• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 5 Mei 2024

Opini

Urgensi Progresivitas Pemikiran terhadap Teks Kitab Kuning

Urgensi Progresivitas Pemikiran terhadap Teks Kitab Kuning
Belajar kitab kuning. (NUO)
Belajar kitab kuning. (NUO)

SECARA prinsip, ajaran Islam terejawantahkan pada dua sumber. Pertama adalah Al-Qur'an dan hadits sebagai sumber primer yang bersifat normatif dan perlu adanya interpretasi secara komprehensif dengan ditunjang perangkat keilmuan yang kompleks agar bisa dipahami. Kedua adalah sumber ijtihadi berupa teks-teks klasik keislaman yang bersifat relatif, yang merupakan hasil elaborasi dari Al-Qur'an dan hadits itu sendiri.

 


Teks-teks keislaman klasik biasanya juga disebut dengan istilah turats yang merupakan legacy (warisan keilmuan ulama terdahulu) dan lazimnya dicetak dan disajikan dalam kertas berwarna kuning (kitab kuning). Selain itu, kitab kuning dicetak dengan tanpa harakat sehingga kitab kuning juga disebut dengan kitab gundul. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang memiliki bekal gramatika bahasa arab yang matang yang mampu membaca dan memahaminya.

 


Kitab kuning kebanyakan muncul setelah kitab muwatha' nya Imam Malik dan kitab al-Um nya as-Syafi'i yang merupakan induk dari fiqih Mazhab Syafi'i itu sendiri, lebih tepatnya karya yang ditulis di era abad ke-10 sampai ke-19 Masehi (era ulama mutaqaddimin). Sedangkan kitab yang ditulis pada abad ke-20 dan setelahnya dikenal dengan kitab ulama 'ashriyah (kontemporer) sebagaimana kitab yang ditulis Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (w.1915), KH Mahfudz Termas (w.1919), KH Hasyim Asy'ari (w.1947), dan sebagainya.

 


Perkembangan dan eksistensi pesantren di Indonesia, tidak luput dari pengaruh kitab kuning. Menurut Zamakhsyari Dhofier, salah satu dari empat komponen yang esensial pembentuk dan sebagai penanda pesantren ialah kitab kuning, selain bangunan pondok, masjid, dan kiai. Pesantren tentu sebagai transformasi kajian kitab kuning yang telah tervalidasi secara historis. Maka dari itu, pesantren merupakan estafet tradisi keilmuan Islam klasik yang berperan besar. Uniknya, pesantren dan budaya yang dimilikinya bersifat asli (indigenous) dari Indonesia.

 


Sedangkan unsur pesantren yang memiliki peran besar dalam edukasi (tarbiyah) dan transformasi ilmu (ta'lim) adalah sosok kiai. Kiai sebagai transleter dari isi kitab kuning sehingga santri mampu menangkap dan memahami makna yang terkandung di dalamnya.

 


Selain itu, kitab kuning memiliki peran sentral dan merupakan jangkar keilmuan yang mengakar sehingga watak dan perilaku masyarakat pesantren tidak luput dari pengaruh khazanah keilmuan tersebut,  utamanya dalam bidang fiqih, akidah, dan tasawuf. Dalam forum diskusi ilmiah ala pesantren dan Nahdlatul Ulama pada umumnya, kitab kuning merupakan literatur pokok di dalam perannya sebagai dalil, dalam artian tentu tidak menafikan dalil nash primer (Al-Qur'an dan hadits), karena kitab kuning merupakan kepanjangan pemahaman (iqtibas) dalil nash Al-Qur'an dan hadits itu sendiri.

 


Awal mula kitab kuning dikenal di Nusantara pada era Wali Songo, khususnya pada era Maulana Malik Ibrahim (w.1419), Sunan Ampel, dan Sunan Giri. Sistem pengajian kitab bandongan mulai dikenalkan oleh para wali tersebut sebagai media dakwah utama selain dakwah melalui budaya yang terakulturasi melalui nilai-nilai keislaman. Kultur kajian keislaman dengan model seperti ini di kemudian hari diadopsi dan dilestarikan oleh pesantren-pesantren di Nusantara hingga kini, terutama pesantren tradisional (salaf).

 


Pembelajaran kitab kuning di pesantren umumnya dilakukan secara gradual, di mulai dari kajian kitab-kitab dasar (ula), lalu menengah (wustha), hingga kelas tinggi (‘ulya). Biasanya kitab yang diajarkan di tingkat dasar adalah kitab-kitab matan dari berbagai fan semisal contoh dalam fan fiqih, ada matan Taqrib yang dikaji mendalam lalu naik pemahaman fiqihnya ke kitab-kitab syarah maupun hasyiyah dari rumpun matan Taqrib dan selainnya seperti kitab Fath al-Qarib, al-Bajuri, Bujairami ala al-Khatib, Bujairami ala al-Manhaj, Syarqowi, Tuhfah Al-Muhtaj, Al-Majmu', Mughni al-Muhtaj, Manhaj At-Thullab, Fath al-Wahhab, Qurrotu al-Ain, Fath al-Mu'in, Hasyiyah al-Jamal, dan lain sebagainya dan dari fan keilmuan yang beragam.

 


Sinergi yang solid antara pesantren dan kitab kuning sudah terjalin berabad-abad lampau dan hubungan inilah yang akhirnya menjadi salah satu variabel positif atas laju perubahan zaman dan peradaban. Perlu diketahui pula, redaksi kitab kuning (utamanya fan fiqih) yang disusun oleh ulama tidak sekadar hadir, melainkan disusun berdasarkan tantangan zaman, kondisi masyarakat saat itu, kultur daerah, hingga corak metode penggalian hukumnya. Terlebih teks fiqih bersifat nisbi, alias tidak absolut, maka kontekstualisasi pemahaman, relevansi dengan realitas zaman niscaya akan selalu ada agar keberadaan dan posisi kitab kuning terus eksis dan berkembang.

 


Selain itu, dalam simpul benak kebanyakan pengkaji kitab kuning di lingkungan pesantren, mereka beranggapan bahwa teks-teks yang tersaji di dalam kitab dianggap sesuatu yang mutlak laksana kitab wahyu, sehingga menganggap tabu dan tidak berani mengkontekstualisasikan dan mentransmisikan unsur yang ada di dalamnya terhadap perubahan zaman. Padahal, berabad-abad lamanya, Imam Qarafi (w.1285) dalam kitabnya yang berjudul al-Furuq fi Anwar al-Buruq menegaskan pentingnya berpikir progresif terhadap teks-teks keislaman agar tidak stuck alias mandek, sehingga terjebak pada kesalahfahaman, kealpaan pemahaman, dan bahkan tidak mampu menangkap maksud  dari apa yang tertulis

 

الجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين

 


Salah satu contoh teks yang sudah dianggap tidak relevan terhadap perubahan zaman ialah konsep perbudakan, punishment atas orang murtad dan masih banyak lagi. Hampir di dalam teks kitab fiqih klasik menyatakan bahwa orang murtad harus dibunuh. Dari sini menimbulkan kesan bahwa Islam merupakan agama yang memaksa pemeluknya atas apa yang mereka yakini, dan seolah ini bertentangan dengan prinsip "Islam agama yang rahmat" dan "tidak ada paksaan dalam beragama", padahal pada masa itu (masa fuqaha berijtihad dan menyusun kitabnya), tidak ditemukan orang yang keluar dari Islam (murtad) kecuali dia menjadi orang yang memusuhi Islam.



Tentu kondisi ini berbeda dengan sekarang, dan tentu tidak bisa diterapkan secara frontal konsep hukuman had tersebut kepada orang murtad sebagaimana yang tertulis dalam kitab-kitab fikih dahulu.



Maka dari itu, pentingnya kita membangun sikap kritis, progresif, dan konstruktif di dalam mengaplikasikan muatan-muatan kitab kuning terhadap perubahan zaman, sehingga kita bisa bersikap luwes dan bijak, dan terpenting ialah keilmuan Islam yang ada pada kitab kuning tetap  terjaga dan terawat dengan baik sebagai preseden khazanah keilmuan yang mapan. Wallahu a'lam.

Moh Zainul Arif, Sekretaris LBM PCNU Tangsel


Opini Terbaru