Kiai Hadi Susiono Panduk
Kolomnis
KETIKA seorang hamba bersyukur kepada Allah, maka ia akan selalu menyadari akan kehambaannya. Apakah hamba itu, untuk apa seorang hamba ada di dunia, dan seperti apa seharusnya predikat seorang hamba. Syukur sejatinya adalah perasaan berterima kasih. Terima kasih kepada Allah karena Dia telah menjadikannya sebagai hamba yang sempurna dengan berbagai kenikmatan.
Dalam pengertian lain, syukur mengandung makna berterima kasih kepada pihak yang telah berbuat baik atas kebajikan yang diberikannya. Sedangkan kufur sebagai antonim dari kata syukur, diartikan sebagai mendustakan dan mengingkari nikmat.
Jadi, jika engkau berterima kasih kepada orang lain yang berbuat baik kepadamu, itu artinya engkau telah bersyukur kepadanya. Akan tetapi, jika engkau berbuat jahat atau mengingkari kebaikan seseorang atas dirimu, engkau termasuk kufur atas kebaikan orang tersebut. Hal ini, sejurus dengan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Sahabat Muhammad bin Ziyad, dan diabadikan oleh Imam Abu Dawud (Hadist nomor 4811, dalam Bab Kitabul Adab) serta Imam Tirmidzi (Hadist nomor 1954, dalam Bab Kitabul Birri wash-Shilah), bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, ’’Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.”
Baca Juga
Memaknai Sisa Umur
Dalam Kitab Suci-Nya, Allah jalla wa azza menjelaskan perilaku manusia, ’’Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang sangat kufur.” Ayat ke-3 dalam Surat Al-Insan ini, berisikan sindiran kepada manusia yang memilih untuk kufur yakni mengingkari nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka.
Terlalu banyak nikmat Allah yang dapat dirasakan, misalnya nikmat sehat. Ketika sehat, kelima organ vital tubuh kita berfungsi dengan normal yakni otak, jantung, hati, ginjal, dan paru. Apa yang mesti dilakukan ketika kelimanya dapat menggerakkan rangka tubuh kita? Sebagai rasa terima kasih kepada Allah, manusia harus terus menghamba, menjadikan Allah sebagai sesembahan, tidak yang lainnya.
Baca Juga
Membayangi Kematian
Di samping itu, rasa keberterimakasihan kepada Allah juga dapat terefleksikan dengan berbagai perbuatan baik. Dengan kata lain, selalu menebarkan dan menyebarkan kebaikan di muka bumi. Jenis kebaikan yang dapat dilakukan oleh manusia sungguh sangat banyak jumlahnya. Manusia tinggal memilih kebaikan yang menjadi passion, dan kemudian bergumul atas kebaikan-kebaikan tersebut.
Bersyukur itu, engkau selalu memuji kemahaagungan Allah yang telah memberimu beraneka macam anugerah. Bersyukur itu, engkau memberdayakan kesehatan, kepintaran, ketercukupan harta menuju jalan keridaan-Nya. Bersyukur itu, engkau tidak abai, acuh tak acuh, egois, lalai akan fungsi kemanusianmu. Bersyukur itu, jika engkau seorang pejabat, maka engkau tidak melakukan tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power, semisal korupsi. Bersyukur itu, engkau menggunakan segala daya dan upaya dalam proses rihlah penyembahan hamba kepada Tuhan-Nya secara paripurna.
Baca Juga
Miskin tapi Sombong
Jika kita telah mendalami arti bersyukur atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah, dan kita dapat ‘membalas’ kenikmatan itu dengan melakukan amal saleh hanya karena mengharapkan keridaan-Nya, sehingga sangat naif sekali, jika kebaikan yang kita lakukan masih saja bernuansa show off, pamer, ingin dianggap serta mengharap puja-puji dari manusia lainnya.
Dengan arti lain, ketika bersyukur maka keikhlasan akan menyertainya. Sehingga, bersyukur adalah tindakan yang harus built in, melekat pada diri seorang Muslim yang mukmin.
Sedangkan kufur sering kali dimiliki oleh mereka yang belum dapat menghambakan diri secara paripurna kepada Allah dan melupakan bahkan mengingkari segala nikmat yang telah mereka terima, seolah nikmat-nikmat yang mereka sandang adalah berkat usaha, banting tulang, dan effort dari mereka sendiri dan menafikan Allah swt sebagai Dzat Pemberi kenikmatan hakiki.
Jadi, pilihannya ada pada diri kita, apakah mau menjadi hamba Allah yang bersyukur atau mengufuri-Nya. Tetapi, memang jumlah dari hamba Allah yang bersyukur terbilang sangat sedikit.
Wallahu ‘alamu bisshawab
Kiai Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Wakil Rais Syuriyah PCNU Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; dan Dewan Pakar ICMI Orwil Banten; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot, Sabilillah, dan Gondang Legi Malang; MA Nahdlatul Muslimin Kudus; serta Universitas Diponegoro Semarang
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mencari Ilmu demi Rida Allah
2
Usung Tiga Agenda, Rektor Baru UIN SMH Butuh 50 Profesor
3
Kenangan dari Pengasuh Pesantren Kananga KH Tubagus Abdul Hakim
4
Bupati Serang Jadi Nakhoda Muslimat NU Banten, Ini Janjinya
5
Pemerintah Tidak Merazia Pengibaran Bendera One Piece, Asal….
6
Sinergi dengan PWNU Banten, Rektor UIN SMH Ingin Kembangkan Pendidikan Vokasi
Terkini
Lihat Semua