Opini

Post Power Syndrome

Kamis, 24 Juli 2025 | 01:02 WIB

Post Power Syndrome

Ilustrasi kehilangan jabatan atau kekuasaan. (Foto: Freepik)

JUDUL di atas dapat diartikan sindrom pascakekuasaan, sebuah kondisi psikologis yang terjadi ketika seseorang mengalami kesulitan menerima kenyataan bahwa mereka telah kehilangan jabatan atau kekuasaan yang dulu mereka miliki.



Kekuasaan adalah karunia dan rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia. Kekuasaan akan membawa perubahan yang dahsyat pada kehidupan peradaban, jika manusia pemangku kekuasaan benar-benar taat dan tunduk pada handbook yang telah digariskan oleh Sang Pemilik Kekuasaan sejati, yakni Allah swt. Jabatan yang melekat pada diri kita, pasti akan purna dan kita akan pensiun. Ini karena jabatan memang terbatasi oleh ruang dan waktu. Terdapat limitasi atas sebuah jabatan. Ini yang harus disadari oleh pejabat, sedari awal sebelum menjabat. Pikirkanlah pensiun sebelum menjabat.

 


Pejabat harus mampu menerjemahkan kehendak Allah atas bumi­-Nya. Mumpung-mumpung masih menjabat, seseorang harus mengelola jabatannya dengan baik dan bijak. Menggunakan tanda tangan sesuai peruntukannya. Sudahi penyelewengan tanda tangan yang menyengsarakan rakyat banyak. Dengan melakukan hal itu, seseorang telah ‘memutihkan’ dosanya dan akan kembali menjadi makhluk Tuhan yang mulia.

 


Pendek kata, jabatan adalah pemberian Allah swt. Allah akan memberikan sebuah jabatan kepada hamba-Nya yang dikehendaki dan akan mencabut jabatan dari seseorang yang juga dikehendaki. Surat Ali Imran, ayat 26, menandaskan atas hal tersebut, “Katakanlah (Nabi Muhammad), ’Wahai Allah, Pemilik Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.”

 


Dalam ayat ini Allah menyuruh Nabi untuk menyatakan bahwa Allah Yang Mahasuci yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan Mahabijaksana dengan tindakan-Nya yang sempurna di dalam menyusun, mengurus, dan merampungkan segala perkara dan yang menegakkan neraca undang-undang di alam ini. Maka Allah yang memberikan urusan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Allah juga yang mencabut kekuasaan dari orang-orang yang Dia kehendaki, disebabkan mereka berpaling dari jalan yang lurus, yaitu jalan yang dapat memelihara kekuasaan karena meninggalkan keadilan dan berlaku curang dalam pemerintahan.



Allah juga memberi kekuasaan kepada orang yang Dia kehendaki dan menghinakan orang yang Dia kehendaki. Orang yang diberi kekuasaan ialah orang yang didengar tutur katanya, banyak penolongnya, mempengaruhi jiwa manusia dengan wibawa dan ilmunya, mempunyai keluasan rezeki dan berbuat baik kepada segenap manusia.

 


Pada akhirnya, sebagai seorang Muslim yang mukmin, pendekatan keimanan atas jabatan adalah sebuah keniscayaan. Kita harus yakin jabatan pasti akan diambil kembali oleh Allah agar manusia penuh kesadaran paripurna dan bertambah rasa keimanan sebagai hamba yang paling mulia.

Wallahu a’lamu bisshawab.



Kiai Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Wakil Rais Syuriyah PCNU Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; dan Dewan Pakar ICMI Orwil Banten; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot, Sabilillah, dan Gondang Legi Malang; MA Nahdlatul Muslimin Kudus; serta Universitas Diponegoro Semarang