KH Bisri Mustofa (1915-1977), ayah Gus Mus, adalah penulis produktif. Ini sudah jamak diketahui. Beliau menulis lebih dari 170 buku. KH Bisri Mustofa adalah orator andal. Ini sudah maklum. Dakwahnya dari level nasional hingga pelosok desa. KH Bisri Mustofa adalah politisi. Ini juga tak terbantah. Menjadi anggota konstituante, perwakilan NU. KH Bisri Mustofa adalah pendidik. Ini adalah realita. Sebagai pendiri Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang. KH Bisri Mustofa adalah pejuang kemerdekaan. Ini juga fakta sejarah. Ikut memimpin perang 10 November 1945 di Surabaya. KH Bisri Mustofa adalah pakar tafsir. Ini sudah banyak ditulis oleh jurnal, tesis, dan disertasi. Tafsir al-Ibriz adalah magnum opusnya. Namun bagaimana perannya dalam kajian hadits?
Ada 3 penjelasan yang bisa diajukan. Pertama, dari sisi sanad dan genealogi kajian hadits, KH Bisri Mustofa memiliki sanad kajian Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Syekh Umar Hamdan al-Maghribi (1875-1949). Tokoh penting dalam kajian hadits di Hijaz. Selain itu, KH Bisri Mustofa juga belajar kitab Manhaj Dzawi al-Nadhar dari Syekh Hasan Masyath (1317-1399 H). Kitab ini adalah ulasan Alfiyah Suyuthi dalam bidang mushtholah hadits. Ditulis oleh Syekh Mahfudz al-Tarmasi (1868-1920). Ditambah lagi juga belajar kitab al-Aqwal al-Sunan al-Sittah dari Syekh Ali al-Maliki (1870-1949). Jalur sanad keilmuan ini sudah dapat menjadi garansi latar belakang keilmuan KH Bisri Mustofa, khususnya dalam bidang hadits.
Kedua, setelah selesai studi kajian hadits di atas di Tanah Suci, KH Bisri Mustofa menyebarluaskannya. Pesantren Leteh menjadi basis pengajarannya. Berbagai disiplin ilmu diajarkan. Mulai dari nahwu, sharaf, fiqih, ushul fiqih, ulumul Qur'an, tarikh, tasawuf, tafsir, hingga hadits. Salah satunya adalah kajian Shahih al-Bukhari dan Muslim. Dua kitab primer dalam bidang hadits. Selain itu juga dilengkapi kajian mustholah hadits. Salah satunya adalah kitab al-Mandhumah al-Baiquniyah. Di titik ini, tampak bagaimana KH Bisri Mustofa turut andil dalam pentradisian kajian hadits dan ilmu hadits di Indonesia.
Ketiga, melalui karya tulis. Ada 3 judul kitab dalam bidang hadits yang diterjemahkan sekaligus syarah. Pertama, kitab al-Azwad al-Mushthafawiyah terjemah dan penjelasan Kitab al-Arba'in al-Nawawiyah, karya Imam al-Nawawi (631-676 H). Kedua, terjemah dan penjelasan Kitab Bulugh al-Maram, karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H). Ketiga, terjemah dan penjelasan al-Mandhumah al-Baiquniyah. Dalam ketiga karya ini, KH Bisri Mustofa tidak serta merta mengalihbahasakan. Tetapi juga memberikan ulasan. Ditambah lagi catatan-catatan penting. Karena itu, dapat kita rasakan bahwa ketiganya tidak sekadar kitab terjemah. Tetapi juga sebagai kitab syarah (penjelasan). Kalau kita lihat dari sisi historis, karya-karya ini ditulis pada 1960-an. Di mana kajian hadits belum familiar seperti saat ini.
Dari tiga hal ini, betapa besar dan signifikan peran KH Bisri Mustofa dalam pentradisian kajian hadits di Nusantara. Lantas tertarikah Anda?
Muhammad Hanifuddin, Ketua LBM PCNU Tangsel dan Dosen Darus-Sunnah Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meraih Emas setelah Pertengahan Ramadhan
2
Himpun 2 Miliar, UPZIS LAZISNU Ranting Ciater Sabet Penghargaan Terbaik Se-Tangsel
3
Lakukan Dua Hal Ini agar Hidup Tenang
4
Waktu Buka Puasa 18 Maret 2025 di Jakarta dan Banten
5
Waktu Buka Puasa 19 Maret 2025 di Jakarta dan Banten
6
Jadwal Maghrib untuk Jakarta dan Banten 17 Maret 2025
Terkini
Lihat Semua