Singgih Aji Purnomo
Kolomnis
Pendidikan di Indonesia selalu unik dan menjadi topik yang tak pernah habis diperbincangkan. Mulai dari kurikulum yang terus berganti, kesenjangan fasilitas, hingga kebijakan yang kerap menimbulkan polemik.
Dewasa ini, muncul lagi fenomena baru yang memantik perdebatan: dikotomi pendidikan melalui program Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat. Kedua program ini dinilai memperlebar jurang ketimpangan, menciptakan klasterisasi dalam dunia pendidikan, di tengah masalah lain seperti kurikulum yang tidak stabil dan minimnya jumlah kepala sekolah berkualitas.
Dikotomi Sekolah Garuda vs Sekolah Rakyat
Baca Juga
Pendidikan Berkesadaran
Program Sekolah Garuda digadang-gadang sebagai sekolah unggulan yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah, baik dari segi fasilitas, kualitas guru, maupun anggaran. Sementara itu, Sekolah Rakyat sebutan tidak resmi untuk sekolah-sekolah biasa, hanya mendapat alokasi minim, dengan fasilitas seadanya dan guru yang kerap kekurangan kompetensi. Semoga dengan dikelola oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia Sekolah Rakyat terasa manfaatnya.
Dikotomi semacam ini bukan hal baru. Sejak era RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai diskriminatif, Indonesia terus terjebak dalam pola pikir "sekolah unggulan" versus "sekolah biasa". Akibatnya, terjadi klasterisasi pendidikan, di mana siswa dari keluarga mampu akan masuk ke sekolah favorit dengan fasilitas lengkap, sementara siswa dari keluarga kurang mampu terpaksa bersekolah di tempat yang jauh dari standar memadai.
Baca Juga
Menatap Masa Depan Pendidikan Indonesia
Padahal, Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang sama. Namun, realitanya, kesenjangan justru kian melebar. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa hanya 15% sekolah di Indonesia yang memenuhi standar nasional pendidikan, sementara sisanya masih jauh dari kata layak.
Kurikulum yang Tak Kunjung Stabil
Selain masalah kesenjangan, dunia pendidikan Indonesia juga dihantui oleh kurikulum yang terus berganti. Dalam dua dekade terakhir, kita telah mengalami beberapa kali perubahan, Kurikulum 2004 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013 (K-13), Kurikulum Merdeka (2022) dan Kukikulum Nasional (2025).
Setiap pergantian kurikulum membutuhkan penyesuaian dari guru dan siswa. Namun, seringkali pelatihan guru tidak maksimal, sehingga implementasinya pun setengah matang dan tidak matang. Alih-alih meningkatkan kualitas pembelajaran, perubahan kurikulum justru membuat guru kebingungan dan siswa menjadi korban eksperimen kebijakan.
Menurut Survei PGRI (2023), hanya 40% guru yang merasa siap dengan Kurikulum Merdeka. Sebagian besar mengeluh kurangnya sosialisasi dan pendampingan. Jika guru saja belum siap, bagaimana mungkin siswa bisa mendapatkan pembelajaran yang optimal?
Krisis Kepala Sekolah
Masalah lain yang tak kalah pelik adalah kualitas kepala sekolah. Data Kemdikbud (2023) menyebutkan bahwa dari sekitar 250 ribu kepala sekolah di Indonesia, hanya sekitar 50 ribu yang memenuhi standar kompetensi. Artinya, 80% kepala sekolah belum memenuhi kualifikasi ideal.
Yang terbaru dan cukup mengkhawatirkan bahwa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemedikdasmen) ungkap saat ini Indonesia kekurangan 50 ribuan Kepala Sekolah, Direktur Jenderal Guru Tenaga Kependidikan dan Pendidikan Guru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen GTKPG) Nunuk Suryani saat peluncuran Program Kepemimpinan Sekolah di Graha Utama, Gedung A lantai 3, Kompleks kemendikbudristek, Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, pada Senin 23 Juni 2025 mengatakan Kebutuhan Kepala Sekolah di Seluruh Indonesia masih sangat Tinggi, dengan total mencapai 50.971 orang.
Padahal, kepala sekolah adalah ujung tombak manajemen pendidikan. Jika pemimpin sekolah tidak kompeten apalagi kekurangan dari segi jumlahnya, mustahil guru dan siswa bisa berkembang optimal. Banyak kepala sekolah yang hanya memenuhi syarat administratif, tetapi lemah dalam kepemimpinan pendidikan, manajemen sekolah, dan inovasi pembelajaran.
Ragam masalah itu perlu diatasi dengan langkah strategis, dimulai dari menghapus Kebijakan Diskriminatif. Pemerintah sebaiknya menghentikan program yang memicu kesenjangan, seperti Sekolah Garuda, dan lebih fokus pada pemerataan fasilitas dan kualitas guru. Setiap sekolah harus mendapat dukungan yang setara.
Selanjutnya, stabilisasi kurikulum dengan pelatihan guru yang memadai. Jika kurikulum harus berubah, pastikan guru benar-benar siap. Pelatihan intensif dan pendampingan harus dilakukan sebelum kurikulum baru diterapkan.
Ketiga, meningkatkan kualitas kepala sekolah. Perlunya program sertifikasi dan pelatihan khusus bagi kepala sekolah agar mampu memimpin dengan visi pendidikan yang kuat.
Keempat, anggaran pendidikan yang tepat sasaran. Alokasi 20% APBN untuk pendidikan harus benar-benar digunakan untuk peningkatan kualitas, bukan hanya proyek fisik yang tidak berdampak signifikan.
Pendidikan Bukan Arena Eksperimen
Pendidikan Indonesia sudah terlalu sering menjadi kelinci percobaan kebijakan. Mulai dari dikotomi sekolah unggulan vs sekolah biasa, kurikulum yang berubah-ubah, hingga minimnya kualitas kepala sekolah. Jika tidak ada perubahan mendasar, kita hanya akan terus berputar dalam masalah yang sama.
Pendidikan seharusnya menjadi jalan menuju kesetaraan, bukan justru memperlebar jurang sosial. Sudah saatnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan duduk bersama, merancang sistem pendidikan yang benar-benar berkeadilan dan berkelanjutan. Kalau tidak, kita hanya akan terus mengeluh: "Ada-ada saja pendidikan kita!"
Wallahu a’lam bis shawab.
Singgih Aji Purnomo, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al Amanah Al-Gontory, Redaktur Pelaksana Warta NU Online Banten
Terpopuler
1
AKN NU Membangun Kader dengan Jiwa Petarung
2
Ketua PCNU Kabupaten Serang: Kader NU Bukan Komentator, Harus Berperan Aktif
3
Ada-Ada Saja Pendidikan Kita (Indonesia)
4
Sopian Terpilih sebagai Ketua PAC Ansor Banjarsari, Baehaqi Jadi Nakhoda Malingping
5
AKN NU sebagai Ikhtiar Lahirkan Pemimpin NU Masa Depan
6
Berburu Kemabruran Haji
Terkini
Lihat Semua