• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

Antara Ringinagung dan Rembang

Antara Ringinagung dan Rembang
Ahmad Shodiqin (kiri) dan Muhammad Hanifuddin. (Foto: Dok Pribadi)
Ahmad Shodiqin (kiri) dan Muhammad Hanifuddin. (Foto: Dok Pribadi)

Bapak Ahmad Shodiqin Rembang. Beliau adalah guru kami. Di ‎Madrasah al-Asna Ringinagung Pare Kediri. Beliau adalah santri dari ‎Sedan Rembang. Mondok lama di Kediri. Setelah lulus Aliyah, jenjang ‎tertinggi di Madrasah al-Asna, pengasuh meminta untuk khidmat ‎mengajar. Hampir 5 tahun beliau sabar mendidik. Langsung menjadi ‎mustahiq (wali kelas) 1 Tsanawiyah. Mengampu ragam pelajaran. ‎Mulai dari al-Amrithi, Alfiyah Ibni Malik, Jauharul Maknun, hingga ‎Tafsir Rawai'ul Bayan.‎


Hingga saat ini, ketika disebut Rembang, maka nama beliau yang ‎langsung kami ingat. Meskipun sudah belasan tahun tidak ketemu ‎secara fisik. Namun secara rohani terasa dekat. Mungkin ini salah satu ‎kekhasan hubungan guru-murid di pesantren. 4 hari yang lalu, saat ‎dini hari tiba di Pesantren Raudhatut Thalibin Rembang, pagi harinya ‎kami langsung mengagendakan sowan. Meskipun jarak Rembang-‎Sedan sekitar 40 KM. Pertama kali bertemu, kami cium erat tangan ‎beliau. Kami dirangkul. Erat. Tak terasa air mata meleleh. ‎


Selama 5 tahun diajar beliau, setidaknya ada 3 pelajaran hidup yang ‎kami dapatkan. Pertama, kesabaran mendidik. Setiap ada bagian al-‎Amrithi atau Alfiyah yang susah dipahami para muridnya, beliau tak ‎segan mengulangi penjelasannya. Memilih bahasa dan analogi ‎semudah mungkin. Wajah dan senyumnya senantiasa khas. Tidak ‎menyiratkan kecapaikan. Memberi energi positif kepada para ‎muridnya. Sesulit apapun ilmu, pasti bisa dipelajari. ‎


Kedua, menyanyangi sepenuh hati para muridnya. Kepada semua ‎muridnya, Bapak Shodiqin selalu memanggil nama dengan didahului ‎kata "Mas". Ditambah lagi dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo ‎dalam percakapan. Kedua hal ini adalah "game language" ‎penghormatan dalam bahasa Jawa. Sebagai guru, beliau tidak ‎menuntut dihormati. Lebih dari itu, beliau memberikan contoh ‎langsung bagaimana menghormati orang lain. Termasuk kepada ‎murid-muridnya.‎


Ketiga, persiapan dan muthalaah maksimal sebelum mengajar. Dalam ‎beberapa kesempatan, beliau memberi motivasi jangan mudah ‎menyerah memahami Alfiyah ataupun Jauharul Maknun. Kuncinya ‎sering membaca ulang. Hal ini juga terus beliau lakukan sebelum ‎masuk kelas. Bahkan, waktu beliau muthalaah lebih panjang daripada ‎waktu menjelaskan di kelas. Beliau memperkaya dengan rujukan-‎rujukan lain. Semisal syarah, hasyiah, ataupun judul kitab lain.‎


Alhamdulillah, berkah beliau, ketiga pelajaran itu senantiasa terpatri. ‎Kami terbiasa memanggil mahasantri Darus-Sunnah Jakarta dengan ‎cara bagaimana dulu beliau memanggil muridnya. Didahului kata ‎‎"Mas". Tidak jangkar langsung sebut nama. Begitu pula, sebelum 1,5 ‎jam mengampu pelajaran Fawaidil Janiyyah, Bidayatul Mujtahid, dan ‎al-Mustashfa, kami terbisa bergadang menyiapkannya. Berjam-jam ‎persiapannya meskipun ngajar hanya 1,5 jam.‎


Berkah doa dan didikan ikhlas para gurulah, kita sekarang ada. ‎Semoga kita dimudahkan untuk meneladani para guru-guru mulia.‎


Muhammad Hanifuddin, Ketua LBM PCNU Tangsel dan Dosen Darus-‎Sunnah Jakarta


Opini Terbaru