Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023

Keislaman

Puasa Menjernihkan Hati

Hati. (Foto: NU Online)

Hati-hati ya! Demikian ungkapan yang kerap kita dengar dari orang-orang ‎sekitar kita saat akan melakukan aktivitas. Pesan ini tentu sarat dengan pesan ‎dan makna. Selain mengharap agar kita berhati-hati dalam menjalankan tugas ‎‎-sebagaimana pesan tesktualnya- juga menunjukkan pesan tentang pentingnya ‎menggunakan hati dalam mengarungi kehidupan ini. Sebab, kerapkali manusia ‎menanggalkan hati dalam aktivitas kehidupannya.‎


Baca Juga:
Memahami Tafsir Ayat Puasa


Hati dalam bahasa Arab disebut al-qalb yang berarti berubah-ubah atau bolak-‎balik. Dinamakan demikian karena sifat dasar hati itu tidak mudah berada ‎dalam satu keadaan. Bisa jadi pagi hari beriman, tapi sore hari berubah kufur. ‎Saat ini senang, satu menit lagi sedih. Sekarang bahagia, nanti berubah ‎nestapa. Begitu seterusnya. Kendatipun demikian, hati merupakan inti ‎kehidupan manusia, baik secara fisiologis maupun spiritual. Ia yang ‎menentukan eksistensi dan kebahagiaan hidupnya. Dalam sebuah hadits Nabi ‎mengingatkan:‎


ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضْغَةً، إذا صَلَحَتْ، صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وإذا فَسَدَتْ، فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، ألا وهي القَلْبُ. ‏‏(رواه مسلم)‏

“Sesungguhnya dalam tubuh manusia itu ada segumpal darah. Jika ia baik ‎maka sekujur tubuhnya akan baik. Tapi jika rusak maka seluruh tubuhnya ‎akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Muslim)‎


Pertanyaannya, bagaimana cara menstabilkan hati agar ia bisa konsisten pada ‎jalur yang benar, sehingga dapat mengantarkan pemiliknya kepada ‎kabahagiaan? ‎


Menjawab pertanyaan ini para ulama mengatakan setidaknya ada dua cara. ‎Pertama, mengetahui Allah dengan segenap nama dan sifat jalāl (keagungan) ‎dan jamāl (keindahan)-Nya. Kedua, mengerti karakter manusia, terutama ‎karakter terpuji dan tercela yang melekat pada dirinya. Untuk menguak poin ‎pertama para ulama menulis kitab aqā’id dan kalam (teologi). Sementara ‎untuk mengungkap yang kedua disusunlah kitab raqā’iq dan akhlak tasawuf.‎


Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūmuddin mengibaratkan hati seperti ‎cermin. Cermin tiap hari pasti terkena debu dan kotoran. Semakin sering ‎dibersihkan, cermin itu akan mengilap dan mampu memantulkan cahaya ‎dengan terang. Demikian pula hati, ia sering terkotori oleh dosa dan ‎kemaksiatan. Iri, dengki, ‘ujub, takabbur, riya’, cinta dunia adalah sederet ‎penyakit yang acapkali menempel dalam hati. Jika tidak sering dilap, tidak ‎kerap dibersihkan, maka cahaya berupa ma’ārif ilāhīyah (ilmu-ilmu ‎ketuhanan) dan mawāhib rabbāniyah (anugerah Tuhan) akan sulit masuk ke ‎dalam relung hati yang terdalam.‎


Perhatian manusia yang overdosis terhadap kebutuhan fisiknya juga dapat ‎memperlambat daya tangkap hati. Mengonsumsi makanan dan muniman yang ‎berlebihan juga turut memperkeruh kejernihan batin. Karena itu, perlu ‎dipastikan agar yang masuk dalam tubuh adalah sesuatu yang halal dan ‎thayyib, dalam takaran yang wajar, dan tak boleh isrāf (melampaui batas).‎


Pada titik inilah, dapat dimengerti kepada puasa disyari’atkan, tidak saja ‎kepada umat Muhammad, tapi juga kepada umat-umat sebelumnya. Di antara ‎hikmahnya adalah untuk memoderasi gaya hidup manusia, juga untuk ‎menjaga kejernihan hatinya. Ketika manusia meminimalisasi makanan, ‎minuman, dan kebutuhan biologis lainnya, maka mata hatinya akan ‎terbersihkan dan teraktivasi. Pada saat itulah, batinnya akan hidup dan mudah ‎untuk menerima “kucuran” pengetahuan dari Tuhan. Dalam konteks ini, tidak ‎berlebihan jika para ahli gramatikal Arab mengatakan: ‎


الضمير هو أعرف المعارف بعد لفظ الجلالة

“Dhamir” adalah isim ma’rifat yang paling definit setelah lafzul jalalah.‎


Selain dapat dipahami sebagai kata ganti, dhamīr juga dapat diartikan sebagai ‎batin atau inti hati. Maka secara esoteris dapat dipahami bahwa orang yang ‎paling mengerti dan memahami hakikat hidup dan kehidupan ini adalah orang ‎yang mata hatinya hidup, mata batinnya bersih. Salah satu jalan terbaik untuk ‎membersihkan hati dan mengaktivasi batin adalah melalui suluk puasa. ‎Semoga di Ramadan ini kita dapat memberishkan hati sehingga layak ‎mendapatkan futūhāt dan limpahan pengetahuan dari-Nya.‎


Muhammad Ulinnuha, Dekan Fak. Ushuluddin dan Dakwah IIQ Jakarta, ‎Santri TABAH Kranji Lamongan

Editor: Singgih Aji Purnomo

Artikel Terkait