• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Selasa, 21 Mei 2024

Nasional

Usia 19 Tahun, KH Wahid Hasyim Sudah Punya Ide Brilian Padukan Pendidikan Umum dan Agama di Pesantren

Usia 19 Tahun, KH Wahid Hasyim Sudah Punya Ide Brilian Padukan Pendidikan Umum dan Agama di Pesantren
KH Wahid Hasyim
KH Wahid Hasyim

Jakarta, NU Online Banten

KH Wahid Hasyim dikenal sebagai sosok peletak dasar di Kementerian Agama (Kemenag). Tiga kali menjabat sebagai Menteri Agama setelah era kemerdekaan, Wahid Hasyim meletakkan hubungan negara dan agama secara lebih demokratis.

 

Sang cucu yang juga sebagai National Director of Gusdurian Network Indonesia, Alissa Wahid, menyebutkan, semasa mudanya, KH Wahid Hasyim di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dikenal sebagai santri progresif. Bahkan, kata Alissa, dalam usia 19 tahun, putra dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari ini sudah menawarkan ide brilian pola pendidikan hybrid antara ilmu agama dan ilmu pengatahuan umum di pesantren.

 

"Hal itu dilatarbelakangi oleh keyakinannya bahwa masa depan umat Islam di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau kapasitasnya dalam menguasai ilmu pengetahun umum," kata Alissa Wahid dalam seminar berseri Pemikiran Politik KH Wahid Hasyim yang digelar oleh alumni Sekolah Demokrasi LP3ES secara virtual, Ahad (25/4).

 

Dikatakan Alissa, KH Wahid Hasyim juga menjadi yang pertama memperkenalkan pendidikan bahasa non Arab di Tebuireng. Kemudian oleh KH Hasyim Asy'ari, dia diizinkan untuk membuat madrasah terpisah guna memperdalam pengetahun santri dalam ilmu pengetahuan umum.

 

Ayah dari Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid itu pula yang mengenalkan pola pembelajaran klasikal yang sangat berbeda dengan pola pembelajaran umumnya di pesantren-pesantren pada masa itu.

 

"KH Wahid Hasyim banyak sekali membawa pembaharuan di lingkungan pesantren, hingga sampai pada memberikan ruang besar kepada pendidikan anak perempuan. Hal itu kemudian yang membawa dampak pada terbukanya kesempatan kepada perempuan untuk menjadi hakim agama untuk pertama kali (1950). Sesuatu yang tidak pernah diizinkan di negara-negara muslim yang lain ketika itu," tutur Alissa Wahid. 


Nasional Terbaru