• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Selasa, 30 April 2024

Banten Raya

Satu Abad NU

Wakil Ketua PWNU Banten: NKRI Telah Menenuhi Ketentuan Syariat

Wakil Ketua PWNU Banten: NKRI Telah Menenuhi Ketentuan Syariat
KH Sukron Makmun, Wakil Ketua PWNU Banten saat orasi ilmiah resepsi satu abad NU. (Foto: Istimewa)
KH Sukron Makmun, Wakil Ketua PWNU Banten saat orasi ilmiah resepsi satu abad NU. (Foto: Istimewa)

Kota Serang, NU Online Banten

Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926M/1344 Hijriyah di Surabaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah peradaban Islam di dunia. Kelahirannya merupakan manifestasi dari kesadaran teologis, sekaligus untuk melestarikan dan mengembangkan ajaran Ahlusunnah waljamaah di bumi Nusantara. Pada tahun itu kaum reformis semakin gencar melakukan serangan terhadap kaum tradisionalis yang sebagian dari kalangan NU.

 

“Kelahiran NU merupakan sebuah upaya para ulama Nusantara untuk mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrem yang lazim muncul di dunia Islam, dengan cara menawarkan sikap tawazun, i’tidal, dan tawassuth serta berusaha mencari konvergensi dan titik temu di antara berbagai madzhab pemikiran aliran keagamaan umat Islam,” terang Wakil Ketua PWNU Banten KH Sukron Makmun, pada saat peringatan satu abad NU di Kantor PWNU Banten, pada Selasa (7/2/2023).

 

NU menawarkan Wasathiyah (Moderat), kata Kiai Makmun, yang disitu merupakan manifestasi dari ajaran Islam sendiri. Sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti yang sudah termaktub di dalam al-Quran. Karena, NU memiliki politik kebangsaan (high politic), yaitu pro-aktif menjaga negara (himayatu al-Daulah) dan menjaga umat (himayatu al-Ummah) dari musuh-musuh negara (bughat) dan musuh-musuh agama.

 

“Nabi Muhammad SAW diperintah untuk membangun ummatan wasathan sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an,” imbuh Kiai Sukron Makmun.

 

Di dunia Islam, kata Kiai Sukron Makmun, ada sekitar 16 Madzhab Fiqih atau lebih yang pernah muncul dalam sejarah fiqih. Tapi, para ulama NU membatasi pengikutnya untuk memilih salah satu dari empat imam madzhab yang termasyhur. Seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Serta madzhab teologinya (aqidah) mengikuti Imam al Asy’ari, dan Imam al-Maturidi dan bermadzhab tasawuf kepada al-Ghazali, dan Imam Junaidi al-Baghdadi.

 

“Trilogi Madzhab akidah, fiqh, dan tasawuf di atas memiliki resiliensi dan sustainability yang tak lekang oleh zaman. Sebabnya adalah konsep-konsep yang dibangun oleh para imam madzhab tersebut di atas sudah terkodifikasi dengan baik. Dan konsep pengetahuan yang dibangun oleh para imam madzhab tersebut, sangat ilmiah, sistematis, dan tersetruktur dengan baik (kontruksi keilmuannya kuat) sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Syeikh Nawawi al-Bantani,” terang Kiai Sukron.

 

NKRI dan Pancasila Perspektif NU

Mengenai sistem pemerintahan, Kiai Sukron mengatakan Islam tidak menganjurkan kepada sebuah sistem yang tegas dan baku. Hanya saja memberikan sejumlah prinsip dan etika dasar (mabda’u al-Hukmi) dalam melaksanakan pemerintahan. Dan prinsip-prinsip yang dimaksud, dapat diterapkan dalam berbagai macam sistem pemerintahan yang ada. Oleh karena itu, bagi NU sistem pemerintahan apapun bentuknya, tidak menjadi masalah asal memenuhi prinsip dan tujuan. 

 

“Asal berdasarkan kaidah Fiqhu al-Siyasah seperti Hirasati al-Dini (memelihara agama) dan Siyasati al-Dun’ya (mengelola negara) dalam rangka menerapkan ajaran Islam, menolak kerusakan (Dar’u al-Mafasid), mewujudkan kemaslahatan umum (al-Mashalih li al-Ra’iyyah), menegakkan keadilan (al ‘Adalah) menggapai kesejahteraan dan kemakmuran,” ungkap Kiai Sukron.

 

Dalam rumusan hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo, menurutnya, disebutkan bahwa Republik Indonesia sebagai bentuk final dan upaya Muslimin untuk membentuk negara di kawasan Nusantara. Walhasil, berdasarkan hukum fikih, NU menyatakan bahwa sistem negara yang ada, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bentuk pemerintahan yang sah dan final, dan tidak diperlukan lagi sistem pemerintahan atau negara Islam sebagai alternatif. Karena, menurut Kiai Sukron, NKRI telah memenuhi ketentuan syari’at. 

 

“Kiai Said Aqil Siroj sering menyebutnya sebagai Daru al-Salam (negara damai). Sebuah bentuk negara yang bisa disepadankan dengan negara Madinah yang dibentuk oleh Rasulullah saw. Sedangkan Kiai Ma’ruf Amin, menyebutnya Daru al-Mua’hadah atau Daru al-Mitsaq (negara kesepakatan),” ujarnya. 

 

Dengan begitu, NKRI sama Islaminya dan sama kaffah-nya dengan negara-negara yang menyebut dirinya sebagai Negara Islam. Karena Indonesia adalah al-Daulah al-Islamiyah ma’a al-Mitsaq (negara Islam dengan kesepakatan), sedangkan negara seperti Saudi Arabia dan sejenisnya, adalah al-Daulah al-Islamiyah bila al-Mitsaq (negara Islam tanpa kesepakatan).

 

“Bahkan prinsip ini secara jelas telah dinyatakan jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan RI, tepatnya pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin. Waktu itu, NU telah memberikan keabsahan status hukum negara Hindia Belanda sebagai Darul Islam (negara Islam) dengan alasan secara historis, Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh penguasa Islam dan masyarakatnya secara bebas dapat menjalankan syari’at Islam,” tandas Kiai Sukron Makmun.


Editor:

Banten Raya Terbaru