Marhaban ya Ramadhan, marhaban ya syahros shiyam
Selamat datang Ramadhan, selamat datang bulan puasa
Baca Juga
Merawat Tradisi Pesantren saat Ramadhan
BEGITU yang sering kita dengar dari berbagai macam ucapan mulai dari baleho-baleho, flyer-flyer, offline maupun yang berseliweran di status dan medsos kita. Acara TV dan konten medsos “mendadak” religi, apakah itu salah?
Tentu tidak. Tetapi ada yang tak kalah penting dari sekadar gegap gempita kita menyambut bulan suci Ramadhan dengan berbagai seremonial kebahagiaan. Tidak lain adalah dengan mengaktualisasikan “glorifikasi” penyambutan Ramadhan dengan berbagai kebaikan dan ibadah. Ya, memang selalu saja masalahnya bukan pada narasi, tapi pada aktualisasi.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Ramadhan sudah tiba. Suka citakah atau malah sebaliknya? Tentu hal tersebut hanya diri kita masing-masing yang tahu. Dari sekian banyak pesan Ramadhan yang mungkin sudah berseliweran di medsos, penulis tertarik untuk menyampaikan pesan bahwa Ramadhan sejatinya adalah bulan pendidikan, syahrut tarbiyyah.
Mendidik diri kita masing-masing dengan menahan segala macam godaan dan hawa nafsu. Menjeda segala keinginan agar kita belajar kesederhanaan. Ramadhan sebagai syahrut tarbiyyah paling tidak mengajarkan nilai pendidikan dan nilai sosial.
Baca Juga
Ini Kemuliaan Bulan Ramadhan
Pertama Nilai Pendidikan
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Ramadhan datang ibarat “tamu agung” yang sudah semestinya disambut dengan gegap gempita. Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk memperbaiki dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Bagaimana tidak, 11 bulan kita selalu memanjakan perut dengan segala yang diinginkan, luar biasanya di bulan Ramadhan kita diajarkan untuk menikmati hal yang mungkin dianggap biasa saja pada bulan-bulan lainnya tapi dianggap luar biasa saat bulan puasa. Makan, minum, bahkan sekadar kurma atau gorengan yang dilihat di siang bolong menjadi begitu menggoda. Itulah Ramadhan mendidik kita untuk belajar.
Dalam teori belajar, ada teori belajar yang disebut dengan behavioristik dan kognitif. Behavioristik berfokus pada perubahan tingkah laku. Artinya seorang murid disebut telah belajar dengan baik saat ia menunjukkan perubahan perilakunya yang tampak. Ramadhan adalah momentum untuk kita bisa mengukur sebanyak apa perubahan yang bisa kita lakukan melalui perubahan-perubahan yang nampak. Itu menggambarkan bagaimana kita menyikapi dan mengisi bulan suci Ramadhan. Ramadhan mendidik kita untuk menahan hawa nafsu, kesombongan, dan ketamakan.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Sementara teori belajar kognitif berfokus pada proses belajar bukan pada hasil. Puasa adalah bagaimana kita menjalani proses puasa dengan imanan wahtisaaban. Apakah kita akan menjalani puasa dengan bermalas-malasan atau justru memanfaatkan puasa sebagai waktu terbaik kita untuk memperbanyak amal dan memperbaiki diri.
Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa belajar merupakan proses perubahan persepsi dan pemahaman. Perilaku seseorang ditentukan dari persepsi dan pemahamannya terhadap sesuatu. Bagaimana kita menyambut dan mengisi bulan suci Ramadhan tergantung bagaimana kita memahami dan mempersepsikan bulan suci Ramadhan bagi diri kita. Jika mengartikan Ramadhan hanya sebatas ibadah tahunan, merugilah ia. Tetapi jika mengartikan Ramadhan sebagai bulan pendidikan yang mendidik kita menjadi lebh baik lagi, maka beruntunglah ia.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Kedua Nilai Sosial
Menahan lapar dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari selain mengandung nilai spiritual juga mengandung nilai sosial. Paling tidak kita bisa merasakan bagaimana letih dan berjuang menahan haus dan dahaga. Itulah yang dirasakan saudara-saudara kita yang kurang mampu. Ramadhan mendidik kita untuk berempati, untuk ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Keinginan kita kadang kala menembus batas kepemilikian orang lain. Tanpa disadari ketamakan menjadi penyakit sosial yang harus sama-sama kita hindari. Maka, nilai sosial selanjutnya adalah menghilangkan ketamakan yang ada dalam diri kita.
Ada sebuah kisah menarik dalam legenda Yunani Kuno tentang Raja Midas. Dikisahkan ia ingin menjadi raja terkaya. Singkat cerita ia bertapa dan meminta kepada Sang Dewa untuk menjadi kaya. Akhirnya, permohonan itu dikabulkan dan ia bisa mengubah apa pun yang disentuhnya menjadi emas. Kekayaan benar-benar sudah di tangannya. Menginginkan apa pun dan berapa pun jumlahnya hanya dengan sentuhan tangan. Semua harta bendanya ia ubah menjadi emas. Rumah, pohon, rumput, peralatan dapur sampai hal-hal kecilpun ia ubah menjadi emas. Hidupnya bergelimangan harta.
Sampai pada satu hari ia ingin memberikan kejutan pada istrinya akan kehebatannya. Sebagai ungkapan kegembiraannya, sang raja sontak memeluk istrinya, alih-alih peluk hangat istrinya justru berubah menjadi emas. Setelah itu sang raja dirundung pilu. Apalah gunanya harta benda sebanyak itu jika orang yang ia kasihi hanya bisa mematung sebagai patung emas.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Hal demikian terjadi karena manusia seringkali lupa batasan-batasan keinginan terhadap harta dan ketamakan. Kita bisa mengambil i’tibar bahwa manusia seringkali menilai segala sesuatu hanya dengan apa yang dilihat oleh kedua bola mata. Sementara kepedulian sosial, hati, empati, dan pertimbangan-pertimbangan spiritual seringkali dikesampingkan dan terkalahkan oleh penilaian-penilaian yang bersifat materialistis. Padahal, yang sudah kita miliki bisa jadi adalah yang orang lain impi-impikan.
Begitulah. Ramadhan mendidik kita, mengajarkan kita bahwa segelas air sebenarnya sudah cukup untuk menghilangkan haus. Tetapi karena hawa nafsu, seringkali air minum orang lain sampai kita rebut dan miliki. Boleh saja kita mengejar harta untuk kelak masa depan anak dan cucu. Tapi jangan lupa ada batas-batas yang harus kita patuhi, ada hak-hak orang lain di setiap harta yang dititipkan kepada kita.
Begitulah pesan pendidikan Ramadhan untuk kita, bahwa hidup cukup sejatinya cukup. Momentum Ramadhan ini sebaiknya kita jadikan sebagai momentum untuk mengetahui porsi dan menyadari untuk apa dan mengapa kita diciptakan. Karena Allah swt berfirman وماخلقت الجن والانس الا ليعبدون
''Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.'' (QS Adz-Dzariyat: 56).
Sofwatillah Amin, ASN Kemenag Banten, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Primagraha, Anggota PAC GP Ansor Kramatwatu
ADVERTISEMENT BY ANYMIND