• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 9 Mei 2024

Opini

Pentingnya Berguru dalam Belajar Agama

Pentingnya Berguru dalam Belajar Agama
Ilustrasi belajar dengan guru. (Foto: NOJ/Labumi.id)
Ilustrasi belajar dengan guru. (Foto: NOJ/Labumi.id)

Prolog

Kerap kali kita mendengar sebuah jargon “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah Rasulullah”. Sekilas, secara substantif tidak ada yang salah dari jargon tersebut. Namun bilamana difahami secara tekstual an sich dan menggiring opini masyarakat agar senantiasa merujuk kepada Al-Qur’an dan hadits serta mengesampingkan mazhab yang mu’tabar dalam agama Islam, maka tentu saja hal tersebut harus diluruskan karena akan mengaburkan substansi ajaran Islam yang sesungguhnya. Mari kita simak hadits berikut:

 

عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.


’’Rasulullah SAW bersabda: Aku telah tinggalkan kepada kamu sekalian dua perkara. Kamu semua tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya.” (HR Malik)


Hadits di atas secara masif digaungkan demi mendukung jargon “kembali kepada Al-Quran dan sunah”. Bilamana ia difahami secara tekstual, Pertanyaannya adalah, apakah semua orang memiliki otoritas untuk memahami ilmu (dalam hal ini Al-Qur’an dan hadits) secara langsung dari sumbernya? Mengingat keduanya menyimpan jutaan kandungan makna layaknya mutiara yang tersembunyi di dasar lautan yang tentunya hanya bisa diselami oleh ahlinya.



Berlainan dengan jargon di atas, dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) khususnya di pesantren-psantren, justru terkenal sebuah jargon yang artinya sanad adalah urusan agama. Tanpa sanad, seseorang bisa berbicara apa saja sekehendak hatinya. Hal ini mengindikasikan bahwa NU sangat memegang kuat tradisi transmisi pengambilan ilmu dari seorang guru atau ulama yang dianggap otoritatif dalam bidang tertentu, tentu saja dengan tujuan agar seseorang berbicara berdasarkan disiplin ilmu yang benar, bukan hanya sekadar hawa nafsunya.


Al-Hakim Al-Tirmizi (w. 320 H.) menyajikan sebuah logika standar namun cukup jitu untuk memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa begitu pentingnya mengambil ilmu dari sumber yang tepat, bukan langsung merujuk pada teks suci (Al-Qur’an) atau hadits, kecuali bagi mereka yang sudah menguasai banyak disiplin ilmu dalam agama Islam (ulama).


Sekilas Tentang al-Hakim al-Tirmizi

Perlu diketahi bahwa Al-Hakim Al-Tirmizi sang pengusung gagasan ini adalah Muhammad ibn ‘Ali Al-Tirmizi, pemiliki kitab Khatm al-Auliya dan Nawadir al-Ushul, bukan Muhammad ibn ‘Isa Al-Tirmizi yang terkenal dengan kitab haditsnya Sunan al-Tirmizi. Tidak dapat dipastikan kapan Al-Hakim Al-Tirmizi dilahirkan. Adapun terkait tahun wafatnya, beberapa ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mengatakan bahwa ia wafat 255 H. Sebagian lagi menyebutkan pada 285 H. Akan tetapi menurut Dr Rajih Ahmad Abdullah yang paling benar adalah 320 H (Rajih Ahmad Abdullah, 1989).


 

Gagasan Al-Hakim Tentang Logika Pentingnya Berguru dalam Belajar Agama

Al-Hakim mendasari pemikirannya dengan mengatakan bahwa segala ilmu pada dasarnya berasal dari satu sumber yang sama, yakni Allah SWT. Kemudian ilmu tersebut dibawa oleh para rasul (utusan tuhan) untuk kemudian diajarkan kepada umat manusia. Pertanyaan sederhananya adalah, mengapa harus rasul? Bukankan setiap manusia sudah dibekali akal sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Al-Hakim menjelaskan bahwa ilmu yang diberikan oleh Allah SWT memiliki esensi dan rahasia yang tersembunyi sehingga tidak akan bisa dipahami oleh akal sederhana orang awam. Sedangkan para rasul, dengan anugerah kenabian yang Allah berikan tentu saja mereka mengerti maksud dan tujuan dari ilmu tersebut. (Al-Hakim Al-Tirmizi, Nawadir al-Ushul, 2010).


Bagi Al-Hakim, ilmu Allah ibarat sebuah lautan lepas tak bertepi (al-bahr) yang menampung jutaan liter air dan hanya bisa mengalir dengan baik pada tempat yang tepat, yakni lembah (al-wa>di), dari lembah tersebut, lalu airnya mengalir menuju sungai (al-nahr), lalu mengalir menuju anak sungai (al-jadwal), dan pada akhirnya air tersebut mengalir pada selokan (sa>qiyah). (Al-Hakim Al-Tirmizi, Nawadir al-Ushul, 2010).


Istilah-istilah aliran air di atas, dianalogikan oleh Al-Hakim sebagai transmisi keilmuan dalam agama Islam. Lautan, sebagaimana dijelaskan di atas adalah ilmu Allah, lembah yang luas adalah para rasul, sungai adalah para ulama, anak sungai adalah orang-orang awam, dan selokan adalah keluarga dan anak-anak mereka. Secara logis dapatlah kita bayangkan bahwa bilamana air tersebut dialirkan pada tempat yang salah, dari laut langsung dialirkan menuju ke selokan misalnya, tentu saja yang terjadi bukanlah kebaikan dan kemaslahatan, namun kehancuran dan tenggelamnya daratan yang menjadi tempat hidup para makhluk Allah. (Al-Hakim Al-Tirmizi, Nawadir al-Ushul, 2010).

Al-Hakim mengutip sebuah khabar:

 

إِنَّ لِلّهِ سِرًّا لَوْ أَفْشَاه لَفَسَدَتْ الَّتَدْبِيْرُ وَلِلْاَنْبِيَاءِ سِرًّا لَوْ أَفْشُوْهُ لَفَسَدَتْ نُبُوَّتُهُمْ وَلِلْمُلُوْكِ سِرًّا لَوْ أَفْشُوْهُ لَفَسَدَ مُلْكُهُمْ وَلِلْعُلَمَاءِ سِرًّا لَوْ أَفْشُوْهُ لَفَسَدَ عِلْمُهُمْ.




Artinya: “Sesungguhnya Allah mempunyai rahasia yang jika Allah ungkapkan akan merusak pengaturannya, dan para nabi mempunyai rahasia yang jika mereka ungkapkan akan merusak kenabiannya, dan raja mempunyai rahasia yang jika mereka ungkapkan akan merusak kerajaannya, dan para ulama mempunyai rahasia, yang jika mereka ungkapkan akan merusak ilmunya.’’ (Al-Hakim Al-Tirmizi, Nawadir al-Ushul, 2010).



Al-Hakim menjelaskan bahwa kerusakan tersebut akibat ketidakmampuan akal dalam menerima ilmu atau rahasia tersebut. Maksudnya bilamana ilmu atau rahasia tersebut diinformasikan kepada orang yang tidak tepat, maka akan terjadi kerancuan yang diakibatkan oleh kesalahpahan mereka terhadap esensi ilmu tersebut. Oleh karena itu sudahlah menjadi keniscayaan bahwa ilmu Allah hanya akan terlebih dahulu diberikan kepada para rasul dan selanjutnya diberikan kepada para ulama. Begitupun para raja, tentu saja ia tidak akan memberikan informasi penting kepada orang sembarangan. 
Wallahu a’lam. 


Randi Alipullah, Mahasiswa UIN Jakarta


Opini Terbaru