Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023

Fragmen

Komite Hijaz dan Peran NU di Dunia Internasional

Lambang NU. (NU Online)

Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 di Surabaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah peradaban Islam di dunia. Kelahirannya merupakan manifestasi dari kesadaran teologis, sekaligus kesadaran politis untuk melestarikan dan mengembangkan ajaran Ahlusunnah wal Jama'ah (Aswaja) di bumi Nusantara.

 

Pada tahun 20-an kaum reformis semakin gencar melakukan serangan- serangan terhadap kaum tradisionalis. Dalam diskusi yang saat itu diselenggarakan di forum Sarekat Islam (SI), Kiai Wahab Chasbullah berdebat dengan Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah (MD) dan Achmad Soorkati, seorang guru agama dari Sudan, pendiri –gerakan reformasi Islam– Al-Irsyad. 

 

Serangan-serangan terhadap praktik keagamaan kaum tradisionalis semakin memanas dan memuncak pada Kongres Al-Islam tahun 1922 di Cirebon, di mana tuduhan-tuduhan “kafir” dan “syirik” semakin lantang terdengar. Dengan demikian, kelompok tradisionalis semakin mengkhawatirkan kondisi semacam ini. 


Baca Juga:
Wakil Ketua PWNU Banten: NKRI Telah Menenuhi Ketentuan Syariat

 

Kendati begitu, niat yang diusulkan oleh Kiai Wahab Chasbullah untuk membuat sebuah gerakan yang merepresentasikan dan mengakomodir para ulama tradisionalis urung direalisasikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari.

 

Baru pada tahun 1924, kaum tradisionalis merasa semakin terancam setelah kekhilafahan Turki Utsmani dihapuskan, dan kaum Wahabi menyerbu Mekah. Dengan kemenangan Wahabi –yang masuk dalam kategori ekstremis dan puritan itu– dikhawatirkan aktivitas kaum tradisional di Mekah seperti ziarah ke makam Rasulullah SAW, serta kebebasan tradisi bermazhab akan diberangus oleh otoritas Wahabi. 

 

Maka pada tahun 1926, Kiai Wahab mungusulkan pada Konggres Al-Islam agar usulan kaum tradisonalis mengenai praktik keagamaan dibawa oleh delegasi Indonesia untuk dapat disampaikan ke Mekah.


Baca Juga:
Digdaya NU Abad Kedua, Ketua PWNU Banten: Perkuat Kaderisasi

 

Sayangnya, usulan tersebut tidak digubris oleh sebagian besar kaum pembaharu lantaran mereka sendiri, sejatinya juga mendukung pembersihan terhadap praktik keagamaan yang terjadi di Saudi. Maka tidak ada pilihan lain, kaum tradisionalis terpaksa memperjuangkan kepentingannya dengan caranya sendiri, dengan membentuk sebuah komite yang diberi nama “Komite Hijaz”, untuk mewakili mereka di hadapan Raja Ibnu Saud.

 

Untuk mempermudah kerja-kerja komite, maka tepat pada 31 Januari 1926, para ulama berkumpul untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisionalis, yaitu Nahdlatoel Oelama (NO) yang dalam EYD baru disebut Nahdlatul Ulama (NU).


Delegasi yang baru dibentuk tersebut, diberi mandat untuk kemudian menyampaikannya kepada raja baru yang berisi beberapa permintaan. Pertama, kemerdekaan bermazhab. Kedua, kebebasan mengakses kitab-kitab karangan Imam al-Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lain, serta mengenai hukum yang berlaku di negeri Hijaz. 


Baca Juga:
Ini Harapan PWNU Banten dari Muktamar Internasional Fikih Peradaban I

 

Dan ketiga, diperbolehkan ziarah ke makam Nabi, keluarga dan sahabatnya. Bisa diduga, hasilnya ternyata tidak memuaskan. Raja hanya mengabulkan permintaan kebebasan bermazhab, tapi tidak menanggapi tuntutan-tuntutan lainnya.
 

Sebagai tindak lanjut, maka NU kemudian mengadakan Muktamar perdananya pada tahun 1928. Dalam muktamar ini, NU menegaskan dirinya sebagai penjaga tradisi dengan mempertahankan ajaran Islam Aswaja, mempertahankan ilmu dan hak para ulama untuk menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadits, serta menangkis serangan kaum reformis yang menuduhnya sebagai ahli bid’ah.

 

Kelahiran NU merupakan sebuah upaya para ulama Aswaja Indonesia untuk mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrem yang lazim muncul di dunia Islam, dengan cara menawarkan sikap tawazun, i’tidal, dan tawassuth serta berusaha mencari konvergensi dan titik temu di antara berbagai madzhab pemikiran atau aliran keagamaan di internal umat Islam. 

 

NU menawarkan prinsip wasathiyyah (Moderat), yang merupakan manifestasi dari ajaran Islam itu sendiri. Nabi saw., diperintah untuk membangun “ummatan wasathan” sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an.


Ironinya, sampai saat ini, masih ditemukan adanya prasangka ideologis kaum modernis dan neo-modernis atas konstruksi pemikiran dan kesejarahan NU. Sebagai pembela ortodoksi kaum tradisional Islam yang rentan terancam oleh tradisi baru reformisme Islam (tajdid).

Sampai saat ini pun, selain masih terus merespon wacana-wacana pembaharuan atau pemurnian agama yang digulirkan oleh kaum reformis, NU juga secara terus menerus merespon setiap gerakan transnasional, populisme Islam, Islam politik, politik identitas.

 

Karena, NU memiliki politik kebangsaan (high politic) yaitu, –pro-aktif– menjaga negara (himayatu al-Daulah) dan menjaga umat (himayatu al-Ummah) dari musuh- musuh negara (bughat) dan musuh-musuh agama.



KH Sukron Makmun, Wakil Ketua PWNU Banten

Editor: Arfan Effendi

Artikel Terkait