الله، وإلا فإنه يَغلّ ويأتي بما غلّ يوم القيامة
Artinya: “Ayat ini merupakan bentuk penyucian terhadap martabat kenabian. Ghulul secara makna tidak hanya terbatas pada harta rampasan perang, tetapi mencakup semua bentuk pengkhianatan terhadap harta milik umum. Maka siapapun yang memegang jabatan publik, wajib bertakwa kepada Allah, jika tidak, maka ia telah ghulul dan akan membawanya di hari kiamat.” (Tafsir ar-Razi, [Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1999], Juz VIII, hlm. 430)
Imam al-Mawardi (w.450 H) menulis di dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah, bahwasannya pemimpin adalah wakil umat, bukan pemilik negara. Ia bertugas untuk menjaga fasilitas negara dan mengalokasikannya berdasarkannya kemaslahatan umat.
والسلطان أمين على بيت المال، لا يجوز له أن يصرفه إلا لمصالح المسلمين وفقاً للعدل والشرع
Artinya: “Pemimpin adalah orang yang dipercaya atas baitul mal, tidak boleh baginya untuk mengelolanya kecuali untuk kepentingan umat Islam berdasarkan keadilan dan tuntunan syariat.” (al-Ahkam as-Sulthaniyyah, [Kairo: Dar al-Fikr, 1989], halaman 58)
Sementara Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 dengan tegas menyatakan larangan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, jika ada pejabat yang melanggar, maka akan dikenakan sanksi.
Melihat putusan Musyawarah Nasional (Munas) NU 2002, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membahas seputar korupsi dan sanksi kejahatan yang lain. Meskipun putusan itu tidak secara eksplisit membahas tentang penyalahgunaan fasilitas negara, dalam pandangan syariat, perilaku korupsi merupakan pengkhianatan yang paling berat (ghulul) terhadap masyarakat.
Maka, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa perilaku korupsi juga berkaitan dengan penyalahgunaan fasilitas negara. Tindakan seperti ini, menurut pandangan Islam, penyalahgunaan fasilitas negara termasuk dalam kategori ghulul.
Imam Ibnu Rusyd (w. 595 H) dalam Bidayatul Mujtahid menjelaskan:
ولا يجوز لأحد أن يتصرف في مال المسلمين إلا بإذن الإمام، فإن تصرف فيه لنفسه أو لغيره من غير وجه حق فهو غلول
Artinya: “Tidak diperbolehkan bagi siapa pun mengelola harta milik umat Islam kecuali dengan izin pemimpin (otoritas resmi). Maka, jika mengelola harta (fasilitas negara) untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan, maka itu adalah ghulul.” (Bidayatul Mujtahid, [Dar al-Fikr], Juz I, halaman 348)
Senada dengan hal itu, Imam Nawawi dalam karyanya Raudhath Thalibin menegaskan siapa pun yang menggunakan harta umum untuk kepentingan dirinya tanpa melalui izin yang benar, maka ia telah berdosa, dan harta yang digunakannya harus dikembalikan (Raudhatuh Thalibin, Juz V, halaman 305).
Selain bersandar pada pendapat para fuqaha, problem terkait penggunaan fasilitas negara juga dapat ditinjau melalui pendekatan kaidah-kaidah fiqih (qawa’id fiqhiyyah) yang bersifat universal atau umum. Terdapat satu kaidah yang ditegaskan oleh Imam As-Suyuthi, peran pemimpin sebagai pengelola yang wajib bertindak berdasarkan maslahat (kepentingan) hal layak umum.
التصرف على الرعية منوط بالمصلحة لا بالهوى ولا بالميل الشخصي
Artinya: “Segala tindakan penguasa terhadap rakyat harus berdasarkan pada kemaslahatan, bukan karena hawa nafsu dan kecenderungan pribadi.” (al-Asybah wa an-Nazha'ir, halaman 121).
Dalam konteks penyalahgunaan fasilitas negara oleh pejabat publik merupakan tindakan terlarang, sampai masuk ke dalam kategori ghulul. Maksud dari kaidah di atas, seorang pejabat hanya boleh menggunakan dan mengelola fasilitas negara apabila kemaslahatannya jelas di hadapan publik, bukan sekadar memenuhi kenyamanan keluarga, mempercepat urusan pribadi, atau mempertahankan gaya hidup yang berlebihan.
Rasulullah dalam hadits riwayat Imam Muslim bersabda terkait fenomena di atas dengan cukup tegas.
من استعملناه منكم على عمل فكتمنا مخيطاً فما فوقه فهو غلول، يأتي به يوم القيامة
Artinya: “Barang siapa yang kami angkat menjadi pejabat, lalu ia menyembunyikan satu jarum saja (milik umat), maka itu adalah ghulul, dan ia akan membawanya pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Dalam pandangan Islam, jabatan adalah amanah, bukan sarana mencari kesenangan pribadi atau mengangkat derajat keluarga. Penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi tanpa dasar yang sah termasuk ghulul, alias pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Karena itu, pejabat publik dituntut bersikap wara, berhati-hati dalam setiap keputusan, sebab semua akan dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya di hadapan manusia, tapi juga di hadapan Allah swt. Wallahu a‘lam. (NUO)
Alief Hafidzt Aulia, Alumni Kelas Menulis NU Online 2025, dan Mahasiswa STIT Al-Marhalah Al ‘Ulya Bekasi