Banten Raya

Pentingnya Sanad Keilmuan Bersambung hingga Nabi Muhammad

Rabu, 19 Februari 2025 | 16:39 WIB

Pentingnya Sanad Keilmuan Bersambung hingga Nabi Muhammad

Kitab Syarhun Lathifun yang dibaca Ketua LBM PCNU Tangsel Kiai Muhammad Hanifuddin di Graha Aswaja NU Tangsel, Ciputat, Tangsel, Selasa (18/2/2025) malam. (Foto: NUOB/Mutho)

Tangerang Selatan, NU Online Banten

Mengaji, belajar agama, hendaknya memperhatikan sanad. Sanad keilmuan yang bersambung hingga Nabi Muhammad saw sangat penting. Sanad merupakan sebuah mata rantai keilmuan. ’’Oleh karena itu hati-hati dalam mencari guru, terutama yang terkait agama,’’ ujar Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangerang Selatan (Tangsel) Kiai Muhammad Hanifuddin saat ngaji Kitab Syarhun Lathifunala Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jam'iyyah Nahdatil Ulama di Lantai 3 Graha Aswaja NU Tangsel, Ciputat, Tangsel, Selasa (18/2/2025) malam.


Malam itu, santri almaghfurlah KH Ali Mustafa Yakub, pendiri Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, membacakan hadits urutan ke-33. Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berbunyi, inna hadzal ‘ilma dinun fandhuru ‘amman takkhudzuna dinakum. ’’Sesungguhnya ini ilmu itu agama, maka lihatlah kamu semua dari siapa mengambil agamamu semua. Dalam syarahnya, al yang ada di kata ilmu itu maksudnya agama. Para ahli hadits berkata, ilmu yang disandarkan pada agama,’’ imbuh pria asal Sragen, Jawa Tengah, yang juga dosen Pondok Pesantren Darus-Sunnah Ciputat, itu.



Dalam syarah juga dikatakan, maksudnya ilmu tersebut adalah segala ilmu syar’i yang mengandung kebaikan baik urusan agama, dunia, maupun akhirat. ’’Jadi tidak terbatas ilmu hadits saja. Bisa ilmu fiqih, tauhid. Apa pun yang mengandung ilmu syar’i,’’ tambah pria yang pernah sembilan tahun menimba ilmu di Pondok Pesantren Ringinagung, Kediri, Jawa Timur, tersebut.

 


Jadi, lanjutnya, jika mencari guru untuk menimba ilmu harus melihat rekam jejaknya.’’Seperti dalam syarah, Syekh Ibrahim an-Nakhai berkata, jika kamu semua mendatangi seseorang untuk belajar, hendaknya melihat tingkah lakunya, shalatnya. Setelah tahu, baru mengambil atau belajar kepada orang tersebut,’’ terang Kiai Hanif yang membaca kitab mulai halaman 94 tersebut.


Nah, warga NU diminta memperhatikan dan menambah kehati-hatian dari mana guru tersebut mendapat ilmu. ’’Apakah bersambung sanadnya, berjejalin guru-gurunya? Ini urusan yang penting, lebih-lebih di era saat ini, zaman kontemporer yang muncul beragam fitnah. Semoga Allah melindungi kita,’’ pungkasnya di hadapan puluhan jamaah.


Sekadar diketahui, ngaji kitab rutin ini dilaksanakan setiap Selasa malam. Satu rangkaian dengan istighotsah dan pembacaan Shalawat Nariyah yang digelar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangsel dan dipimpin Sekretaris PCNU Tangsel Kiai Himam Muzzahir.


Perlu diketahui juga, Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama merupakan karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Kitab Mbah Hasyim—sapaan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari—yang berkenaan dengan berdirinya Jam’iyyah NU itu, memiliki kekhasan. Kitab tersebut dilampirkan bersamaan dengan Mukaddimah Qanun Asasi Nahdatul Ulama yang berkaitan erat (tata'allaq) dengan berdirinya NU.


Arbain Haditsan Mbah Hasyim ini dimulai dengan pesan kebaikan, bagaimana esensi agama, lalu bagaimana pula jika agama diserahkan kepada mereka yang bukan ahlinya. Redaksi yang ditulis oleh Mbah Hasyim dalam Arbain Haditsan tidak melulu dari Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim saja, akan tetapi juga dari Tabrani, Abi Dawud hingga kutipan dari Abu Nuaim Al-Asfahani, yang masih relevan hingga sekarang. Artinya, ada unsur continuity (keberlangsungan) di situ. Dari sinilah keistimewaan sosok Mbah  Hasyim mampu meletakkan 40 hadits pilihan sebagai fondasi Jam'iyyah Nahdatul Ulama.



Sedangkan Syarhun Lathifun merupakan syarah atas Arbain Haditsan yang ditulis oleh Khoiruddin Habziz, santri dan pengurus Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur. Kitab dengan tebal 124 halaman tersebut diberi pengantar oleh Wakil Rais ’Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Afifuddin Muhajir, yang juga mengajar di Ma’had Aly Situbondo. (Mutho)