Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023

Opini

Puasa Hate Speech

Kebencian. (Foto: NU Online)

Puasa Ramadhan ibarat rem cakram yang pakem bagi seorang Mukmin untuk dapat mengekang ‎ucapan dan tingkah polah agar tetap pada jalur keimanan kepada Allah. Banyak dari kita masih ‎terjebak bahkan terjerembab dalam pusaran ujaran kebencian yang tersebar pada platform media ‎sosial bahkan di ruang-ruang realitas publik. Momentum Ramadhan seyogyanya dapat ‎merekonstruksi segala ucapan provokatif dan agitatif selama sebelas bulan, menjelma menjadi ‎ucapan yang konstruktif dan penuh dengan kedamaian karena sesungguhnya orang-orang yang ‎beriman adalah bersaudara, tidak saling mengumbar aib, mencaci maki, menghasut, mengintip ‎kesalahan, dan mengganggap diri paling benar (QS Al-Hujurat:10).‎


Baca Juga:
Dari Pesantren Menangkal Hoaks di Era Digital

‎ 
Ramadhan mengajarkan kita agar berpuasa dari hate speech. Ujaran kebencian yang di dalamnya ‎berisikan ucapan kotor, dusta, namimah, dan memfitnah jelas dilarang oleh Islam. Sebuah hadits ‎dari Adam bin Abi Iyas meneguhkan larangan tersebut, ketika Nabi Muhammad bersabda, ‎‎“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah melalukannya, maka Allah ‎tidak butuh dengan lapar dan hausnya" (HR Bukhari, hadits:1903)‎

‎ 
Sabda Nabi Muhammad tersebut seolah membungkam perilaku umat sepeninggalannya yang ‎masih juga ngeyel dalam menjalankan ritus suci yakni puasa Ramadhan dengan tetap berpuasa, ‎namun tidak juga meninggalkan qaul- az-zuur dan sejenisnya, bahkan Allah tidak butuh puasa ‎jenis seperti ini, padahal puasa seperti dalam sebuah hadits yang diriwayakan oleh Abu Hurairah, ‎Nabi Muhammad bersabda, Allah berfirman,”Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. ‎Puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya.” (HR Bukhari, hadits:1904).‎

‎ 
Firman Allah tersebut menunjukkan glorifikasi puasa Ramadhan di mana Allah memberikan ‎privilege kepada setiap Mukmin yang menjalankan puasa dengan meninggalkan perkataan dusta ‎dan perbuatan madzmumah lainnya. Maka, seorang Mukmin yang berpuasa hendaknya dengan ‎niat tulus tidak riya dan hanya mengharap keridhaan Allah. Dengan begitu, Allah akan menilai ‎sendiri levelitas seorang Mukmin yang berpuasa apakah hendak dilipatgandakan dari sepuluh ‎sampai tujuh ratus kali sampai Allah sendiri yang akan memberi pahala tanpa batas (HR Muslim, ‎hadits:1151). Pendek kata, begitu agung Allah menempatkan levelitas seorang Mukmin yang ‎berpuasa Ramadhan.‎

‎ 
Jika kita dapat menyambut dengan keutuhan jiwa dan raga akan perintah Allah dan Rasul-Nya ‎serta big sale ganjaran terkait puasa di bulan Ramadhan, maka sungguh merugi manakala puasa ‎kita tidak terhiasi dengan amalan-amalan mahmudah melainkan madzmumah. Satu amalan tercela ‎yang mudah dilakukan adalah hate speech. Maka dari itu, puasa Ramadhan bukan hanya sekadar ‎menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari nafsu dan syahwat yang gentayangan ‎dalam wujud ujaran kebencian kepada sesama umat Muslim. Sehingga muhasabah diri harus terus ‎dilakukan hingga akhirnya puasa kita mampu melebur dosa-dosa. Dengan begitu, kita akan ‎terhindar dari sabda Nabi Muhammad seperti redaksi hadits yang disitir oleh Amr bin Rafi’, ‎‎“berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan ‎dahaga.” (HR Ibn Majah, hadits:1690).‎

‎ 
Naudzu billah min dzalik

‎ 
Wallahu ‘alamu bisshawab
‎ 

K. Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah MWC NU Bayah; Pengurus Pergunu ‎Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot & ‎Sabilillah dan Madrasah Aliyah Nahdlatul Muslimin Kudus; Universitas Diponegoro (UNDIP) ‎Semarang

Editor: Izzul Mutho

Artikel Terkait