Nasional

Penguasa, Termasuk Pengurus NU Tidak Boleh Semena-mena

Rabu, 21 Mei 2025 | 16:39 WIB

Penguasa, Termasuk Pengurus NU Tidak Boleh Semena-mena

Ngaji Kitab Syarhun Lathifun bersama Ketua LBM PCNU Tangsel Kiai Muhammad Hanifuddin di Lantai 3 Graha Aswaja NU Tangsel, Ciputat, Tangsel, Selasa (20/5/2025) malam. (Foto: NUOB/Mutho)

Tangerang Selatan, NU Online Banten

Sejumlah pesan bisa diambil dari hadits yang ke-37 yang dipilih Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dalam Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama terkait konteks Nahdlatul Ulama (NU). Di antara pada teks dengan narasi wal mutasallithu bil jabaruti liyu’izza man adzallahullahu wa yudzilla man a’azzahullahu.


’’Misal jika ada kader NU atau Nahdliyin mendapat amanat sebagai pengurus atau penguasa di masyarakat atau pemerintahan dengan jabatan tertentu, tidak boleh semena-mena. Memuliakan orang yang dihinakan Allah dan menghinakan orang yang dimuliakan Allah,’’ ujar Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangerang Selatan (Tangsel) Kiai Muhammad Hanifuddin saat ngaji Kitab Syarhun Lathifunala Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jam’iyyah Nahdatil Ulama di Lantai 3 Graha Aswaja NU Tangsel, Ciputat, Tangsel, Selasa (20/5/2025) malam.


Pada kesempatan itu, santri almaghfurlah KH Ali Mustafa Yakub, pendiri Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, membacakan hadits dari Siti Aisyah ra yang diriwayatkan Imam Baihaqi. Sittatun la’antuhum wa la’anahumullahu wa kullu nabiyyin yujabu, azzaidu fi kitabillah wal mukadzdzibu bi qadarillahi wal mutasallithu bil jabaruti liyu’izza man adzallahullahu wa yudzilla man a’azzahullahu wal mustahillu li haramillahi wal mustahillu min ‘itraty ma harramallahu wat tariku lisunnaty.


’’Rasulullah dan Allah melaknat mereka ketika melakukan di antara enam hal. Dan setiap nabi doanya dikabulkan Allah,’’ kata
kiai berkacamata yang malam itu mengenakan baju putih lengan panjang dipadu sarung berwarna cenderung gelap menyampaikan maksud dari hadits tersebut.




Enam hal itu, lanjutnya, adalah menambah Al-Qur’an, misalnya ayat atau hurufnya. Lalu, orang mendustakan qadar atau ketentuan Allah. Berkuasa dengan semena-mena, memuliakan orang yang menghina Allah dan menginakan orang yang memuliakan Allah. Kemudian, orang yang menghalalkan Tanah Haramnya Allah, dengan melakukan yang tidak boleh, seperti berburu dan menebang pohon di Makkah.  


Selain itu, orang yang menghalalkan dari keluarganya Rasulullah, apa-apa yang diharamkan oleh Allah. ’’Terakhir, meninggalkan sunah Rasulullah. Dalam syarah di antaranya diterangkan, orang yang berpaling dari semua sunah Nabi, meninggalkan semuanya,’’
imbuh pria asal Sragen, Jawa Tengah, yang juga dosen Pondok Pesantren Darus-Sunnah Ciputat, itu.


Pesan lain yang barangkali dapat diambil dari hadits tersebut, tambahnya, dalam konteks ke-NU-an, warga NU hendaknya selalu berpegang dengan sunah Rasulullah meski belum bisa melakukan semuanya.’’Juga menerima qadar Allah. Semua sudah digariskan oleh Allah. Manusia sekadar berikhtiar. Menjalankan program NU dengan sungguh-sungguh, setelah itu diserahkan Allah. Apa pun yang terjadi hendaknya diterima,’’ terang pria
yang pernah sembilan tahun menimba ilmu di Pondok Pesantren Ringinagung, Kediri, Jawa Timur, tersebut.


Dalam kitab yang malam itu dibacakan dari halaman 101 hingga 104 tersebut, juga diterangkan di dalam syarah atau penjelasan terkait makna laknat. ‘’Yaitu, jauh dari kebaikan dan rahmat serta anugerah Allah,’’ imbuhnya di depan jamaah yang hadir, termasuk Ketua PCNU Tangsel H Abdullah Mas’ud.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 


Sekadar diketahui, ngaji kitab rutin ini dilaksanakan setiap Selasa malam. Satu rangkaian dengan istighotsah dan pembacaan Shalawat Nariyah yang digelar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangsel.


Perlu diketahui juga, Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama merupakan karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Kitab Mbah Hasyim—sapaan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari—yang berkenaan dengan berdirinya Jam’iyyah NU itu, memiliki kekhasan. Kitab tersebut dilampirkan bersamaan dengan Mukaddimah Qanun Asasi Nahdatul Ulama yang berkaitan erat (tata'allaq) dengan berdirinya NU.


Arbain Haditsan Mbah Hasyim ini dimulai dengan pesan kebaikan, bagaimana esensi agama, lalu bagaimana pula jika agama diserahkan kepada mereka yang bukan ahlinya. Redaksi yang ditulis oleh Mbah Hasyim dalam Arbain Haditsan tidak melulu dari Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim saja, akan tetapi juga dari Tabrani, Abi Dawud hingga kutipan dari Abu Nuaim Al-Asfahani, yang masih relevan hingga sekarang. Artinya, ada unsur continuity (keberlangsungan) di situ. Dari sinilah keistimewaan sosok Mbah  Hasyim mampu meletakkan 40 hadits pilihan sebagai fondasi Jam'iyyah Nahdatul Ulama.



Sedangkan Syarhun Lathifun merupakan syarah atas Arbain Haditsan yang ditulis oleh Khoiruddin Habziz, santri dan pengurus Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur. Kitab dengan tebal 124 halaman tersebut diberi pengantar oleh Wakil Rais ’Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Afifuddin Muhajir, yang juga mengajar di Ma’had Aly Situbondo. (Mutho)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

ADVERTISEMENT BY ANYMIND