Tanggal 25 dan 29 Agustus 2025 akan tercatat dalam ingatan kolektif bangsa ini bukan sebagai hari biasa, melainkan sebagai sebuah cermin retak yang memantulkan tiga penyakit akut dalam tubuh negara: krisis kepemimpinan, manajemen konflik, dan punahnya budaya malu di kalangan elite.
Demonstrasi yang dipicu oleh kematian tragis Affan Kurniawan, seorang warga biasa yang menjadi simbol ketidakadilan, dengan cepat berubah menjadi suara sumbang rakyat yang muak. Sebelumnya juga rakyat muak dengan pada para wakilnya yang justru terlihat joget-joget di gedung rakyat, dan tanpa rasa sungkan menuntut kenaikan tunjangan di tengah jeritan kesulitan ekonomi yang dialami konstituennya. Peristiwa ini bukan sebuah insiden yang terisolasi, melainkan puncak gunung es dari krisis multidimensi yang telah lama menggerogoti fondasi kepemimpinan dan moralitas publik kita.
Krisis Kepemimpinan: Hilang Arah dan Empati
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Baca Juga
Pendidikan Berkesadaran
Inti dari sebuah kepemimpinan yang efektif adalah kemampuan untuk merasakan denyut nadi rakyatnya, untuk berempati, dan untuk mengambil tindakan yang tepat pada waktunya. Yang kita saksikan hari ini adalah krisis kepemimpinan yang parah. Seorang pemimpin sejati tidak akan membiarkan sebuah kematian warga negara apapun penyebabnya berujung pada gejolak sosial yang massif. Seorang pemimpin sejati akan hadir, mendengar, dan mengambil alih kendali dengan kebijakan yang menenangkan dan menyejukkan.
Namun, respons dari pucuk pimpinan negara terasa lamban, dingin, dan birokratis. Alih-alih menunjukkan belasungkawa yang tulus dan transparansi dalam penyelidikan, yang muncul justru pernyataan-pernyataan yang menyudutkan korban atau mengalihkan isu. Kepemimpinan seperti ini kehilangan moral authority-nya. Ia tidak lagi dipandang sebagai solusi, melainkan sebagai bagian dari masalah. Krisis ini diperparah oleh figur-figur di sekitar pemimpin yang lebih sibuk menjaga citra kekuasaan daripada menyelesaikan akar konflik, menunjukkan sebuah hierarki yang tidak lagi efektif dan kehilangan kompas.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Kepemimpinan legislatif pun tak kalah bobroknya. Ketika rakyat bersimbah luka dan amarah, para anggota dewan yang seharusnya menjadi corong suara rakyat justru menunjukkan wajah yang paling tidak sensitif. Mereka terlihat asyik menari, tertawa, dan bersenda gurau seolah-olah tidak ada apa-apa. Tindakan ini bukan sekedar ketidak-santunan, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap mandat yang diberikan rakyat. Ini adalah bukti nyata dari krisis kepemimpinan di semua lini: eksekutif yang tidak responsif dan legislatif yang kehilangan rasa hormat.
Manajemen Konflik: Dari Dialog ke Arogansi
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Demonstrasi adalah sebuah ekspresi ketidakpuasan, sebuah konflik sosial yang mewujud. Pendekatan negara dalam mengelola konflik ini justru menjadi studi kasus tentang bagaimana tidaknya melakukan manajemen konflik. Alih-alih menggunakan pendekatan human-centric yang mengedepankan dialog, mediasi, dan pengakuan terhadap rasa sakit korban, negara memilih pendekatan keamanan (security approach).
Penggunaan aparat yang masif, bentrok fisik, dan narasi yang mengkriminalkan para pengunjuk rasa hanya akan memupuk benih-benih kebencian dan ketidakpercayaan yang lebih dalam. Konflik tidak selesai, ia hanya dipendam dan akan meledak dengan kekuatan yang lebih besar di masa depan. Kematian Affan adalah pemicu, tetapi bensinnya adalah akumulasi dari rasa tidak adil, kemiskinan, dan ketidakpedulian yang dirasakan rakyat selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Manajemen konflik yang baik akan membedakan antara gejala dan penyakit. Demonstrasi adalah gejala, sementara penyakitnya adalah ketimpangan, ketidakadilan, dan arogansi kekuasaan. Dengan hanya mengobati gejalanya melalui tindakan represif, negara justru memperparah penyakitnya. Mereka gagal total dalam membaca eskalasi konflik, gagal dalam berkomunikasi dengan empati, dan gagal dalam menawarkan solusi substantif yang menyentuh akar rumput kemarahan publik.
Hilangnya Budaya Malu: Dari Joget, Berkata Kasar ‘Tolol’ Hingga Minta Naik Tunjangan
Mungkin aspek yang paling menyedihkan dari seluruh episode ini adalah penghancuran sistematis terhadap budaya malu. Dalam budaya ketimuran yang kita banggakan, rasa malu adalah penjaga moralitas individu dan sosial. Rasa malu membuat seseorang tahu batasan, memahami etika, dan memiliki sensitivitas terhadap lingkungan sekitarnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Apa yang ditunjukkan oleh para anggota dewan dengan joget-joget-nya adalah bahwa budaya malu itu telah mati. Mereka tidak merasa malu berfoya-foya di gedung yang dibiayai oleh uang rakyat. Mereka tidak merasa malu menuntut kenaikan tunjangan di saat rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Mereka tidak merasa malu ketika berkata ‘tolol’ juga video tingkah lakunya yang tidak pantas viral di tengah-tengah kondisi ekonomi rakyat yang tidak baik-baik saja. Ini adalah sebuah kevulgaran moral (moral obscenity) yang dilakukan secara terang-terangan.
Ketiadaan rasa malu ini adalah indikator dari sistem yang sakit. Sistem yang telah memisahkan begitu jauh antara para elite dengan rakyatnya. Mereka hidup dalam gelembung yang berbeda, dengan realitas yang berbeda. Ketika rakyat berjuang untuk bertahan hidup, mereka berjuang untuk menambah kemewahan. Keberanian untuk menuntut kenaikan tunjangan di momen seperti ini menunjukkan tingkat keterputusan (disconnect) yang sangat mengerikan. Mereka tidak lagi merasa sebagai pelayan rakyat, tetapi sebagai tuan yang berhak atas segala privilege.
Jalan Keluar dengan Merekonstruksi
Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, kita membutuhkan regenerasi kepemimpinan yang tidak hanya berdasarkan kekuatan politik, tetapi juga pada integritas moral dan kapasitas empati. Pemimpin di semua level harus dibangun kembali dengan fondasi yang kuat: melayani rakyat, bukan diri sendiri atau kelompoknya.
Kedua, negara harus mengadopsi paradigma baru dalam manajemen konflik. Konflik sosial harus dilihat sebagai gejala yang perlu didiagnosa, bukan sebagai musuh yang harus dihancurkan. Membangun kanal-kanal dialog yang inklusif, memprioritaskan transparansi dalam setiap kasus yang memicu kemarahan publik, dan melatih aparat untuk menjadi penjaga perdamaian, bukan alat represi.
Ketiga, kita harus menghidupkan kembali budaya malu. Ini dimulai dari sistem pemilihan yang lebih ketat, yang tidak hanya menilai popularitas tetapi juga karakter calon. Ini juga membutuhkan peran aktif masyarakat sipil dan media untuk terus mengawasi dan mengingatkan para pejabat publik tentang tanggung jawab dan etika mereka. Setiap tindakan yang arogan harus mendapatkan kecaman sosial yang keras, membuatnya menjadi tidak menguntungkan secara politis untuk berperilaku tidak pantas. Hal yang tak kalah penting bisa dengan meneladani para pemimpin negeri ini seperti Presiden Republik Indonesia ke-4 Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).
Kematian Affan Kurniawan jangan sampai menjadi sekadar statistik. Ia harus menjadi momentum bersejarah bagi bangsa ini untuk melakukan introspeksi mendalam.
Demonstrasi 25 dan 29 Agustus adalah alarm yang berbunyi nyaring. Mereka yang berkuasa bisa memilih untuk mematikan alarm itu dan kembali tidur, atau bangun dan memperbaiki segala yang rusak. Pilihannya ada di tangan mereka, tetapi konsekuensinya akan ditanggung oleh seluruh bangsa. Sudah waktunya untuk mengembalikan martabat kepemimpinan, mengelola konflik dengan bijak, dan mengembalikan rasa malu sebagai penjaga gawang moral kita. Jika tidak, entah seperti apa jadinya bangsa ini.
Wallahu a’lam bis shawab.
Singgih Aji Purnomo, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al Amanah Al-Gontory, Redaktur Pelaksana Warta NU Online Banten
ADVERTISEMENT BY ANYMIND