• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Selasa, 14 Mei 2024

Opini

Tujuan Hidup Versi Masyarakat Jawa

Tujuan Hidup Versi Masyarakat Jawa
“Ngawulo dhateng kawulaning Gusti”. Abdikan hidupmu untuk sesama untuk lingkunganmu untuk alam semesta.
“Ngawulo dhateng kawulaning Gusti”. Abdikan hidupmu untuk sesama untuk lingkunganmu untuk alam semesta.

Tujuan Hidup dalam aksara Jawa disebut bahwa “Ngawulo dhateng kawulaning Gusti lan memayu hayuning urip, tanpa pamrih, tanpa ajrih, ajeg mantep, mawi pasrah. Sebab payung kula gusti kula, tameng kula inggih gusti kulo”  apa sih tujuan hidup? Katanya Drs Raden Mas Panji Sosrokartono yang merupakan wartawan perang, penerjemah, guru, dan ahli kebatinan Indonesia mengungkapkan bahwa tujuan hidup itu mengabdi kepada hamba tuhan.

 

Selama ini bila kita bermuhasabah diri ya kita ini hambanya hilang. Ini berarti bila kita petik benang merah, sejatinya tujuan hidup kita ini adalah sebagai seorang khalifah, selama ini kita mengatakan bahwa mengabdi itu ialah selalu yang vertikal, ya iya juga kalau itu yang termasuk dalam kategori ibadah, akan tetap ada yang lebih penting yaitu “Ngawulo dhateng kawulaning Gusti”.

 

Abdikan hidupmu untuk sesama untuk lingkunganmu untuk alam semesta, Jadi ya “Ngawulo dhateng kawulaning Gusti” tujuannya apa? Ialah “memayu hayuning urip” hidup ini adalah indah ayo kita buat hidup ini lebih menarik lebih indah lagi jangan malah dirusak yang tidak sedikit dilakukan orang hari ini ialah hidup ini indah tapi didegradasi oleh manusia, kita tidak “memayu hayuning mbawono” seandainya ada pembagian raport itu mungkin rapor yang banyak merahnya itu ialah manusia kenapa? Karena tidak sedikit dari manusia itu tidak menjalankan tugasnya sesuai yang diperintahkan, kita “memayu hayuning urip”.

 

Lakukan tadi, “Ngawulo dhateng kawulaning Gusti” lan “memayu hayuning urip, tanpa pamrih, tanpa takut” tegakkan dirimu dan mantapkanlah setelah itu pasrahkan semua kepada Gusti Allah SWT yakni pasrah menjadi kunci utamanya, kalau Gusti Allah-Nya hilang susah kamu tambah pamrih, susah kamu tidak takut, susah kamu mantap. Cara untuk bisa tambah pamrih, tambah takut dan tambah mantap adalah bersandar kepada Gusti Allah SWT. “Pokoknya andalkan saja kepada Gusti Allah SWT saja sebab payung kula ya gusti kula yang melindungi aku adalah Tuhanku yang jadi perisai aku adalah Tuhanku”. begitulah katanya Sastro Kartono.

 

Kita sejatinya faham dalam kutipan kalimat ini akan tetapi menghayati dalam lakulampah kehidupan mungkin agak sulit. Jadi, ya hiduplah untuk mengabdi demi alam semesta yang lebih indah, buang semua pamrih, buang semua ketakutan mantapkan diri disitu tidak usah terlalu panjang mikiir ya kuncinya cuma satu yakni pasrahkan diri kepada Gusti Allah SWT, bahwa Gusti Allah SWT yang melindungimu, yang menamengimu, yang menuntunmu. Kalau kita sudah sampai pada level ini jiwa kita akan masuk pada kriteria ‘Muthma’inah’ tidak terburu-buru oleh apa-apa lagi.

 

Selanjutnya yaitu “Wasipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng, seneng ing sengsara, tunggaling sewu yutaWasipun itu ialah maksudnya hidup ini ayo kit cari terang dalam kegelapan, ayo kita cari kebahagiaan dalam kesengsaraan contohnya berjuta-juta ‘tunggaling sewu yuta’. Jadi, hidup ini memang selalu ada dua aspek yakni ada terang dan ada juga gelap, ada senang juga ada susah, mislanya kita hidup hanya mau terang saja dan mau senang saja kalian tentu akan stress. Untuk bisa hidup kita sempurna, hidup kita utuh kita harus bisa menemukan terang dalam gelap menemukan bahagia dalam kesengsaraan.

 

Ya, kalau misalnya terangnya sendiri otomatis kita bisa sudah menjalani, bahagia kita bisa menjalani biasanya orang tidak siap itu menjalani itu ketika gelap ya ketika sengsara. Akan tetapi kalua kita bisa menemukan terang dalam kegelapan dan menemukan kebahagiaan dalam kesengsaraan hidup kita utuh Bahagia.

 

Jadi, sisi gelap kita apa? Ya, coba kita kontemplasikan atau renungi disitu ada titik-titik terangnya tidak ada gelap yang total gelap. Terkadang jika kita menggunakan pendektan keilmuan yaitu ‘hikmahnya selalu saja ada’ dibalik kesedihan-kesedihanmu itu juga disitu banyak juga kebahagian-kebahagian terselip yang kita tidak sadar. Ada enaknya, atau yang sebenarnya itu enak tapi kita tidak menyadari bahwa itu enak.

 

Misalnya dalam romantika kehidupan bro saya kerja dipecat oleh perusahaan nah itu adalah bagaian dari kegelapan yang menyengsarakan iya tapi itu ada sisi terangnya bahwa ya alhamdulillah ya bahwa sekarang harusnya kita bersyukur ya sekarang tidak ada tuntutan tanggung jawab dan kewajiban semisalnya kerjaan deadline yang hari itu waktu itu juga harus selesai itu kan ada titik-titik terangnya, semisalnya lagi bro saya sampai umur segini kok ya jomblo terus ya bro tidak ada pasangan kekasih dalam hidup ini itu kan bagimu gelap ya sejatinya itu tidaklah gelap justru terang seharusnya akan tetapi kita tidak menemukan terangnya tititik-titik terangnya disit banyak itukan sebenarnya terang bahwa kamuya tidak laku.

 

Sejatinya kalau kita nalarnya berjalan kitab isa menemukannya ya kalau kamu bisa menemukan solusi yang seperti ini kamu seperti halnya Diogenes dari Sinope merupakan tokoh filsuf yang termasuk ke dalam Mazhab Sinis juga Nashruddin Hodja seorang sufi satirikal dari Dinasti Seljuk, dipercaya hidup dan meninggal pada abad ke-13 di Akshehir, dekat Konya, ibu kota dari Kesultanan Rum Seljuk, sekarang di Turki. Ia dianggap orang banyak sebagai filsuf dan orang bijak bahwa tidak ada yang bikin sumpek semua peristiwa ketemunya tertawa dan tersenyum jadi tidak ada sisi sumpeknya dalam hidup ini itu kalua kita bisa mencari terang dalam gelap dana menemukan kebahagiaan dalam kesengsaraan, misalnya kisah remaja yang fenomenal diputusin pacar rasanya sumpek tapi ya alhamdulilah bisa nambah wawasan dan mencari lagi itukan salah satu titik-titik terang, dibandingkan yang bertahun-tahun itu saja pacarnya itukan ya wawasannya sempit tapi kan kalau banyak wawasannya luas itu menemukan terang dalam kegelapan.

 

 

Taufik Hidayat at-Tanari, Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Al-Fathaniyah Tengkele, Serang Banten


Editor:

Opini Terbaru