• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

Merekonstruksi Prioritas Hidup

Merekonstruksi Prioritas Hidup
Ilustrasi. (Foto: Freepik)
Ilustrasi. (Foto: Freepik)

“Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan suatu hal yang tidak berguna baginya.” Redaksi tersebut diabadikan oleh Imam Tirmidzi bernomor hadis 2.317, diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang sebelumnya disitir Abi Salamah (Sunan Tirmidzi, DKI, Jilid 3). 


Makna implisit hadits tersebut adalah bahwa seorang Muslim harus pandai memilah dan memilih skala prioritas dalam kehidupannya. Dalam konteks dunia modern, banyak dari kita gamang dan gundah gulana dalam menjalani kehidupan di dunia hanya karena tidak memiliki skala prioritas bahkan tujuan hidup. Skala prioritas seseorang akan berbeda satu dengan lainnya. Sebagian dari kita mungkin lebih senang bergumul dengan syahwat duniawi dan menafikan urusan akhirat, ataupun sebagian lagi tergila-gila dengan urusan ukhrawi, namun urusan dunia disandarkan sepenuhnya kepada orang lain.


Manusia mesti memahami bahwa Allah menciptakannya adalah untuk beribadah (menyembah) kepada-Nya. “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Adzariyat: 56). Ayat tersebut berkelindan dengan bunyi ayat 36 dalam Surat an-Nisa, “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” 


Allah memberikan clue dan perintah agar manusia memurnikan ibadahnya semata menyembah Allah bukan malah menyekutukan-Nya. Ini dalah prioritas tertinggi seorang Muslim. Dalam fenomena yang sedang sulit, biasanya manusia menyembah apa-apa yang tampak dapat membantu kesulitannya secara instan. Dalam konteks ini, manusia menghambakan diri pada harta, jabatan, kedudukan, bahkan pada atasannya. Sikap menghambakan diri kepada selain Allah adalah dosa besar serta dilarang karena memadankan Allah dengan ciptaan-Nya.


Seorang Muslim harus melihat dunia dengan perspektif kefanaan bukan kekekalan. Ini artinya, bahwa segala aktivitas duniawi yang sifatnya dikekang oleh ruang dan waktu harus dilakukan dengan penuh niatan suci, karena jika meleset maka catatan amal atas aktivitas tersebut, tidak membekas pada ‘buku besar’ kelak di akhirat. Di sinilah, kecerdasan dan keimanan seorang Muslim diuji. Sehingga, seorang Muslim akan selalu menakar niat baik sebelum melakukan aktivitas agar tindakannya tidak sia-sia belaka.


Seorang Muslim hendaknya juga berkeyakinan bahwa dunia adalah medium menanam kebaikan. Kebaikan apa saja yang ditanam, akan dapat diunduh kelak nanti. Dalam hal ini, cara melihat dunia dengan kacamata parsial—hanya sisi negatifnya—bukan secara holistik, harus dienyahkan dari benak. Dengan kata lain, akhirat tergantung dunia. Segala kenikmatan di akhirat kelak adalah buah dari apa-apa yang diupayakan di alam dunia. 


Pada akhirnya, momentum tempaan rohani pada bulan suci Ramadhan adalah waktu yang sangat tepat untuk merekonstruksi skala prioritas seorang Muslim agar tidak masuk dalam sindiran Allah, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta saling membanggakan diri akan banyak harta dan anak.” (QS al-Hadid: 20)


Naudzu billah min dzalik! 


Wallahu A‘lamu Bisshawab


Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang NU Bayah; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Lulusan Pondok Pesantren Al-Khoirot, Sabilillah Kudus; dan Universitas Diponegoro Semarang


Opini Terbaru