Pernyataan Menbud yang Sangkal Perkosaan Masal 1998 Dinilai Mencoba Menghilangkan Narasi Sejarah
Jumat, 20 Juni 2025 | 09:41 WIB

Diskusi publik di Aula Resonansi, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (19/6/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online Banten
Pernyaatan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon yang menyangkal adanya perkosaan masal saat peristiwa kerusuhan Mei 1998 terus disorot. Kali ini datang dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Aktivis Komisi KontraS Virdinda La Ode Achmad menilai pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon sedang mencoba menghilangkan narasi sejarah.
Menurutnya, sejarah harus menjadi refleksi kolektif bangsa. “Upaya-upaya untuk menghilangkan narasi yang melanggengkan kekuasaan bukan tidak mungkin, karena upaya pemutihan dan penghilangan sejarah lewat manipulasi narasi dan sebagainya sudah ada, bahkan beberapa kali,” ungkap Virdinda dalam diskusi publik bertajuk Membongkar Sejarah yang Dikorupsi oleh Negara di Aula Resonansi, Kalibata, Pancoran, Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Dinda--sapaan akrabnya—menjelaskan, kekerasan struktural di Indonesia terus berlangsung dan bahkan tumbuh semakin kokoh. “Praktik-praktik ini merupakan rangkaian praktik penghilang sejarah yang mengarah pada kokohnya impunitas di negara kita,” tegasnya, dilansir NU Online.
Dia menilai bahwa di tengah belasan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) yang belum terselesaikan, pemerintah justru menunjukkan minimnya komitmen terhadap pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban. “Hadirnya Kementerian HAM pun faktanya bukan untuk komitmen menegakkan HAM atau membersamai kasus-kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu, tetapi justru yang kita lihat malah pembangunan universitas dan rumah sakit HAM,” terangnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menilai bahwa pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya pemerkosaan masal pada Mei 1998 adalah bentuk pandangan yang patriarkis dan misoginis.
Dia menyebut cara berpikir tersebut tidak peka terhadap pengalaman perempuan, terutama korban kekerasan seksual. "Ini adalah satu pandangan patriarkis yang misoginis, yang seksis, yang tidak peka pada pengalaman perempuan, pada pengalaman korban perkosaan, apalagi perkosaan massal," katanya saat jumpa pers bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah (AKSI), Selasa, (17/6/2025).
Menurut Usman, pernyataan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan masal hanya sebatas rumor merupakan bentuk pengabaian terhadap perlindungan korban, khususnya perempuan. Ia mengkritik cara berpikir yang mereduksi kasus tersebut seolah-olah tidak sah karena tidak menyebutkan detail nama, waktu, dan pelaku.
Usman membandingkan pendekatan semacam itu dengan sikap pemimpin populis otoriter seperti Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang sering membantah tuduhan kekerasan seksual dengan mempertanyakan rincian peristiwa.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
"Pernyataan semacam ini tidak mengerti atau menyangkal dampak buruk dari perkosaan terhadap seorang perempuan, misalnya gangguan psikologi, korban mengalami stres, trauma, kecemasan, depresi yang berkepanjangan," jelasnya.
Dia juga menegaskan bahwa peristiwa pemerkosaan masal pada Mei 1998 telah diakui secara resmi melalui laporan yang diserahkan kepada Presiden BJ Habibie. Laporan tersebut, menurutnya, bersifat otoritatif dan tidak perlu diragukan kebenarannya. Bahkan, otoritas penyusun laporan itu mencakup sejumlah menteri strategis, seperti menteri pertahanan, menteri kehakiman, menteri dalam negeri, menteri luar negeri, menteri urusan perempuan, dan jaksa agung.
Oleh karena itu, Usman menyatakan bahwa Fadli Zon tidak memiliki kapasitas untuk menarik kesimpulan atas peristiwa tersebut. "Bukan wewenangnya dan tidak punya kapasitas di dalam menjelaskan peristiwa itu kecuali ia datang dari menteri kehakiman, datang dari menteri dalam negeri, itu pun masih bisa dipersoalkan kesesuaiannya pada laporan tim pencari fakta," terangnya.
Fadli Zon mengklarifikasi terkait pernyataannya. Dia menyebut bahwa penggunaan istilah perkosaan masal masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan masyarakat. "Peristiwa huru-hara pada 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk soal ada atau tidak adanya pemerkosaan massal," ujarnya dalam siaran persnya, Senin (16/6/2025).
Menurutnya, liputan investigatif sebuah majalah ternama saja tidak berhasil mengungkap fakta-fakta kuat terkait soal pemerkosaan masal tersebut. Dia juga menyoroti laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) hanya menyebutkan angka-angka tanpa disertai data pendukung yang lengkap seperti nama korban, waktu, peristiwa, tempat kejadian, atau pelaku. (Mufidah Adzkia, Haekal Attar)
ADVERTISEMENT BY ANYMIND