Banten Raya

NU Antibid’ah? Bid’ah yang seperti Apa

Rabu, 5 Februari 2025 | 11:28 WIB

NU Antibid’ah? Bid’ah yang seperti Apa

Ngaji Syarhun Lathifun di Graha Aswaja NU Tangsel, Ciputat, Tangsel, Selasa (4/2/2025) malam. (Foto: NUOB/Mutho)

Tangerang Selatan, NU Online Banten

Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangerang Selatan (Tangsel) Kiai Muhammad Hanifuddin mengatakan, Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya antibid’ah.’’Hanya bid’ah seperti apa dulu. Itu Bid’ah yang tercela,’’ ujarnya saat membacakan halaman 85 Kitab Syarhun Lathifunala Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama di Lantai 3 Graha Aswaja NU Tangerang Selatan (Tangsel), Ciputat, Tangsel, Selasa (4/2/2025) malam.


Santri almaghfurlah KH Ali Mustafa Yakub, pendiri Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, itu pada malam tersebut melanjutkan membaca syarah hadits ke-29. Hadits dari Ibrahim ibni Maisarah yang diriwayatkan Imam Thabrani tersebut berbunyi, Man waqqara shahiba bid’atin faqad a’ana ‘ala hadmil islam. Artinya kurang lebih, barang siapa memuliakan yang mempunyai bid’ah, maka termasuk menolong menghancurkan Islam.



’’Dalam syarahnya, mengutip Ibnu Hajar al Asqalani, bid’ah terbagi dua. Baik dan tercela. Yang baik ada rujukan Al-Qur’an dan hadits, sedangkan bid’ah tercela yang tidak memiliki rujukan Al-Qur’an dan hadits,’’ terang pria berkacamata tersebut sembari menambahkan bid’ah di sini tidak hanya terbatas urusan ibadah saja.


Dalam hadits Nabi Muhammad saw lainnya, lanjutnya, dijelaskan yang intinya, barang siapa yang membuat hal baru, tidak ada rujukan Al-Qur’an dan hadits, maka tertolak. Berbeda jika ada rujukannya.’’Acara seperti Maulid Nabi, peringatan keagamaan yang sering diadakan warga NU di antaranya Isra’ Mi’raj, tahun baru Islam, tahlilan, selamatan, istighotsah, dan lainnya, secara hakikat bukan bid’ah. Itu sesuatu yang baik. Sebab, di dalamnya ada silaturahim, sedekah, membaca Al-Qur’an, shalawat, atau mauidhah hasanah. Itu malah diperintah agama,’’ ungkapnya.


Temasuk acara yang diadakan pada bulan tertentu dengan cara tertentu, tidak masalah sepanjang tidak dilarang oleh agama. ’’Seperti halal bi halal pada Syawal,’’ imbuh kiai asal Sragen, Jawa Tengah, yang juga dosen Pondok Pesantren Darus-Sunnah Ciputat, itu.


Dan, lanjutnya, lafadh kullu bid’atin dlalalah, itu bukan berarti ‘am atau jami’, semua bid’ah itu sesat, jelek. ’’Kullu di situ bermakna ba’dl, sebagian. Kull bermakna sebagian bisa ditemukan di antaranya dalam Al-Qur’an Surat Anbiya ayat 30 dan Al-Kahfi ayat 79,’’ jelas pria
yang pernah sembilan tahun menimba ilmu di Pondok Pesantren Ringinagung, Kediri, Jawa Timur, tersebut.


Sekadar diketahui, ngaji kitab rutin ini dilaksanakan setiap Selasa malam. Satu rangkaian dengan istighotsah dan pembacaan Shalawat Nariyah yang digelar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangsel.


Perlu diketahui juga, Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama merupakan karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Kitab Mbah Hasyim—sapaan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari—yang berkenaan dengan berdirinya Jam’iyyah NU itu, memiliki kekhasan. Kitab tersebut dilampirkan bersamaan dengan Mukaddimah Qanun Asasi Nahdatul Ulama yang berkaitan erat (tata'allaq) dengan berdirinya NU.


Arbain Haditsan Mbah Hasyim ini dimulai dengan pesan kebaikan, bagaimana esensi agama, lalu bagaimana pula jika agama diserahkan kepada mereka yang bukan ahlinya. Redaksi yang ditulis oleh Mbah Hasyim dalam Arbain Haditsan tidak melulu dari Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim saja, akan tetapi juga dari Tabrani, Abi Dawud hingga kutipan dari Abu Nuaim Al-Asfahani, yang masih relevan hingga sekarang. Artinya, ada unsur continuity (keberlangsungan) di situ. Dari sinilah keistimewaan sosok Mbah  Hasyim mampu meletakkan 40 hadits pilihan sebagai fondasi Jam'iyyah Nahdatul Ulama.



Sedangkan Syarhun Lathifun merupakan syarah atas Arbain Haditsan yang ditulis oleh Khoiruddin Habziz, santri dan pengurus Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur. Kitab dengan tebal 124 halaman tersebut diberi pengantar oleh Wakil Rais ’Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Afifuddin Muhajir, yang juga mengajar di Ma’had Aly Situbondo. (Mutho)