Opini

Paradoks Jabatan Fungsional Dosen di Indonesia

Jumat, 23 Mei 2025 | 09:49 WIB

Paradoks Jabatan Fungsional Dosen di Indonesia

Ilustrasi Paradoks Jabatan Fungsional Dosen. (Foto: freepik.com)

Jabatan fungsional dosen di Indonesia merupakan salah satu pilar penting dalam pengembangan pendidikan tinggi. Namun, di balik perannya yang strategis, terdapat sejumlah paradoks yang mengiringi pelaksanaannya.

 

Di satu sisi, dosen dituntut untuk memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat), sementara di sisi lain, sistem penilaian jabatan fungsional seringkali dirasa tidak adil, tidak transparan, dan bahkan kontraproduktif terhadap pengembangan keilmuan.

 

Kajian Historis Jabatan Fungsional Dosen  

Sependek penelusuran penulis, sejak era kolonial hingga pascakemerdekaan, status dosen di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Pada masa awal kemerdekaan, dosen lebih dipandang sebagai tenaga pengajar semata tanpa sistem pengembangan karier yang jelas.

 

Baru pada 1980-an, pemerintah mulai memperkenalkan sistem jabatan fungsional dosen melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kepmenpan) No. 38/1980, yang kemudian disempurnakan dengan Permenpan RB No. 17/2013 dan terakhir Permenpan RB No. 46/2023.  

 

Namun, dalam perjalanannya, sistem ini menghadapi beberapa masalah mendasar, dimulai dari ketimpangan antara beban dan penghargaan. Dosen seringkali terbebani oleh administrasi yang rumit, sementara penghargaan atas kinerja penelitian dan pengabdian masyarakat tidak sebanding.

 

Belum lagi, kaku dalam penilaian karya ilmiah. Sistem penilaian yang terlalu berfokus pada kuantitas publikasi, tanpa mempertimbangkan kualitas dan dampak nyata terhadap keilmuan.  

 

Mirisnya lagi, minimnya pengakuan atas inovasi pengajaran. Dosen yang berdedikasi tinggi dalam pengembangan metode pembelajaran seringkali kesulitan naik jabatan karena penilaian lebih mengutamakan publikasi ilmiah.

 

Paradoks dalam Sistem Penilaian Saat Ini

Beberapa paradoks yang muncul dalam sistem penilaian jabatan fungsional dosen. Pertama, publikasi vs. relevansi sosial: Dosen didorong untuk memublikasikan karya ilmiah, tetapi banyak penelitian yang hanya mengejar indikator administratif tanpa kontribusi nyata.  

 

Kedua, kredit poin yang tidak proporsional: Kegiatan pengabdian masyarakat sering dinilai lebih rendah dibanding publikasi, meskipun dampaknya langsung terasa di masyarakat.  

 

Ketiga, birokrasi yang membelenggu: Proses pengajuan angka kredit seringkali rumit dan memakan waktu, sehingga mengurangi fokus dosen pada pengembangan keilmuan.  

 

Resolusi Model Penilaian yang Berkeadilan 

Untuk mengatasi paradoks ini, diperlukan reformasi sistem penilaian jabatan fungsional dosen yang lebih holistik dan berkeadilan. Berikut beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan.

 

Pertama, penilaian berbasis kualitas, bukan kuantitas semata. Memperkuat peer-review untuk menilai dampak penelitian dan memberikan bobot lebih tinggi pada publikasi di jurnal bereputasi dan penelitian terapan.  

 

Kedua, pengakuan terhadap inovasi pembelajaran. Memasukkan penilaian metode pengajaran kreatif, pengembangan bahan ajar digital, dan dampaknya terhadap mahasiswa.  

 

Ketiga, simplifikasi administrasi. Menggunakan sistem digital terintegrasi untuk mengurangi beban administratif.  

 

Keempat, keseimbangan antara Tri Dharma. Memberikan bobot yang adil antara pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.  

 

Kelima, perlunya otonomi Penilaian Angka Kredit (PAK) Dosen. Memberikan kewenangan perguruan tinggi menilai PAK masing-masing dosen melalui mekanisme SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) agar membantu kerja-kerja kementerian terkait juga memangkas belenggu tata kelola birokrasi.

 

Pamungkas, perlu dilakukan sistem penilaian rekognisi (memberi pengakuan terhadap pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan seorang dosen dalam kegiatan Tri Dharma) bagi capaian yang setara dengan bentuk publiksasi ilmiah, seperti artikel terbit dan terindeks scopus sebagai indikator capaian prestisius yang juga didambakan para pejuang kenaikan jabatan fungsional dosen.

 

Jabatan fungsional dosen seharusnya menjadi pendorong kemajuan akademik, bukan sekadar formalitas birokratis.

 

Dengan meninjau ulang model penilaian secara historis dan mengusulkan perbaikan yang lebih adil, diharapkan dosen dapat lebih fokus pada kontribusi nyata bagi pendidikan dan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Singgih Aji Purnomo, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al Amanah Al-Gontory, Redaktur Pelaksana Warta NU Online BantenÂ