Nasional

Bayar Pajak Bernilai Ibadah, tapi Kesejahteraan Tidak Dirasakan

Jumat, 15 Agustus 2025 | 16:11 WIB

Bayar Pajak Bernilai Ibadah, tapi Kesejahteraan Tidak Dirasakan

Ketua PBNU Alissa Wahid di Galeri Nasional, Kamis (14/8/2025). (Foto: NU Online/Suci A)

Jakarta, NU Online Banten

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid merespons Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan kewajiban membayar pajak dengan zakat dan wakaf. Menurut Alissa, ketiganya memiliki nilai ibadah karena bertujuan membangun kemaslahatan bersama.


Namun, persoalan muncul pada pengelolaan pajak di Indonesia. "Masalahnya, rakyat sudah bayar pajak, tapi kesejahteraannya tidak dirasakan. Yang terlihat justru pejabat foya-foya, korupsi, dan membuat kebijakan," kata Alissa saat ditemui NU Online di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis (15/8/2025).


Menurutnya, jika masyarakat merasakan manfaat pajak, tidak akan ada keraguan untuk membayarnya. "Kita tahu kok masyarakat Indonesia mau urunan (iuran) dana sehat, kegiatan 17-an, jumputan di desa, mereka mau karena untuk kemaslahatan bersama," tuturnya.


Alissa mencontohkan penggunaan pajak rakyat untuk fasilitas dan kegiatan pejabat yang tidak relevan membuat rakyat berpikir ulang. "Rapat pembahasan UU TNI di hotel-hotel itu dari pajak rakyat. Gimana tidak sakit hati? Misalnya kemarin yang ramai gaji komisaris BUMN (Badan Usaha Milik Negara), coba tanya komisaris perusahaan multinasional di Indonesia, apakah gajinya sebesar itu. Kan enggak?," imbuhnya dengan nada tanya, dilansir NU Online.


Dia menegaskan, pajak adalah iuran warga negara yang seharusnya kembali untuk kesejahteraan rakyat. BUukan menjadi upeti yang bisa digunakan sesuka hati oleh pejabat. "Yang bikin nyesek itu melihat pejabat dan wakil rakyat malah berebut kekuasan, menikmati privilege," kata Alissa.


Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyamakan kewajiban membayar pajak dengan menunaikan zakat dan wakaf, karena ketiganya merupakan cara menyalurkan hak orang lain demi terwujudnya keadilan sosial. "Dalam setiap rezeki dan harta yang kita dapatkan, ada hak orang lain. Cara menyalurkannya bisa lewat zakat, wakaf, atau pajak. Pajak itu kembali kepada mereka yang membutuhkan," katanya dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RepubIik Indonesia dikutip NU Online, Rabu (13/8/2025) via Youtube Bank Indonesia.


Menurutnya, pajak yang dibayarkan masyarakat menjadi instrumen penting dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk membiayai program perlindungan sosial, kesehatan, pendidikan, hingga pemberdayaan ekonomi.  Tahun ini, kata dia, anggaran pemerintah pusat yang langsung dinikmati masyarakat kelompok bawah mencapai Rp 1.333 triliun, dan akan meningkat signifikan tahun depan.


"Program keluarga harapan untuk 10 juta keluarga, bantuan sembako bagi 18 juta keluarga, subsidi modal bagi UMKM, pelayanan kesehatan gratis, sekolah rakyat semua itu dibiayai dari pajak. Sama seperti zakat dan wakaf, pajak juga adalah hak orang lain yang kita tunaikan," jelasnya.


Sri Mulyani menegaskan, pengelolaan pajak yang transparan dan berkeadilan sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah. APBN sebagai kendaraan untuk mempercepat pencapaian visi Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia, salah satunya dengan mendukung tiga pilar yaitu rantai nilai halal, keuangan syariah, serta dana sosial dan literasi inklusif.


"Kalau pajak kita kelola sesuai prinsip sidik, amanah, tabligh, dan fathanah, maka pajak akan menjadi instrumen yang tidak hanya memenuhi kebutuhan negara, tetapi juga membawa keberkahan dan kemaslahatan bagi umat," imbuhnya. (Suci Amaliyah, M Fathur Rohman)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND