• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 12 Mei 2024

Opini

Belajar dari Nilai-nilai Sufistik Gandhi

Belajar dari Nilai-nilai Sufistik Gandhi
Wakil Bendahara PCNU Tangsel Andik Kuswanto
Wakil Bendahara PCNU Tangsel Andik Kuswanto

Oleh: Andik Kuswanto*

Mohandas Karamchand Gandhi, orang yang mendapatkan penghormatan luar biasa ini sudah meninggal dunia, tapi seolah-olah terus hidup. Seorang laki-laki tanpa kekayaan, tanpa barang-barang berharga, tanpa gelar atau kantor resmi. Juga bukan komandan pasukan, bukan penguasa negeri yang luas, tidak punya prestasi ilmiah yang dibanggakan, atau bakat artistic. Bahkan, mantan perdana menteri Inggris Winston Churchil menjulukinya ”the half naked fakir”, fakir yang berpakaian setengah telanjang.

 

Namun, jutaan manusia menganggapnya sebagai ”Mahatma”, jiwa yang agung. Dan jutaan manusia pula kerap menyebutnya sebagai “Rasul” gerakan tanpa kekerasan modern.

 

Tak heran, ketika dia meninggal dunia, jutaan manusia tumplek mengiringi jenazahnya. Mulai dari rakyat kelas bawah, pemerintah, hingga para tokoh terkemuka dari seluruh penjuru dunia berpegangan tangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada pria kecil berkulit cokelat dengan kain sepinggang ini yang telah membawa negaranya menuju kebebasan.

 

Seperti yang diungkapkan jenderal dan negarawan Amerika Serikat peraih hadiah nobel perdamaian 1953, George C Marshall, ”Mahatma Gandhi telah menjadi juru bicara untuk suara hati seluruh umat manusia. Dia adalah seorang pria yang membuat kerendahan hati dan kebenaran secara sederhana menjadi lebih kuat dari kerajaan.”

 

Dan Albert Einstein menambahkan, “Generasi yang akan datang akan sulit mempercayai bahwa ada seseorang seperti Gandhi dalam wujud darah dan daging pernah berjalan di atas bumi ini.”

 

Mungkin yang dikatakan Einstein akan Gandhi memang benar adanya. Alhasil sampai saat ini penulis belum menjumpai tokoh yang hidup di abad modern sebesar Gandhi (mungkin karena keterbatasan pengetahuan penulis).

 

Sungguh betapa luar biasa prinsip hidup dan perjuangan Gandhi yang mampu menyatukan orang India dari berbagai kasta dan agama dengan konsep “satyagraha”, perlawanan tanpa kekerasan.

 

Gandhi juga kerap mengkritik orang-orang yang mendaku beragama namun tidak mempraktekkan hal-hal kecil yang merupakan perintah agama semisal “cintailah tetanggamu seperti kau mencintai dirimu sendiri.” Menurutnya, jika hal kecil itu dipraktikkan akan memunculkan sesuatu dalam sifat alami manusia yang membuat rasa kebenciannya berkurang dan rasa hormatnya bertambah.

 

Bagi Gandhi, esensi semua ajaran agama itu sama; mengajarkan kebenaran dan cinta. Sepanjang sejarah, kebenaran dan cinta selalu menang. Ada banyak tirani dan pembunuhan, dan sejenak, mereka seolah tak terkalahkan. Tapi pada akhirnya, mereka selalu kalah.

 

Terpatri dalam diri Gandhi sifat kesederhanaan dan prinsip welas asih yang begitu luar biasa. Ia memilih jalan sufistik dengan meninggalkan harta dunia dan profesi pengacaranya, dan memilih hidup sederhana. Baginya, kebahagiaan bukan berasal dari harta benda. Kebahagiaan bisa datang dari kebanggaan atas apa yang kita lakukan. 

 

Meski menjalani kehidupan sufistik, Gandhi tidak berarti bersikap fatalistik (jabbariyah). Ia selalu di barisan terdepan dalam menyuarakan kebenaran dan ketidakadilan. Ia merupakan sosok terdepan yang mampu meredam konflik berdarah di India.

 

Saat konflik Hindu-Islam bisa diredakan, Gandhi mampu meyakinkan umat Hindu-Islam di Pakistan bahwa satu-satunya setan di dunia adalah mereka yang berputar di dalam hati kita sendiri. Baginya, musuh sejati manusia adalah setan, bukan sesama manusia yang berbeda pandangan, bahkan agama.

 

Cara Gandhi dalam melawan dan meredam konflik adalah dengan berpuasa. Ini menunjukkan bahwa Gandhi seorang yang memiliki kekuatan transpersonal. Dalam Islam, disebut dengan “makrifat”.

 

Orang-orang dalam kesadaran transpersonal (makrifat) pada gilirannya akan memiliki kesadaran hakikat. Sebentuk kesadaran Rabaniyah yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan alam semesta. Di sini, ilmu dan amal menyatu dalam mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian warga bumi.

 

Berkaca dari kehidupan sufistik dan semangat perjuangan Gandhi yang luar biasa tersebut, penulis mencoba menangkap transfer nilai yang bisa diteladani dalam memaknai kehidupan ini. Pertama, Kehidupan sufistik bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi seperti anggapan banyak orang.

 

Ajaran sufisme sering dianggap terlalu elitis dan rumit untuk orang awam. Sufisme/tasawwuf dianggap akan mengajak orang meninggalkan syariat atau jalan eksoterik. Bagi penulis, ini anggapan yang keliru. Tasawwuf justru memperdalam pengertian orang beriman akan syariat. Dengan tasawwuf, seseorang menjalani syariat, bukan menyembah syariat.

 

Kedua, pelajaran dari Gandhi yang bisa kita ambil adalah bahwa mistik/sufisme mampu menjadi titik temu antar agama. Ketika konflik berkecamuk antara Islam-Hindu di India yang tidak bisa diselesaikan dengan dialog, Gandhi menempuh jalan dengan berpuasa. Ia meyakini bahwa setiap agama memiliki tradisi mistik/sufisme. Dengan berpuasa, Gandhi sedang mengajak orang-orang yang berkonflik untuk membersihkan dorongan-dorongan primitif yang destruktif yang dikuasai hawa nafsu.

 

Gandhi bahkan marah ketika ada sekelompok Islamis Fundamentalis yang memintanya untuk tidak ikut campur dalam konflik pertikaian antar Hindu-Islam. Gandhi meluapkan kemarahannya dengan mengatakan “I’m a moslem, I’m hindu, I’m christian, I’m buddhist”. Gandhi juga mengatakan: Meski kau hanya satu-satunya minoritas yang ada, kebenaran tetaplah kebenaran.

 

Bagi penulis, perjuangan dan prinsip moral Gandhi akan terus relevan sampai kapan pun. Mari kita belajar dari kearifan Mahatma Gandhi yang memaknai agama secara sufistik, secara kaffah. Kita tidak perlu terus menerus berdebat dalam wilayah teologi yang niscaya membedakan antar agama.

 

Kita perlu mengedepankan persamaan kita sebagai manusia, sebangsa, dan setanah air dengan pendekatan sufistik. Karena karakter asli bangsa Indonesia sebenarnya adalah spiritualistik. sebab tradisi spiritualitas ada di semua daerah di Indonesia. Agama yang dipahami secara tidak sufistik bisa membuat bangsa Indonesia lupa jati dirinya.

 

*Penulis adalah Wakil Bendahara PCNU Kota Tangsel


Opini Terbaru