• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Membendung Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan

Membendung Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan
Mustolih Siradj, Pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta (Foto: Pribadi
Mustolih Siradj, Pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta (Foto: Pribadi

Seharusnya institusi pendidikan sebagai tempat menuntut, mencari dan mendalami ilmu pengetahuan adalah lokasi yang paling aman dan nyaman dari tempat manapun di dunia karena di tempat itulah generasi yang kelak meneruskan estafet perjalanan bangsa ini ditempa dan digembleng sehingga menjadi manusia-manusia berwawasan luas, cerdik pandai dan berakhlak mulia. Dalam Undang-Undang Sistem Pendididkan Nasional (Sisdiknas) sebagai kawah candradimuka mengembangkan potensi diri suntuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

 

Akan tetapi belakangan ini kita mendapati fenomena yang sangat menyentak sekaligus menyesakkan dengan terungkapnya berbagai praktik-praktik kekerasan di tempat-tempat di selenggarakannya pendidikan. Beberapa diantara yang menjadi perhatian publik adalah dugaan pelecehan seksual di salah satu perguruan tinggi di daerah Sumatera di mana seorang mehasiswi menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen pembimbingnya. Kemudian di Jawa Timur juga terjadi hal yang sama. Yang paling miris yang terjadi di Jawa Barat, dimana pimpinan boarding school menjadi pelaku utama kekerasan seksual terhadap anak didiknya sendiri yang berlangsung bertahun-tahun yang korbannya berusia di bawah umur. Saat ini kasusnya sudah mulai bergulir di pengadilan. Publik bereaksi dan mengutuk keras para pelaku.

 

Kasus-kasus semacam ini disinyalir hanya merupakan puncak gunung es atau dengan kata lain jika ditelusuri dengan seksama dan dilakukan investigasi secara menyeluruh maka kejadian kekerasan di dunia pendidikan bisa berpotensi terjadi dimana saja. Bahkan mungkin di instansi yang selama ini dianggap masyakat sebagai tempat yang aman dan nihil kasus.

 

Sinyalemen ini bisa saja benar apabila melihat pemberitaan media sepanjang tahun 2021 mengungkap terjadinya kekerasan di dunia pendidikan baik yang bersifat fisik, seksual maupun  psikis. Belum lagi jika merunut peristiwa pada tahun-tahun sebelumnya. Fenomena semacam ini tentu saja harus menjadi bahan keprihatinan baik oleh masyarakat maupun pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah dan sesegera mungkim dihentikan dan diakhiri jika tidak maka di masa-masa mendatang bangsa ini akan panen generasi-generasi yang memendam trauma atas kekerasan yang berkepanjangan sehingga menjadi generasi yang lemah. Jika generasi penerus lemah, maka bangsa dan negara ini juga terancam lemah.

 

Di institusi pendidikan, kekerasan dalam bentuk apapun tidak boleh mendapat tempat dan ditoleransi sedikitpun karenanya segenap civitas akademika harus secara bersama-sama diberikan kesadaran agar bergerak bersama-sama melawan kekerasan dalam bentuk apapun, terlebih kekerasan seksual. Dalam konteks ini institusi pendidikan bukan saja yang bersifat formal, akan tetapi juga non formal. Tak terkecuali di dunia pesantren penting untuk didorong agar bibit-bibit kekerasan juga harus ditekan dan dihilangkan. Terlebih dengan terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren eksistensi pesantren merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem pendidikan. Dalam arti lain pesantren telah diakui dan diakomodasi sepenuhnya oleh negara sebagai basis pendidikan warganya.

 

Namun begitu, untuk mengungkap kasus-kasus kekerasan di institusi pendidikan kerapkali menghadapi persoalan yang cukup klasik dimana para korbannya biasanya sangat tertutup bahkan cenderung tidak mau bicara karena beranggapan apa yang menimpanya merupakan aib, keberlangsungan pendidikannya terancam di institusi tersebut terlebih bila pelakunya merupakan pemegang otoritas dan pengaruh atau tokoh yang dikenal publik korban akan berpikir seribu kali untuk terbuka. Belum lagi mesti memikirkan nama baik keluarganya apabila terungkap dan terpublikasi di media massa karena borpotensi viral di media sosial.

 

Tantangan pengungkapan kekerasan makin tidak mudah apabila korbannya adalah anak di bawah umur (belum dewasa) dimana anak cenderung sangat mendapatkan tekanan dan ancaman dari pelakunya. Oleh sebab itu butuh mekanisme dan cara tersendiri agar korban bersedia mengungkap (speak up) kekerasan misalnya dengan membuat wistle blower system  di mana laporan bisa dilakukan siapa saja bukan cuma korban, dilakukan secara senyap dan ada jaminan identitas pelapornya dijamin kerahasiannya.

 

Bila perlu institusi pendidikan seperti sekolah, kampus, boarding school atau bahkan pesantren bekerjasama dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) agar keamanan benar-benar terjamin. Di LPSK memang bila seseorang menjadi saksi atau korban tindak pidana maka hak-haknya dijamin oleh negara, termasuk disediakannya rumah aman (save house). LPSK lembaga sendiri lembaga yang dibentuk oleh undang-undang dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.

 

Perangkat untuk menghukum pelaku kejahatan kekerasan seksual sesungguhnya telah tersedia di KUHP, UU KDRT maupun norma perundangan-undangan lainnya yang tersebar. Bahkan apabila korbannya adalah anak ancaman pidananya bisa mencapai 15 tahun dan ditambah dengan hukuman kebiri secara kimia. Namun begitu, sistem peradilan pidana (criminal justice system) di negeri ini amatlah panjang untuk bisa sampai inkracht (berkekuatan hukum tetap) dan eksekusi pelakunya bisa memakan waktu tahunan.

 

Oleh sebab itu perlu ada alternatif hukuman agar pelaku kekerasan memiliki efek jera misalnya dengan hukuman sosial seperti larangan mengajar, membuka, memimpin atau terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung pada institusi pendidikan apapaun secara permanen yang datanya tercatat di pusat data lembaga pemerintah. Dengan begitu predator seksual benar-benar dibuat tidak lagi bersinggungan dengan sektor pendidikan di level manapun.

 

Sayangnya, di tengah fenomena kekerasan seksual terjadi dimana-mana DPR hingga akhir Desember 2021 justeru belum kunjung mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dengan alasan karena persoalan prosedur yang belum lengkap. Padahal RUU tersebut jika telah disahkan bisa menjadi amunisi tambahan membendung dan memberantas kekerasan seksual khususnya di dunia pendidikan. DPR di tahun depan harus sadar, negera dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Karena itu poltical will sebagai pembentuk perundang-undangan diperlukan membendung fenomena kekerasan seksual.

 

Oleh: Mustolih Siradj, Pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta 


Editor:

Opini Terbaru