• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 20 April 2024

Nasional

Islam Nusantara, dari Kentongan, Mahar, hingga Kue Buaya

Islam Nusantara, dari Kentongan, Mahar, hingga Kue Buaya
Wakil Rais Syuriyah PCNU Tangsel KH Fuad Thohari (Foto: Dokumen Pribadi)
Wakil Rais Syuriyah PCNU Tangsel KH Fuad Thohari (Foto: Dokumen Pribadi)

Tangerang Selatan, NU Online Banten
Anda pernah dengar narasi Islam Nusantara? Anda paham maksud Islam Nusantara? Jangan sampai gagal paham. Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) KH Fuad Thohari menjelaskan, bicara Islam Nusantara hendaknya memahami ilmu nahwu, gramatikal. ’’Kalau dikembalikan ilmu nahwu, itu tarkib-nya idhofi, berarti di situ ada huruf yang dibuang. Jika ditulis secara lengkap, asalnya Islam fi Nusantara, fi-nya dihilangkan. Ini yang harus dipahami. Tarkib idhofi, ada yang dibuang. Asalnya, Islam di Nusantara,’’ jelasnya di Tangerang Selatan, Kamis (26/1/2023).


Doktor yang pernah mengajar di Tunisia itu meminta khalayak tidak salah menempatkan tarkib idhofi juga, nanti bisa salah paham. Misalanya fi diganti min.’’Islam Nusantara itu Islam yang dipraktikkan di Nusantara. Islam itu satu memang. Tapi memahami pemaknaan Islam tidak bisa dilepaskan dengan konteks. Penerapannya bisa beda, antardaerah. Tapi esensi ajarannya sama,’’ terang kandidat profesor bidang ilmu hadist tersebut.


Pria yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Ploso, Kediri, mencontohkan ajaran tentang zakat fitrah. Jika maknanya dikembalikan kepada nash, adalah zakat badan yang ditunaikan setelah puasa Ramadhan dan dikeluarkan saat masuk waktu subuh hari raya Idul Fitri. ’’Itu yang wajib. Meskipun boleh di-ta’jil, dikeluarkan di awal Ramadhan. Tapi barang yang dikeluarkan zakat fitrah, Nabi yang tinggal di Arab kebiasaan yang dimakan, kurma. Itu makanan pokok. Sedangkan kita makanan pokoknya beda. Sebagian besarnya makan nasi, bahannya beras. Maka yang dikeluarkan sebagi fitrah ya beras tadi, yang dalam bahas fiqih sebagai quutul balad. Makanan pokok di Nusantara,’’ jelasnya.


Kalau ada yang masih ngotot, pokoknya Islam satu. Begitu soal zakat fitrah, lalu nanya harga kurma ajwa 1 kg Rp500 rb, mundur milih yang murah, yakni beras.  ’’Kalau dia fitrah pakai beras, sejatinya sudah mengamalkan Islam Nusantara. Jika pilih Islam yang dipraktikkan Nabi ya nanti pas zakat fitrah yang dikeluarkan kurma ajwa. Nabi tidak mungkin pakai kurma yang murah, pasti pakai kurma yang mahal, minimal sekelas ajwa 1 kg Rp500 rb kali 2,5 kg, paling tidak Rp 1,3 juta. Pasti mundur (pilih beras),’’ ungkapnya.


Yang mirip-mirip kajian Islam di Nusantara, imbuhnya, adalah kajian Islam di Belanda di Eropa, dan di Timur Tengah. ’’Kalau dari awal mereka (yang menolak dan benci Islam Nusantara, Red) sudah baca muqoddimah Ibnu Kholdun, saya kira pikirannya akan tercerahkan. Sayangnya literasinya masih cetek. Belum nyampai sana. Sehingga yang muncul itu  su’udhan dulu, buruk sangka dulu. Pandangan suka dan tidak suka beda. Kalau sudah suka, yang jelek bisa indah,’’ bebernya disusul tawa.


Alhasil, imbuhnya, sebagai orang yang tinggal di Nusantara, dalam pengamalan  Islam menyesuaikan dengan apa yang ada di Nusantara. Kentongan dan bedug misalnya untuk memanggil orang ke masjid atau mushala untuk shalat berjamaah sebelum adzan dikumandangkan. ’’Kita sebagai umat Islam yang tinggal Nusantara harus syukur dan bangga, karena kita diwarisi budaya luhur yang luar biasa, yang saya kira hampir-hampir tidak ada yang bertolak belakang tentang konsepsi syariah. Contoh praktik memberi mahar, justru yang diserahkan pihak laki-laki itu tidak bertentangan dengan syara’, lebih banyak mahar ditempatkan sebagai wasilah bukan ghoyah,’’ ungkapnya.


Di Indonesia, mahar seperangkat alat shalat, banyak ditemukan. ’’Jadi seberapapun mahar yang diberikan mempelai laki-laki, ya sudah diterima. Itu wasilah. Tapi kalau ghoyah, pihak perempuan nuntut mahar harus besar, mahal, menyesuaikan bibit, bobot, dan bebet perempuan,’’ terangnya.


Kiai Fuad juga tertarik dengan filosofi orang Betawi di rangkaian pernikahan, ada kue buaya. ’’Filosofinya dengan dikasih kue buaya harapannya pernikahannya akan setia dan kekal, seperti setianya buaya yang tidak pindah ke lain hati. Kesetian benar-benar jadi suatu jaminan kesucian dua makhluk lain jenis. Bukan kue buaya dijadikan pajangan terus dikultuskan, bukan begitu. Orang Betawi mengajari kita rumah tangga dijaga diawali dengan masing-masing setia dengan pasangannya. Saya termasuk yang respek Islam Nusantara di Betawi tentang pentingnya menjaga keutuhan keluarga dengan meniru perilaku buaya,’’ tutupnya. 

Pewarta: Mutho Masyhadi


Nasional Terbaru