Negara Tidak Hadir dalam Ekonomi Masyarakat, Tahunya Hanya Memajaki
Jumat, 15 Agustus 2025 | 10:18 WIB
Jakarta, NU Online Banten
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi'i Alielha mengkritik perilaku para pejabat publik yang tidak memahami tata kelola kebijakan publik secara tepat dan hanya sibuk memungut pajak dari masyarakat. Fenomena tersebut, menurutnya, terlihat jelas dari aksi demonstrasi besar-besaran di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang dipicu oleh kebijakan pajak daerah.
Savic menegaskan bahwa permasalahan defisit anggaran seharusnya menjadi tanggung jawab para pejabat yang gagal menciptakan iklim ekonomi yang sehat. Upaya itu mencakup penciptaan lapangan kerja, kemudahan investasi, hingga mendorong inisiatif ekonomi masyarakat. "Artinya selama ini negara tidak begitu hadir dalam kehidupan ekonomi masyarakat dan tahunya hanya memajaki," kata Savic Ali—sapaan Mohamad Syafi'i Alielha--kepada NU Online di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Dia menyayangkan kondisi mayoritas kabupaten yang mengalami defisit karena pendapatan asli daerah (PAD) rendah, tetapi para pejabat justru memilih solusi instan dengan meningkatkan pungutan pajak, alih-alih memperkuat sektor ekonomi produktif. "Kebijakan publik itu sesuatu yang bebannya akan ke masyarakat banyak. Artinya dia harus mempertimbangkan situasi masyarakatnya bukan asal dipajakin," katanya, dilansir NU Online.
Savic memandang aksi rakyat di Pati sebagai momentum yang dapat membuka mata masyarakat di daerah lain untuk menelaah ulang kebijakan pajak di wilayah masing-masing.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Di beberapa daerah, Jombang misalnya, lanjutnya, terdapat lonjakan tarif pajak yang jauh lebih ekstrem, bahkan mencapai 400 persen. Lalu di Kota Cirebon yang hampir 1000 persen. Menurutnya, hal itu menjadi indikator bahwa banyak pejabat daerah belum memahami cara merumuskan kebijakan publik yang berdampak luas terhadap masyarakat.
Savic juga menyoroti ironi sosial yang mencolok antara gaya hidup mewah para pejabat dan kondisi ekonomi rakyat yang semakin tertekan. "Pejabat tinggi semua bukan hanya nggak ada yang miskin tapi penampilannya mewah, mobil mewah, gaya hidupnya mewah, keluarganya kelihatan oleh tetangga kanan kiri banyak anak-anak pejabat yang flexing di sosial medianya," terangnya.
Dia pun menilai wajar jika masyarakat Pati melawan kebijakan tersebut karena para pejabat tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. "Ya tentu saja masyarakat akan protes dan memicu apa yang terjadi di Pati," terangnya.
Savic juga menyampaikan, aksi demonstrasi besar-besaran di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada 13 Agustus 2025 sudah sampai pada level civil disobedience atau pembangkangan sipil. Ia menyebut, protes tersebut bukan hanya ekspresi penolakan terhadap kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Tanah untuk Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen, tetapi sebagai bentuk kesadaran politik rakyat yang luar biasa.
“Apa yang terjadi di Pati itu kan bentuk sebuah, kita menyaksikan bahwa masyarakat sekarang itu sudah mengerti politik dan dia mengerti juga mana kebijakan yang pantas dan mana yang tidak pantas,” ucapnya.
Menurutnya, aksi tersebut cerminan kesadaran kolektif rakyat untuk menolak kebijakan yang dianggap memberatkan. “Apa yang terjadi di Pati di mana ratusan ribu orang terlibat itu adalah sebuah ekspresi politik yang luar biasa, mungkin dalam sejarah atau selama 20 tahun terakhir, ini demonstrasi terbesar di tingkat kabupaten,” imbuhnya.
Dia menilai, partisipasi rakyat di Pati terjadi secara sukarela. Savic melihat, rakyat datang dengan membawa bendera, menyumbang air mineral, pisang, dan berbagai kebutuhan lainnya sebagai bentuk solidaritas. Meskipun kebijakan kontroversial tersebut akhirnya dibatalkan, Savic menekankan bahwa substansi dari aksi demonstrasi di Pati adalah bentuk ketidakpatuhan rakyat terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil.
“Walaupun peraturannya akhirnya dibatalkan, bahwa itu bentuk ekspresi bahwa masyarakat menolak kebijakan dan membangkang tidak mau menuruti sebuah kebijakan yang akan digariskan oleh bupati," terangnya.
Ditambahkan, secara prinsip, pajak memang disepakati sebagai kewajiban warga negara. Namun, penetapannya harus mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. “Ini kan terkait pajak dan sekarang orang lagi ramai bicarain pajak karena apa aja dipajakin. Tetapi pajak sebenarnya memang ya bisa dikatakan kita sepakati sebagai kewajiban tetapi harus dilihat penetapan pajak harus melihat kemampuan masyarakatnya,” jelasnya.
Menaikkan pajak secara drastis, lanjutnya, tanpa mempertimbangkan daya beli warga merupakan tindakan yang tidak bijak. “Kalau memang ekonominya lagi bagus, masyarakat secara umum makmur, saya kira memang semestinya warga itu bayar pajak. Tetapi kondisinya masyarakatnya juga lagi sulit, menaikkan pajak apalagi dalam angka yang tidak masuk akal 250 persen itu kan tidak bisa diterima," katanya.
Kenaikan, tambahnya, seharusnya dilakukan secara bertahap atau incremental, tidak langsung dalam jumlah besar. Meskipun tarif tidak dinaikkan sejak 2014, hal itu bukan alasan yang dapat membenarkan lonjakan hingga 250 persen secara tiba-tiba. “Yang salah juga kan artinya bupatinya sendiri. Kenapa nggak naik dari 2014? Artinya kan ada kenaikan pajak, tapi harus disesuaikan atau dilihat kondisi masyarakatnya dulu, itu pertama,” pungkasnya. (Haekal Attar)
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
ADVERTISEMENT BY ANYMIND