Singgih Aji Purnomo
Kolomnis
Down Syndrome bukanlah suatu penyakit, melainkan kelainan genetik yang disebabkan oleh kelebihan kromosom ke-21. Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2023 menyebutkan bahwa setiap tahun sekitar 3.000 sampai 5.000 anak lahir dengan Down Syndrome di seluruh dunia.
Potret di Indonesia, berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan tahun 2022, prevalensi anak dengan Down Syndrome mencapai 0,12% dari seluruh jumlah kelahiran hidup. Tentu angka itu tidak kecil, mengingat konsekuensinya terhadap dunia pendidikan, sosial, dan keluarga. Dalam konteks ini, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin hadir membawa nur, bukan hanya dalam spiritualitas, tapi juga dalam pendekatan pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Down Syndrome dan Tantangan Pendidikan
Anak dengan Down Syndrome memiliki karakteristik fisik dan intelektual yang khas. Mereka biasanya mengalami keterlambatan dalam berbicara, memahami instruksi, serta keterampilan motorik halus. Tantangan ini menyebabkan banyak dari mereka sulit mengikuti pendidikan formal secara konvensional. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak bisa belajar. Justru mereka bisa tumbuh dan berkembang jika mendapatkan bimbingan yang tepat, penuh kasih sayang, dan sabar.
Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya inklusif. Menurut Komisi Nasional Disabilitas (KND) pada tahun 2023, masih terdapat diskriminasi struktural dan kultural terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah. Banyak sekolah yang belum memiliki guru pembimbing khusus, kurikulum adaptif, serta fasilitas ramah difabel. Hal ini berdampak pada rendahnya angka partisipasi sekolah bagi anak-anak dengan Down Syndrome.
Pendidikan Islam dan Nilai Inklusivitas
Dalam Islam, pendidikan adalah hak setiap manusia, tanpa memandang kondisi fisik atau intelektualnya. Firman Allah SWT dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1-5 menegaskan pentingnya membaca, belajar, dan memperoleh ilmu sebagai bagian dari perintah Tuhan. Rasulullah SAW juga mencontohkan bagaimana memperlakukan orang yang berbeda secara fisik atau mental dengan penuh penghormatan dan kasih sayang.
Dalam Tuhfat al-Mawdud bi Ahkam al-Maulud Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menulis bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia, setiap ciptaan-Nya memiliki hikmah tersendiri. Maka anak-anak dengan Down Syndrome bukanlah aib, melainkan amanah sekaligus ladang pahala bagi orang tua dan para pendidik.
Konsep rahmah, adl, dan ta’lim menjadi landasan utama dalam pendekatan pendidikan Islam terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Rahmah berarti kasih sayang tanpa batas, adl adalah keadilan dalam perlakuan, bukan penyamaan, dan ta’lim adalah proses pembelajaran yang harus disesuaikan dengan kapasitas anak.
Kiat Gugah Semangat Anak
Sekurangnya ada sembilan kiat. Pertama, pendidikan berbasis kasih sayang (Muraqabah dan Mahabbah). Anak dengan Down Syndrome sangat peka terhadap lingkungan emosionalnya. Pendidikan Islam mengajarkan bahwa keberhasilan mendidik harus dimulai dengan muraqabah (kesadaran bahwa Allah mengawasi) dan mahabbah (cinta tulus). Guru dan orang tua harus menunjukkan empati, bukan sekadar belas kasihan.
Kedua, kurikulum yang adaptif dan bermakna. Kurikulum bagi anak dengan Down Syndrome diupayakan berbasis pada individual needs. Dalam Islam, prinsip taklif mukhayyar (pembebanan yang disesuaikan kemampuan) menjadi dasar untuk tidak menyamaratakan capaian anak. Materi pelajaran bisa difokuskan pada keterampilan hidup, akhlak, dan nilai-nilai Islami seperti shalat sederhana, doa harian, serta kisah teladan Nabi.
Ketiga, pembiasaan nilai ibadah dan akhlak. Pendidikan Islam tidak hanya mentransfer ilmu, tapi juga membentuk karakter. Anak dengan Down Syndrome dapat diajarkan shalat, berdoa, atau membaca Al-Qur’an secara bertahap. Studi oleh Rachmawati dkk. tahun 2023 di Jurnal Pendidikan Khusus Islam menunjukkan bahwa anak dengan Down Syndrome yang dibiasakan ibadah harian menunjukkan peningkatan kemandirian dan stabilitas emosi.
Keempat, membangun rasa percaya diri melalui kegiatan praktis. Melibatkan anak dalam kegiatan seperti menggambar, merapikan barang, atau memasak sederhana sangat membantu. Dalam pendidikan Islam, kerja tangan (amal) dihargai tinggi. Hal ini tercermin sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik makanan yang dimakan seseorang adalah dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari).
Kelima, kolaborasi guru, orang tua, dan komunitas masjid. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tapi juga di rumah dan lingkungan. Sejak 2022 sebagaimana diberitakan di NU Online pada tahun 2023, Komunitas Islam, khususnya masjid, bisa menjadi tempat inklusi sosial yang ramah untuk anak-anak Down Syndrome. Beberapa masjid di Jakarta telah memulai program “Masjid Ramah Anak Disabilitas.”
Keenam, penggunaan teknologi untuk pembelajaran adaptif. Era digital dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran anak Down Syndrome. Aplikasi Islami seperti pengenalan huruf hijaiyah interaktif, cerita Nabi bergambar, hingga video animasi doa harian dapat membantu proses belajar. Penelitian oleh Fitriana & Subandi tahun 2024 menyatakan bahwa anak dengan Down Syndrome mengalami peningkatan atensi belajar saat menggunakan media visual interaktif berbasis nilai-nilai Islam.
Ketujuh, penerapan strategi reward dan motivasi Islami. Anak-anak dengan Down Syndrome sangat merespons penghargaan. Penerapan strategi motivasi Islami seperti memberi pujian (tahmid), hadiah kecil, atau bintang amal dapat mendorong mereka merasa dihargai. Konsep ajrun ‘ala niyyah (pahala atas niat baik) menjadi pendekatan spiritual yang membangun motivasi intrinsik.
Kedelapan, pelatihan guru pendidikan Islam tentang inklusivitas. Data Dari Kemenag RI, guru-guru Pendidikan Agama Islam (PAI) perlu diberikan pelatihan khusus dalam mendidik anak dengan kebutuhan khusus. Kementerian Agama RI pada tahun 2023 telah mulai merancang modul “PAI Inklusif” sebagai langkah awal membangun sistem pembelajaran PAI yang ramah disabilitas.
Terakhir, menghindari stigma dan menumbuhkan keberanian sosial. Islam sangat menentang bentuk istihza’ (ejekan) terhadap sesama. QS. Al-Hujurat ayat 11 menegaskan larangan menghina orang lain. Guru dan pendidik harus menjadi agen perubahan untuk menumbuhkan budaya toleransi, penghargaan, dan penerimaan terhadap perbedaan, termasuk kepada anak-anak dengan Down Syndrome.
Mari kita tata paradigma baru pendidikan Islami yang inklusif, sudah saatnya dunia pendidikan Islam menyusun ulang paradigma terhadap anak-anak dengan Down Syndrome. Mereka bukan beban, tapi bagian dari keberagaman ciptaan Allah yang harus dihormati. Dalam Islam, nilai seseorang bukan terletak pada rupa atau kecerdasannya, tetapi pada ketakwaan dan usaha yang dilakukan. Maka, pendidikan Islam tidak boleh bersifat eksklusif atau diskriminatif.
Diperlukan sinergi antara lembaga pendidikan, kementerian, komunitas, dan keluarga untuk mewujudkan sistem pendidikan yang benar-benar rahmatan lil alamin. Jika anak-anak dengan Down Syndrome diberi ruang yang adil dan penuh kasih dalam pendidikan Islam, maka bukan tidak mungkin mereka akan tumbuh menjadi individu yang mandiri, berakhlak mulia, dan memberi inspirasi bagi banyak orang.
Wallahu a’lam bis shawab.
Singgih Aji Purnomo, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al Amanah Al-Gontory, Redaktur Pelaksana Warta NU Online Banten
Terpopuler
1
Pesan Ketua PCNU Kabupaten Serang untuk Nakhoda MWCNU Petir 2025-2030
2
Rais Syuriyah PCNU Kota Tangerang Dianugerahi Sebagai Tokoh Khodimul Ummah
3
Jangan Bunuh Diri
4
Pleno, PCNU Kabupaten Tangerang Sepakat Dirikan Klinik
5
Down Syndrome
6
Kerja Sama dengan PCNU Kab Tangerang, Kampus NU Ini Serahkan Voucer Kuliah Murah untuk Para Kader
Terkini
Lihat Semua