• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Isra’ Mi’raj dan Keadaban Berbangsa

Isra’ Mi’raj dan Keadaban Berbangsa
Ilustrasi. (Foto: NU Online)
Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Agama sebagai sebuah kesakralan menibakan kehadirannya di tengah masyarakat guna perbaikan moral; sebagaimana intisari kerasulan Nabi Muhammad SAW, innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq. Segala tindak-tanduk baginda Nabi Muhammad SAW, menujukkan pesan tersirat maupun tersurat perihal pentingnya kesantunan dan senantiasa berperangai luhur; termasuk pada momen Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada tahun kesepuluh kenabian. Di dalamnya, bisa terpetik aneka pembelajaran yang menyuguhkan bagaimana laku keadaban merupakan tonggak beragama dan berbangsa secara ideal.


Pakar astronomi T. Djamaluddin (2018) dalam Semesta pun Berthawaf dan M. Quraish Shihab (2011) pada Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, kiranya bersepakat bahwa Isra’ Mi’raj merupakan kejadian luar biasa yang hanya bisa dimafhumi melalui pendekatan keimanan. Dengan kata lain, observasi manusia (baca: nalar saintifik) terasa musykil untuk bisa ikut mencernanya –dan sememangnya tidak diperlukan. Tak mengherankan, bila saat itu, banyak pihak yang tidak mempercayai perjalanan agung Nabi Muhammad SAW. 


Menariknya, menghadapi ketidakpercayaan dan tuduhan telah melakukan kobohongan, pada diri Nabi tidak sedikitpun tertampil kemarahan. Nabi tidak memaksa mempercayainya. Nabi sekadar menceritakan apa yang telah dijalani dari peristiwa malam itu. Padahal, secara manusiawi, Nabi bisa saja naik pitam dan bertindak kasar. Nabi bahkan meredam kemarahan sebagian Sahabat yang tidak terima atas sikap memperolok-olok. 


Hikayat Isra’ Mi’raj memaktubkan banyak sekali i’tibar untuk kita renungkan bersama. Terceritakan pada perjalanan sakral itu, baginda Nabi melihat orang-orang menggunting lidahnya. Ketika ditanyakan kepada Malaikat Jibril yang menyertai perjalanan, Jibril menandaskan bahwa itulah potret manusia yang gemar menyulut fitnah. Fitnah menjadi pekerjaan utama guna beroleh kuasa dan materi. Dalam Al-Qur’an secara tegas dinyatakan bahwa, fitnah lebih kejam ketimbang membunuh. Dampak destruktif fitnah sangat besar dan berjangka panjang daripada korban pembunuhan.  


Fitnah bertemali dengan mengumbar kebohongan. Istilah mutakhir kerap disebut hoaks. Kita menyadari pada saat sekarang, sebaran hoaks seakan sebuah tren. Bahkan hoaks sengaja dijadikan komoditas industri untuk kepentingan politik praktis. Adanya fabrikasi hoaks menandakan keadaban manusia telah terbenam dalam lumpur kehinaan. 


Kondisi sekarang pula; di mana setiap detik selama 24 jam, kita terkata hidup dalam seluruh-penuh interaksi tanpa batas di dunia maya; dunia media sosial (medsos). Tiap kali kita mengaksesnya, nyaris selalu bersentuhan dengan kabar fitnah, hoaks, dan caci maki. Sadar ataupun tidak, kita pun kerap terbawa pada situasi untuk “ikut” dalam semarak sebar hoaks. Aksi menggunting lidah sendiri merupakan gambaran betapa beratnya siksa yang bakal ditanggung si pembuat dan penyebar hoaks. Seakan lebih baik menggunting lidah sendiri ketimbang berbuat fitnah dan mencaci. Karena itu, momentum peringatan Isra’ Mi’raj menjadi alarm keras untuk lekas menginsyafi aksi caci, dan sharing kabar bohong yang kian marak.


Pada peristiwa berikutnya, Nabi juga melihat ada orang yang menanam dan lekas memetiknya --dalam waktu singkat. Kita memafhumi, untuk menanam tunas atau biji, diperlukan waktu lama hingga kemudian bisa dipetik buahnya. Sedangkan terasa aneh bila pada esok hari ia menanam dan selepas sore langsung bisa dituai. Jibril menginformasikan kepada Nabi, bahwa orang-orang itulah sebagai para mujahidin/orang-orang yang berjihad di jalan agama.


Dalam cakupan arti berjihad, senyatanya mempunyai keluasan arti. Dalam kitab hadits Bayan wa Ta’rif li Ibn Hamzah, diceritakan: Nabi melarang seorang pemuda yang hendak ikut pergi berperang/berjihad. Nabi menyuruh pemuda itu kembali pulang guna merawat orangtuanya yang sedang sakit. Dengan demikian, birrul walidain (baca: spirit berbuat baik kepada sesama) juga terkata bagian dari bentuk berjihad. Termasuk pula artian berjihad adalah seorang hakim yang benar-benar memutuskan perkara dengan seadil-adilnya. Walhasil, garis besar arti jihad adalah badzul juhdi alias optimalisasi menjalankan segala kebaikan bagi liyan.


Teranggap relevan manakala termasuk berjihad di zaman kini adalah menjadi  pengguna internet sehat/agen damai di media sosial, melakukan siskamling digital, menguarkan konten-konten positif, menyaring dahulu segala informasi sebelum sharing. Dengan konsisten berlaku demikian, kita bisa menjadi warga bangsa beradab. Menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang menanam dan lekas menuai hasil sebagai perlambang kesalehan. Dan, sama sekali semoga tidak menjadi bagian dari kelompok orang yang memotong lidahnya sendiri lantaran gemar men-sharing berita hoaks dan narasi kebencian. Peringatan Isra’ Mi’raj seyogianya menjadi cerminan dan momen kontemplatif dalam menjalani kehidupan berbangsa dan beragama sehari-hari dengan penuh keadaban: apakah sudah saling guyub rukun atau justru masih terselimuti saling curiga di antara anak bangsa? Wallahu a’lam


Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus Madrasah NU Ibtidaul Falah, Kudus


Opini Terbaru