Nasional

Konsensus Bangsa Butuh Diaktualisasikan dengan Realitas Masa Kini

Jumat, 13 Juni 2025 | 22:49 WIB

Konsensus Bangsa Butuh Diaktualisasikan dengan Realitas Masa Kini

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (tengah) di Forum Kramat di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (13/6/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online Banten  

Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, konsensus bangsa yang telah disepakati pada tempo lalu perlu diaktualisasikan dengan realitas masa kini. Sebab, lanjutnya, masyarakat dengan dinamika sosialnya telah berkembang, meski diwarnai dengan benturan serta konflik. Karenanya, pada waktunya, lembaran sejarah akan memunculkan inisiatif melakukan konsolidasi sosial agar dapat menciptakan wahana-wahana kebersamaan.  


"Seperti yang kita tahu semua, konsensus tentang dasar negara, konsensus tentang bentuk negara, konsensus tentang nilai dasar negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Maka Pendeta Jacky Manuputty membisikkan kepada saya bahwa konsensus kebangsaan yang awal mula itu adalah PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945, gitu," ujarnya dalam Forum Kramat dengan tema Pentingnya Konsensus Kebangsaan di Lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (13/6/2025).  



Pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, lanjutnya, sebenarnya memerlukan penjabaran-penjabaran lebih lanjut ke dalam bentuk yang lebih operasional. "Misalnya, ada pasal yang mengatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan berpendapat diatur oleh UUD. Nah, diatur dengan UU itu atas dasar nilai apa? Itu belum ada rujukannya. Ya, kita punya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik), UU macam-macam perizinan ini, perizinan itu, tapi rujukan nilainya apa? Belum ada kesepakatan tentang itu," terangnya, dilansir NU Online.


Ditambahkan, dalam UU yang mengatur penjaminan hak warga negara dalam menjalankan peribadatan, belum juga terjabarkan dengan baik, sehingga menyebabkan kasus-kasus konflik rumah ibadah. "Ini bagaimana menjembatani atau mengelola perbedaan-perbedaan itu," kata pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, itu.  



Oleh karena itu, imbuhnya, ada langkah yang bisa diambil untuk menjawab tantangan kebangsaan saat ini. Langkah tersebut berupa penjabaran nilai-nilai dasar secara lebih operasional dalam kehidupan bermasyarakat. "(Agar) kita ini, supaya macam-macam perbedaan yang muncul ini, ada saluran untuk menyelesaikannya sebagai jalan keluarnya. Ada, kayak kisi-kisi: ini harus diselesaikan melalui cara apa? Koridornya seperti apa?" jelasnya.  


Dia juga memandang kebutuhan mendesak akan konsensus bersama mengenai etika, yaitu apa yang dianggap patut dan apa yang tidak patut dalam konteks etika publik.



Sedangkan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Jacky Manuputty mengungkapkan ketakutannya akibat polarisasi yang berkembang, tradisi guyub atau rukun sebagai bangsa menjadi hilang. "Dalam perjumpaan-perjumpaan seperti ini, banyak hal yang diangkat dalam suasana guyub dijadikan konsensus, atau mendorong untuk meresonansikan apa yang kita sebut sebagai konsensus," ujarnya.  


Dia pun menceritakan kembali bagaimana risalah-risalah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dirumuskan. Meski ada perdebatan, suasana untuk saling terbuka terhadap ide-ide menjadikan konsensus tersebut terbentuk dengan baik.  


Tak hanya itu. Krisis-krisis yang dihadapi saat ini tidak lagi seragam atau datang dari satu sumber yang sama, melainkan beragam, kompleks, dan saling berkelindan, antara ekonomi, sosial, teknologi, dan lingkungan.


"Karena itu menjadi sangat penting di dalam situasi suasana seperti ini, saya sangat setuju yang disampaikan (Gus Yahya), konsensus dibutuhkan," terangnya. (Haekal Attar)

Â