Jakarta, NU Online Banten
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Desy Andriani mengatakan, kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es. Data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) sepanjang 2024, ada 6,2 juta perempuan yang mengalami kekerasan, hanya 0,19 persen perempuan korban kekerasan yang melaporkan kasusnya. Sebanyak 99,81 persen memilih untuk diam. Demikian disampaikan pada diskusi bertajuk Relasi Maslahat dalam Kongres Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (KMNU) yang digelar di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (31/1/2025).
Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) 2024, lanjutnya, jumlah kasus berdasarkan lokasi kejadian kekerasan terhadap perempuan klasternya di sekolah (1 persen), fasilitas umum (7 persen), lembaga pendidikan kilat, tempat kerja (2 persen), rumah tangga (74 persen), dan lainnya (16 persen).
Jumlah pelaku kekerasan terhadap perempuan, rekan kerja (1 persen), majikan (1 persen), guru (0 persen), pacar/teman sebaya (13 persen), tetangga (5 persen), keluarga (5 persen), orang tua (4 persen), suami/istri (60 persen), dan lainnya (11 persen).
Pemicunya minuman keras, pornografi, moral, agama, miskin, tempramen, pendidikan, status sosial, ekonomi, kesehatan, dan kondisi lain. Sementara akar masalahnya, ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan, zero tolerance pemikiran perempuan subordinat, perempuan objek seksualitas, dan perempuan pemicu kekerasan.
Di tempat yang sama, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Rahmayanti mengatakan, ada banyak faktor yang menyebabkan perkawinan anak. Mulai dari pemahaman agama, letak geografi, literasi media sosial minim, pornografi dan kesalahpahaman terkait kesehatan reproduksi, kultur budaya, ekonomi, hingga pola asuh.
Faktor budaya, misalnya. Ada anak laki-laki bepergian ke luar dengan anak perempuan setelah Maghrib mendapatkan sanksi untuk dinikahkan. Artinya, faktor budaya sangat signifikan. Bahkan, penegak hukum bilang lebih takut dengan budaya masyarakat ketimbang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). "Jadi faktor budaya sangat signifikan," ujar Ai.
Faktor pemahaman agama juga besar pengaruhnya. Masyarakat lebih takut zina, lebih baik dinikahkan. Faktor selanjutnya letak geografis yang juga berkontribusi dalam meningkatnya angka perkawinan anak, terutama di daerah pegunungan dan pesisir. Di daerah tersebut, akses untuk melanjutkan pendidikan dan faktor ekonomi yang kurang mendukung sering menjadi alasan orang tua menikahkan anak-anak mereka.
Ai mencontohkan kasus di Ponorogo dan Sulawesi Tenggara. Anak perempuan setelah lulus dari SD dinikahkan karena pernikahan dianggap sebagai solusi karena minimnya akses pendidikan dan pekerjaan. "Saya ketika ke Sulawesi Tenggara, daerah pesisir juga sama setelah anak perempuan lulus SD tidak bekerja dan tidak ada kegiatan, maka menikah menjadi solusi. Jadi faktor geografi sangat menentukan," imbuhnya.
Ketika perkawinan anak terjadi, mereka mengalami pelanggaran hak anak. Mulai dari pendidikan, melanggar tumbuh kembang anak secara optimal, hak memanfaatkan waktu luang, hingga pelanggaran anak pada lingkungan anak. "Jadi, anak mengasuh anak," imbuh wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Sedangkan Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU) Nur Rofiah mengatakan, ada lima prinsip pengasuhan anak yang bisa diterapkan untuk membangun keluarga maslahat. Lima prinsip ini selalu ada tiga dimensi, orang tua ke anak, orang tua dan anak, serta orang tua dan anak dengan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Prinsip pertama, rahmah (kasih sayang). Proses pengasuhan anak didasarkan pada orang tua yang sayang kepada anaknya sehingga tidak melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. "Dalam proses pengasuhan, orang tua dan anak saling berproses untuk saling sayang satu sama lain. Orang tua dan anak sama-sama mempersiapkan diri untuk bisa membangun relasi dengan masyarakatnya berdasarkan kasih sayang dengan masyarakat," ucapnya.
Kedua, fitrah. Fitrah berkaitan dengan keunikan masing-masing manusia, anak tidak boleh menjadi miniatur dari orang tuanya atau balas dendam atas penderitaanya di masa kecil. Orang tua mengasuh anaknya dengan mempertimbangkan setiap keunikan anak.
Ketiga, mas'uliyah atau tanggung jawab. Dalam proses pengasuhan anak, orang tua bertanggung jawab agar orang tua dan anak berproses menjadi pribadi yang bertanggung jawab sekaligus bisa menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab.
Keempat, maslahah atau kebaikan. Dalam proses pengasuhan anak, orang tua mengasuh anak dengan mempertimbangkan kemaslahatan anak tapi orang tua dan anak berproses saling mewujudkan kemaslahatan bersama.
Kelima, uswah. Dalam proses pengasuhan anak, orang tua mesti menjadi teladan bagi anak. Keduanya berproses saling kebaikan satu sama lain sehingga siap menjadi teladan bagi masyarakatnya.
"Kemaslahatan bukan semata secara eksklusif, tetapi selalu kemaslahatan dalam keluarga dan keluar dari keluarga karena kemaslahatan menjadi proses dari kemanfaatan individu, khairu ummah," jelasnya, dilansir NU Online. (Suci Amaliyah)
ADVERTISEMENT BY ANYMIND