Singgih Aji Purnomo
Kolomnis
Dewasa ini media sosial dan masyarakat latah membicarakan istilah Rohana (Rombongan Hanya Nanya) dan Rojali (Rombongan Jarang Beli). Istilah ini mengacu pada kelompok pengunjung mal yang datang dalam rombongan besar, hanya melihat-lihat atau bertanya harga, lalu pulang tanpa membeli apa pun alias pulang dengan tangan kosong.
Fenomena ini terutama menandai perubahan daya beli dan pola konsumsi masyarakat urban pasca pandemi hingga konflik luar negeri akhir-akhir ini. Istilah ini belum ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), namun maknanya langsung viral di media sosial sebagai sindiran jenaka terhadap gaya hidup konsumerisme rendah.
Fenomena Sosial‑Ekonomi: Apa yang Terjadi?
Baca Juga
Filantropi Solusi Sindrom Shopaholic
Adanya penurunan daya beli, Data BPS kuartal I 2025 menunjukkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya sekitar 4,8 %, lebih rendah dari rata-rata pra‑pandemi (-5,2 %), sementara harga bahan pokok naik hampir 2 % dan upah riil stagnan. Ini membuat belanja menjadi pilihan terpaksa hanya yang penting dan dibutuhkan.
Pengunjung ramai, transaksi melemah. Adanya gap dimana mal masih ramai, sementara omzet tenant justru melemah, karena banyak pengunjung yang hanya jalan‑jalan atau membuat konten tanpa membeli produk apapun.
Potret Mal kini tak hanya tempat belanja, tetapi ruang publik hiburan murah: nyaman, aman, ber-AC, cocok untuk nongkrong atau membuat konten OOTD (Outfit of The Day) atau spot foto sekaligus bebas biaya besar. Tren ini diperkuat konten media sosial yang mendorong sharing pengalaman tanpa transaksi
Sadar atau Ikut‑ikutan?
Bijak atau keterpaksaan? Bagi sebagian orang, kehadiran mereka adalah ekspresi kehati‑hatian konsumen (survey harga, kualitas) sebagai bagian dari proses belanja yang rasional.
Namun banyak juga yang melakukannya tanpa niat membeli karena keterbatasan ekonomi, bukan karena nilai konsumsi Islami.
Efek peer behavior sosial media. Ketika banyak orang mem-posting aktivitas jalan-jalan di mal tanpa belanja, ini menciptakan tren ikutan fenomena ikut rame tapi tak membeli sebagai ritual sosial modern.
Tinjauan Pendidikan Islam: Menimbang Nilai dan Perilaku
Islam memandang konsumsi sebagai aktiviti spiritual berlandaskan keseimbangan (tawazun), pertanggungjawaban (hisab), dan manfaat umum (maslahah). QS. Al‑Furqān ayat 67 menyatakan:
“Dan orang‑orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih‑lebihan, dan tidak (pula) kikir, …”
Jika menahan belanja karena kesadaran spiritual dan pengelolaan keuangan yang bijaksana, maka itu sesuai ajaran Islam. Namun jika karena terpaksa, itu cerminan krisis ekonomi, bukan pencapaian moral konsumsi.
Perilaku Rohana atau Rojali berdasarkan keterbatasan ekonomi menunjukkan ketidakseimbangan (ghuluw) tetapi bukan ghuluw dalam bentuk boros melainkan karena kebutuhan pokok lebih prioritas daripada gaya hidup konsumtif.
Dalam Islam, seseorang harus bertanggungjawab atas caranya menggunakan waktu dan uang. Jika aktivitas di mal hanya membuang waktu dan tidak membawa manfaat (misalnya tidak belanja tapi mengonsumsi fasilitas gratis berlebihan), ini perlu refleksi hisab pribadi dan sosial.
Respon dari Perspektif Pendidikan Islam
Pesantren dan pengajian bisa mempromosikan pendidikan akhlak konsumsi: berbelanja dengan niat yang jelas, tidak boros, menghindari belanja impulsif, dan mengedepankan manfaat sosial seperti sedekah dan zakat.
Etika ekonomi syariah dan social commerce. Di era jualan online, konsumen sering terdorong diskon serta testimoni palsu. Islam menuntut sidq (jujur), amanah, dan ‘adl dalam proses jual beli. Ini berlaku juga pada pelaku UMKM yang menarget konsumen digital.
Mendorong UMKM syariah dan edukasi. Pendidikan Islam dapat memperluas dakwah nilai syariah dalam bisnis digital: marketplace syariah berbasis komunitas, pelatihan etika pemasaran di pesantren, dan fitur rating halal‑etika di platform digital.
Analisis: Dampak dan Implikasi bagi Pendidikan Islam
Pertama, dipotret dari aspek konsumsi masyarakat membawa dampak yang menurun, masyarakat memilih hanya dilihat karena keterbatasannya. Sementara Pendidikan Islam punya peran dalam edukasi pengelolaan keuangan syariah: membedakan kebutuhan vs keinginan.
Kedua, aspek nilai moral konsumsi punya dampak yang bisa jadi positif (hati-hati), atau negatif (keterpaksaan). Peran Pendidikan Islam melalui penguatan Literasi konsumsi Islami: tawazun, maslahah, hisab.
Ketiga, aspek perilaku media sosial punya dampak FOMO konten dan window shopping sebagai hiburan gratis. Peran Pendidikan Islam melalui dakwah digital: mengajak konten kreatif yang membawa nilai bukan gaya hidup konsumtif.
Keempat, aspek UMKM & pemasaran online punya dampak overpromosi dan konsumsi impulsif. Peran Pendidikan Islam melalui pelatihan etika syariah dalam social commerce.
Kelima, aspek ruang publik Mal punya dampak menjadi ruang sosial bukan ekonomi. Peran Pendidikan Islam bisa melalui alternatif: ruang dakwah di Mal dan edukasi nilai konsumsi saat hangout.
Fenomena Rohana dan Rojali bukan semata tren sosial lucu atau meme viral. Itu cerminan realitas sosial‑ekonomi yang lebih dalam: yakni melemahnya daya beli dan pergeseran pola konsumsi. Jika dilakukan tanpa kesadaran spiritual, ia menunjukkan kondisi stres ekonomi, bukan keteguhan moral konsumsi Islami.
Dari perspektif pendidikan Islam, kedua fenomena itu bisa jadi momentum edukasi terkait etika konsumsi agar masyarakat hidup seimbang memahami kebutuhan, menjaga niat, dan bertanggungjawab. Tidak hanya mengurangi konsumsi, tetapi juga mendidik agar belanja membawa berkah dan manfaat, bukan sekadar mengikuti tren atau impuls sosial.
Wallahu a’lam bis shawab.
Singgih Aji Purnomo, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al Amanah Al-Gontory, Redaktur Pelaksana Warta NU Online Banten
Terkini
Lihat Semua