Kiai Hadi Susiono Panduk
Kolomnis
ORANG dalam (Ordal) sebuah istilah yang sering menjadi buah bibir dan perbincangan di berbagai kalangan. Terutama ketika musim perekrutan suatu posisi di berbagai institusi, baik di pemerintahan, korporasi, organisasi, komunitas, klub, atau bahkan anggota layanan perpesanan instan (IM) dan voice-over-IP (VoIP), WhatsApp, misalnya.
Ordal dalam perspektif dunia kerja modern jelas tidak berlaku. Kecuali jika terdapat oknum-oknum yang bergentayangan. Suatu ketika—puluhan tahun yang lalu— penulis melihat job vacancy, di sebuah koran nasional. Terdapat penawaran menarik dari sebuah Kedutaan Besar Negara Asing di Jakarta.
Singkat cerita, penulis beserta banyak lulusan sarjana, dari berbagai universitas top di Indonesia maupun dari luar negeri, bersaing/berkompetisi memperebutkan satu posisi, yakni, personal assistant to the ambassador—sekretaris pribadi untuk sang duta besar berkuasa penuh.
Proses panjang dilewati. Mulai dari tes kemampuan berbahasa Inggris, bahasa Arab, menulis arikel, menerjemahkan teks bahasa asing dan editing, kemampuan administratif-kesekjenan, inter-personal skill, negosiasi, presentasi, problem-solving dan seterusnya. Penulis menjalani jabatan personal assistant to the ambassador selama satu tahun sesuai kontrak kerja.
Dari uraian tersebut, sangat jelas bahwa dunia profesional selalu mengedepankan merit system yakni sebuah sistem rekrutmen berdasarkan kualifikasi dan kompetensi menafikan embel-embel atau latar belakang calon pegawai/pejabat. Tidak ada budaya titip menitip posisi jabatan, tidak ada kongkalingkong, tidak ada main mata. Murni proses dengan transparansi dan penuh legitimasi.
Maka, mereka yang melakukan praktik rekrutmen tidak sehat, harus mulai berpikir bahwa posisi jabatan harus dapat berdaya guna bagi institusinya ke depan sesuai visi-misi yang hendak dicapai. Jika tidak, para pekerja, pegawai, pejabat hanya akan menjadi benalu yang memberatkan dalam sebuah institusi.
Dalam bahasa agama, pejabat sejatinya adalah orang yang dikuasakan atasnya sebuah tanggung jawab yang kelak dimintai pertanggungjawabannya. Karena pejabat adalah perwakilan Allah di muka bumi untuk mengatur volume dan menangkap sinyal langit, kemudian ditransmisikan ke bumi.
Dari otaknya yang encer dan cemerlang, muncul gagasan, visioner, solutif, dan berdaya manfaat tinggi. Jabatan adalah pemberian Allah kepada siapa pun yang dikehendaki, seperti tergambar dalam Al-Qur’an, Surat Ali Imran, ayat 26. “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Allah, Pemilik Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Baca Juga
Belajar dari Sepak Bola
Makna tersirat dari ayat Allah tersebut adalah ketika diberi tanggung jawab menjabat, laksanakan dengan sepenuh hati dan kerelaan inheren dengan suka dan dukanya. Karena Allah sangat mudah ketika mencabut jabatan yang kita pertahankan mati-matian itu.
Awal mula jabatan manusia sesungguhnya, dapat dilihat dari Firman Allah pada Surat Al-A’raf ayat 10, 19, dan 22. Bisa juga dipahami dari Firman Allah pada QS Al-Baqarah ayat 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, dan 38. Pada ayat-ayat tersebut, dijelaskan proses dan prosesi Nabi Adam as: mulai dari Allah mengajari nama-nama benda yang ada di bumi.
Dalam artian Allah mengajari Adam sebuah ilmu pengetahuan yang kelak akan berguna di muka bumi. Semacam bimtek (bimbingan teknis). Meskipun langkah Allah ini, diprotes oleh para malaikat (bahkan Iblis menolak perintah penghormatan kepada Adam). Tetapi, pada uji kelayakan dan kepatutan, fit and proper test, di hadapan sidang umum para malaikat, Adam lulus.
Salah satu materi yang diujikan adalah menyebutkan pengetahuan nama-nama benda, yang notabene, para malaikat tidak memiliki kapabilitas dan profisiensi atas materi ujian tersebut. Nabi Adam memang sudah di-plot untuk menempati bumi sebagai khalifah, bukan kekhilafan makan buah yang dilarang di surga, bukan seperti pemahaman yang keliru.
Pada akhirnya, para pejabat esensinya meneruskan tongkat estafet Nabi Adam. Jangan sampai tongkat itu engkau hilangkan, terjual atau digadaikan dengan urusan sampah-sampah duniawi. Semoga! Wallahu ‘alamu bisshawab.
Baca Juga
Miskin tapi Sombong
Kiai Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Wakil Rais Syuriyah PCNU Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; dan Dewan Pakar ICMI Orwil Banten; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot, Sabilillah, dan Gondang Legi Malang; MA Nahdlatul Muslimin Kudus; serta Universitas Diponegoro Semarang
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Keutamaan Orang yang Hatinya Terpaut dengan Masjid
2
Alif Punya Peran Fundamental Menjaga Harmoni Tulisan dan Bunyi Al-Qur’an
3
Ulama Pakar Sanad Syekh Mu'taz Kunjungi PBNU, Perkuat Sanad Keilmuan Indonesia-Suriah
4
Pengasuh Pesantren Daarut Tauhid Kiai Thoifur Wafat, Pemakaman Hari Ini
5
Wamenaker Terjaring OTT, Presiden Dukung Proses Hukum Berjalan Sesuai Aturan
6
PCNU Kota Tangerang Ajak Pengurus Berkhidmat dengan Tindakan Nyata
Terkini
Lihat Semua