MENURUT Amirullah (2015), dalam bahasa Indonesia, pemimpin adalah mereka yang menjadi penghulu, pelapor, pembina, ketua, dan lain sebagainya. Menurut Hasbuan (2011), pemimpin adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung jawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapaikan suatu tujuan.
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan bukanlah sekadar jabatan atau kekuasaan, tetapi sebuah amanah yang sangat besar di sisi Allah swt. Seorang pemimpin bertanggung jawab penuh atas rakyat yang dipimpinnya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Ketika seseorang diberikan kekuasaan untuk mengatur urusan orang lain, ia tidak hanya diuji dalam kebijakan dan keputusan, tetapi juga dalam niat, keadilan, dan tanggung jawab moral. Dalam hadits berikut ini, Rasulullah saw memberikan peringatan keras bagi para pemimpin yang lalai terhadap tugas utama mereka yaitu memberikan nasihat, perhatian, dan perlindungan terhadap rakyatnya. Sebagaimana hadits riwayat Bukhari yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ ، عَنِ الْحَسَنِ ، أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ : إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
البخاري: أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة الجعفي البخاري
Artinya: ’’….Dari Al-Hasan (w 110 H), bahwa Ubaidullah bin Ziyad menjenguk Ma'qil bin Yasar (w 61 H) saat sakit menjelang wafatnya. Maka Ma’qil berkata kepadanya: "Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku mendengar Nabi saw bersabda:
"Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin suatu rakyat, lalu dia tidak menasihati dan menjaga mereka, kecuali ia tidak akan mencium aroma surga." {(HR Bukhari) 194 H-256 H}
Hadits ini memberikan pelajaran penting bahwa kepemimpinan dalam Islam bukan sekadar posisi atau jabatan yang prestisius, melainkan sebuah amanah yang sangat berat di sisi Allah swt. Maksudnya, ketika seseorang menerima amanah sebagai pemimpin baik dalam skala kecil maupun besar, maka ia sebenarnya sedang menerima tanggung jawab dari Allah swt untuk mengatur urusan manusia lainnya dengan adil dan penuh tanggung jawab.
Menurut (Fauzi et al, 2021) amanah yang bermakna kepercayaan, diharuskan pemimpin untuk memiliki kualitas kepercayaan. Selain itu, harus memiliki sifat fathanah yang mencakup kecerdasan, kecakapan, dan keandalan dalam berbicara. Seorang pemimpin harus juga memiliki sifat shidiq atau kejujuran, Di mana seorang pemimpin harus berbicara dan bertindak dengan dengan jujur dalam kehidupannya (Suhada et al, 2023). Juga harus memiliki sifat tabligh atau berdakwah adalah tugas seorang pemimpin yang penting untuk menyebarkan kebajikan, mendorong perilaku yang baik, dan mencegah dari perbuatan yang buruk (Devi astuti Dkk, 2024)
Kepemimpinan tidak boleh dilihat sebagai sarana meraih keuntungan pribadi, memperkuat kedudukan atau memperluas pengaruh politik, melainkan harus dipahami sebagai tugas suci yang menuntut ketulusan, keberanian dan pengorbanan dalam melayani masyarakat. Amanah itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt pada hari kiamat kelak, sehingga setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai keadilan, kasih sayang dan keberpihakan kepada kebenaran.
Dari hadits ini juga kita memahami bahwa tugas utama seorang pemimpin bukan hanya menjalankan pemerintahan secara administratif, tetapi juga memastikan bahwa rakyatnya mendapatkan nasihat dan bimbingan yang benar. Nasihat dalam konteks ini mencakup usaha sungguh-sungguh dalam menjaga kemaslahatan umat, mengarahkan mereka pada kebaikan, serta mencegah dan menindak segala bentuk kezaliman. Pemimpin yang tidak memberi nasihat kepada rakyatnya adalah pemimpin yang tidak peduli terhadap arah moral dan spiritual masyarakat yang dipimpinnya.
Islam mengajarkan bahwa nasihat adalah inti dari agama, dan dalam konteks kepemimpinan, nasihat menjadi sarana utama untuk memastikan rakyat tetap berada di jalan yang benar. Maka, seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan dalam akhlak, kejujuran, dan keberanian menyuarakan kebenaran, sekaligus menjadi pelindung bagi rakyat dari berbagai bahaya, baik yang bersifat lahir maupun batin.
Wallahu a'lam
Muhammad Raihan Fahmi Syarifuddin, Mahasiswa semester 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta