Bapak Ahmad Shodiqin Rembang. Beliau adalah guru kami. Di Madrasah al-Asna Ringinagung Pare Kediri. Beliau adalah santri dari Sedan Rembang. Mondok lama di Kediri. Setelah lulus Aliyah, jenjang tertinggi di Madrasah al-Asna, pengasuh meminta untuk khidmat mengajar. Hampir 5 tahun beliau sabar mendidik. Langsung menjadi mustahiq (wali kelas) 1 Tsanawiyah. Mengampu ragam pelajaran. Mulai dari al-Amrithi, Alfiyah Ibni Malik, Jauharul Maknun, hingga Tafsir Rawai'ul Bayan.
Hingga saat ini, ketika disebut Rembang, maka nama beliau yang langsung kami ingat. Meskipun sudah belasan tahun tidak ketemu secara fisik. Namun secara rohani terasa dekat. Mungkin ini salah satu kekhasan hubungan guru-murid di pesantren. 4 hari yang lalu, saat dini hari tiba di Pesantren Raudhatut Thalibin Rembang, pagi harinya kami langsung mengagendakan sowan. Meskipun jarak Rembang-Sedan sekitar 40 KM. Pertama kali bertemu, kami cium erat tangan beliau. Kami dirangkul. Erat. Tak terasa air mata meleleh.
Selama 5 tahun diajar beliau, setidaknya ada 3 pelajaran hidup yang kami dapatkan. Pertama, kesabaran mendidik. Setiap ada bagian al-Amrithi atau Alfiyah yang susah dipahami para muridnya, beliau tak segan mengulangi penjelasannya. Memilih bahasa dan analogi semudah mungkin. Wajah dan senyumnya senantiasa khas. Tidak menyiratkan kecapaikan. Memberi energi positif kepada para muridnya. Sesulit apapun ilmu, pasti bisa dipelajari.
Kedua, menyanyangi sepenuh hati para muridnya. Kepada semua muridnya, Bapak Shodiqin selalu memanggil nama dengan didahului kata "Mas". Ditambah lagi dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo dalam percakapan. Kedua hal ini adalah "game language" penghormatan dalam bahasa Jawa. Sebagai guru, beliau tidak menuntut dihormati. Lebih dari itu, beliau memberikan contoh langsung bagaimana menghormati orang lain. Termasuk kepada murid-muridnya.
Ketiga, persiapan dan muthalaah maksimal sebelum mengajar. Dalam beberapa kesempatan, beliau memberi motivasi jangan mudah menyerah memahami Alfiyah ataupun Jauharul Maknun. Kuncinya sering membaca ulang. Hal ini juga terus beliau lakukan sebelum masuk kelas. Bahkan, waktu beliau muthalaah lebih panjang daripada waktu menjelaskan di kelas. Beliau memperkaya dengan rujukan-rujukan lain. Semisal syarah, hasyiah, ataupun judul kitab lain.
Alhamdulillah, berkah beliau, ketiga pelajaran itu senantiasa terpatri. Kami terbiasa memanggil mahasantri Darus-Sunnah Jakarta dengan cara bagaimana dulu beliau memanggil muridnya. Didahului kata "Mas". Tidak jangkar langsung sebut nama. Begitu pula, sebelum 1,5 jam mengampu pelajaran Fawaidil Janiyyah, Bidayatul Mujtahid, dan al-Mustashfa, kami terbisa bergadang menyiapkannya. Berjam-jam persiapannya meskipun ngajar hanya 1,5 jam.
Berkah doa dan didikan ikhlas para gurulah, kita sekarang ada. Semoga kita dimudahkan untuk meneladani para guru-guru mulia.
Muhammad Hanifuddin, Ketua LBM PCNU Tangsel dan Dosen Darus-Sunnah Jakarta
Terpopuler
1
Dakwah Harus Berbentuk Aksi Nyata, Bukan Hanya Berhenti di Atas Mimbar
2
Temui Menkum, Mudir 'Ali Sampaikan Keabsahan JATMAN 2024-2029
3
Sampaikan Belasungkawa, Presiden Prabowo Ingat Momen Paus Fransiskus ke Jakarta
4
Khutbah Jumat: Balasan Kebaikan Adalah Kebaikan Selanjutnya
5
Ketum PBNU Respons Kritik AS soal Aturan Sertifikasi Halal di Indonesia
6
Sampaikan Dukacita, Ketum PBNU Kunjungi Kedubes Vatikan
Terkini
Lihat Semua