Jakarta, NU Online Banten
Lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998 yang menandai dimulainya reformasi telah 27 tahun berlalu. Sejumlah agenda ketika itu digaungkan mahasiswa dan masyarakat sipil. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Qotrunnada Wahid menyebut bahwa dari tujuh agenda utama reformasi, enam di antaranya atau sebagian besar telah gagal terwujud.
“Dari tujuh agenda reformasi, enam sudah gagal. Sudah dicoret semuanya. Tinggal amandemen UUD yang belum,” kata Alissa kepada NU Online, Ahad (18/5/2025).
Direktur Jaringan Gusdurian itu menyoroti lemahnya gerakan pemberantasan korupsi serta kembalinya militer dan kepolisian ke ruang-ruang sipil. “Gerakan antikorupsi sudah mandul, kemudian pemisahan TNI-Polri. Sekarang Polri (dan) TNI masuk kembali ke ruang sipil,” paparnya.
Alissa juga menyinggung proses pembahasan sejarah nasional yang menurutnya cenderung menyingkirkan suara masyarakat. Sejumlah sejarawan mengaku kecewa lantaran tidak dilibatkan dalam proses tersebut. “Soal pembahasan sejarah nasional ini, concern kami adalah karena kami tidak dilibatkan. Para ahli sejarah menyampaikan kepada saya bahwa mereka kecewa karena tidak dilibatkan dan ada insinuasi bahwa akan ada reframing terhadap masa reformasi. Jadi itu pertanyaan untuk kami, masyarakat sipil,” jelasnya.
Dalam hal penegakan hak asasi manusia (HAM), Alissa membandingkan antar-rezim. Ia menyebut masa Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai periode paling progresif dalam penanganan pelanggaran HAM dan penguatan demokrasi. Pada zaman Gus Dur, pilar-pilar demokrasi dibangun, meliputi Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.
“Mekanisme HAM hampir semuanya diselesaikan pada zaman Gus Dur. Jadi pada masa itu lumayan kuat untuk menegakkan HAM. Apalagi Gus Dur minta maaf, di Timor Leste minta maaf, kepada korban 65 minta maaf. Beliau sudah lama mendampingi korban-korban kekerasan pada masa Orde Baru, jadi mudah untuk dilakukan beliau,” jabar Alissa.
Sedangkan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Alissa mengakui adanya inisiasi penyelesaian non-yudisial. Meski begitu, ia menilai proses tersebut belum cukup kuat untuk menjawab luka masa lalu. “Ketika yang yudisial masih susah, paling tidak ada upaya untuk membangun ruang bersama. Makanya justru sekarang ini (Presiden Prabowo) kita yang harus jaga atau kawal. Jangan sampai sejarah itu kemudian justru berubah,” pungkasnya, dilansir NU Online. (Nuriel Shiami Indiraphasa)
Terpopuler
1
Iran-Israel Saling Serang, Korban Berjatuhan
2
Bukan Hanya Saleh, Pengurus Hendaknya Muslih
3
Majelis Taklim Fatimah Zahra Bukan Sekadar Ruang Pengajian Rutin
4
Proses Pemulangan Masih Berlangsung, Jamaah Haji Diimbau Berikut Ini
5
Iran-Israel Perang, Presiden Prabowo Serukan Perdamaian
6
Pemerintah Putuskan Empat Pulau yang Jadi Polemik Masuk Wilayah Aceh
Terkini
Lihat Semua