• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Puasa dalam Era Siber

Puasa dalam Era Siber
Puasa. (Foto: NU Online)
Puasa. (Foto: NU Online)

Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, tujuan berpuasa tidak lain untuk membentuk pribadi ‎bertakwa. Yakni, adanya kesantunan dan perangai luhur melakoni kehidupan sehari-hari. Imbas ‎ketakwaan mesti berjalan dua arah. Selain makin akrabnya bersinggungan hubungan vertikal, juga ‎tak kalah penting, adanya kebaikan horizontal. Terutama sekali, ritus agama ini menghendaki ‎adanya pemupukan rasa solidaritas/kepekaan terhadap sesama.‎


Dalam suatu hari di bulan Ramadan, Nabi SAW menjumpai seseorang yang menghardik hamba ‎sahayanya. Melihat itu, baginda Nabi lantas berkata: “Makanlah roti ini.” Sontak saja, orang ‎tersebut berujar: “Ya Rasul, aku ini sedang berpuasa.” Nabi SAW kemudian menimpali: ‎‎“Bagaimana engkau berpuasa, namun memaki sahayamu.” Kisah ini rupanya menjadi asbabul ‎wurud dari hadits populer bahwa, betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan ‎dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.  ‎


Puasa yang menebarkan laku kemuliaan bak menjadi oase di tengah kehidupan yang makin serba ‎bebas seperti hari-hari ini. Kehidupan bermedia sosial dalam jagat maya merupakan wahana baru ‎yang menyajikan antarpengguna akun bisa saling berinteraksi tanpa batasan. Ironisnya, dunia ‎maya tak jarang disikapi dengan hiruk pikuk umpatan dan makian. Keluasan dan kebebasan ‎dengan bisa memiliki akun anonim, semakin menggerakkan percakapan di dunia siber menuju ‎ketidakberadaban sebagai manusia.‎


Salah satu keadaban yang diajarkan oleh ibadah puasa adalah hasrat kejujuran yang mesti ‎tertanam kuat. Kejujuran merupakan faktor integral kredibilitas seseorang yang menampilkan ‎adanya transparansi. Karena itu, langkah pertama dalam interaksi di era digital adalah, ‎memantangkan diri untuk bersikap bohong dan pengelabuhan diri.  Ibarat mengisi daftar riwayat ‎hidup pada kolom KTP atau SIM, kejujuran mesti diterapkan pula dalam konfirmasi isian akun ‎media sosial. Kita memahfumi betul aneka teror, ancaman, makian, hardikan, hampir-hampir ‎selalu disetir dan diuarkan dari akun-akun anonim.‎


Diakui atau tidak, fenomena mutakhir jagat maya juga mencuatkan buzzer, istilah yang sering ‎digunakan untuk upaya pencitraan; utamanya dalam urusan kontestasi politik. Dalam asas ‎kebebasan, hal tersebut sah-sah saja. Namun, bakal menjadi soal, manakala fenomena buzzer ‎kadung masuk dalam sengketa ujaran kebencian dan fitnah. Perang cuitan alias twitwar ‎sebenarnya bisa dimaknai sebagai ajang adu gagasan. Bila ini terjadi secara baik, tentu akan ‎menghasilkan keadaban masyarakat berdemokrasi. Sayangnya, yang tampak adalah sebaliknya. ‎Yakni, terbentuknya polarisasi dan fragmentasi masyarakat. ‎


Hilangnya keakraban sebagai sesama warga negara kian hari kita rasakan bersama eskalasinya. ‎Gegara perbedaan corak politik, hampir-hampir menjadi penyulut utama untuk kemudian ‎dijadikan bahan bakar perseteruan yang terus berlangsung. Karena itu, Ramadhan merupakan ‎momentum terbaik menjalin kembali ikatan persaudaraan warga negara. Dengan puasa, ada ‎pelajaran untuk berkontemplasi perihal kemanusiaan. Seperti yang telah banyak diuarkan, puasa ‎merupakan tamsil agar kita bisa memahami kepayahan fakir-miskin yang sehari-hari diakrabi ‎kesusahan beroleh pangan. Dengan imaji kesadaran tersebut, kita bisa sejenak melepaskan hiruk-‎pikuk celoteh politik pragmatis di dunia maya untuk kemudian beralih kepada urusan yang lebih ‎urgen dan subtil di sekitar kita: memastikan lingkungan sekitar tidak kelaparan, misal.‎


Dunia siber melepaskan busur panahnya beribu-ribu lebih cepat ketimbang busur panah ‎sungguhan. Solidaritas kemanusiaan pun berlangsung seketika. Peristiwa di pelbagai belahan ‎dunia, sontak menibakan respons cepat. Keunggulan yang tersemat pada jati diri jagat maya ‎inilah yang mesti kita maksimalkan perannya. Pada banyak sisi keagungan ibadah puasa, ‎kesadaran kolektif berupa merasa senasib sepenanggungan sebagai sesama manusia, menjadi ‎dorongan utama untuk diadopsi dalam pergaulan di dunia maya.‎


Modal berupa jumlah pengguna aktif media sosial masyarakat Indonesia dalam kisaran puluhan ‎juta, meniscayakan keselarasan sikap untuk meneguhkan ciri khas kita yang sering disematkan: ‎ramah, toleran, dan guyub. Dalam perang melawan aksi-aksi terorisme dan intoleransi, peranan ‎dunia maya teranggap penting dan ampuh. Masyarakat kita secara cepat menibakan kecaman atas ‎aksi biadab tersebut. Dengan aneka sematan tagar sebagai bahasa simbol mulai dari ‎‎#kamitidaktakut, #kamibersamapolisi, dan lain sebagainya, merupakan upaya counter pada diri ‎masyarakat kita bahwa orang Indonesia senyatanya tetap solid dan kompak bersama aparat ‎keamanan menanggulangi segala bentuk teror.‎


Keadaban puasa menghasratkan untuk cermat dan penuh kehati-hatian atas setiap pijakan ‎langkah kaki dan gerak jemari; agar pahala puasa bisa terengkuh. Relevansi berpuasa di hari-hari ‎ini, saat aksi intoleran dan ekstremisme makin menguat, adalah dengan berhati-hati pula serta ‎berpikir lebih mendalam saat akan membuat postingan dan menyebarkan konten. Karena itu, ‎upaya pemaksimalan berikutnya adalah menjadikan lini masa media sosial kita sebagai ruang yang ‎bersih dari konten-konten negatif. Me-remove akun-akun penguar hasutan. Membagikan ‎informasi-informasi berfaedah. Dan, khusyuk mendalami ilmu agama melalui ngaji online yang ‎semarak dibawakan para kiai yang mumpuni ilmu serta berjiwa nasionalis-religius. Walhasil, cara-‎cara seperti ini bisa sedikit-banyak mematikan paham radikalisme dan menumbuhkan perangai ‎luhur dalam beragama di era siber seperti sekarang. Wallahu a’lam               ‎


Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus


Opini Terbaru