Manusia tak akan luput dari berbagai musibah termasuk di dalamnya mengalami rasa sakit. Setelah ikhtiar lahir dilakukan, maka harus juga diimbangi dengan ikhtiar-ikhtiar batin seperti sabar. Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam Kitab Tasawuf ‘Mukasyafatul Qulub’ membeberkan secara gamblang, ’’Barang siapa berkeinginan selamat dari azab Allah, memperoleh pahala dan rahmat-Nya, masuk ke dalam surga-Nya maka hendaknya seseorang mencegah dari berbagai syahwat dunia, dan bersabar atasnya,... yakni salah satunya bersabar terhadap musibah yang menimpa.” (hal: 14). Beliau juga menjelaskan dalam kitab lainnya bahwa sabar terkategorikan menjadi dua, salah satunya sabar terhadap musibah yang menimpa badan di antaranya yaitu sakit yang akut.” (Ihya Ulumuddin: Juz 4, hal 65).
Lantas sebagai seorang awam yang cetek dalam pemahaman agama, bagaimana kita bersikap terkait musibah sakit?
Sakit adalah alarm dari Allah agar kita terbangun dan tidak ‘tidur’ terlalu lama. Tidur dalam kelalaian dan kelezatan dunia. Ketika sakit, maka badan menjadi susut dan tenaga menjadi lemah. Manusia benar-benar menjadi ‘manusia’ dengan segala kelemahannya, seperti Firman Allah dalam QS An-Nisa 28, ’’Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah.”
Bagi seorang Mukmin yang Muslim, seyogianya selalu teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidatina Aisyah yang disitir oleh Abul Yaman Hakam bin Nafi’ dari Syuaib, Zuhriyyi merujuk ke Urwah bin Zubair, Rasul bersabda, ”Tidak ada satu pun musibah yang menimpa seorang Muslim, melainkan dosanya dihapus Allah Ta’ala karenanya, sekalipun musibah itu hanya karena tertusuk duri.” (Sahih Bukhori, Juz 4, hal 3, hadis No. 5640). Terkait hadits tersebut, Imam Al-Hafidz bin Ali bin Hajar Al-‘Asqolani memberikan syarahnya tentang perbedaan redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, begitu juga Imam Ibnu Hibban, dan Imam Muslim. Namun, benang merahnya sama yakni bahwa ketika musibah menimpa seorang Muslim maka Allah hendak menghapuskan dosa, menaikkan derajat, diterimanya amal kebaikan dan diangkatnya siksa. (Fathul Bari, Juz 11, hal 90). Dawuh Imam Hajar Al-‘Asqolani juga sejurus dengan Imam Junaedi Al-Baghdadi yang bahkan mengatakan bahwa seseorang tak akan mendapatkan manisnya iman hingga ketika datang kepadanya bala/musibah, maka ia ridha dan bersabar. (Mukasyafatul Qulub:14).
Dalam sebuah hadits seperti dikutip Al-Imam Hujjatul Islam, ketika seorang hamba sakit, Allah mengutus dua malaikat. Maka, Allah bertanya kepada malaikat: Lihatlah apa yang dikatakan oleh hamba-Ku? Maka jika dia mengatakan: Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka Allah akan mengangkat penyakit karena Allah Maha Mengetahui. Maka, katakanlah kepada hamba-Ku: Kalaupun Aku mewafatkanya, maka Aku akan memasukkannya ke dalam surga, dan jika Aku menyembuhkannya, maka Aku akan ganti daging yang lebih baik daripada daging (sebelumnya) dan Aku akan ganti dengan darah yang lebih baik dari darahnya, dan Aku akan lebur kesalahan-kesalahannya.” (Mukasyafatul Qulub:15).
Betapa sungguh kesabaran seorang hamba akan mendapatkan derajat yang mulia, terutama sabar ketika kita mendapat musibah sakit misalnya, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang sabar, seperti Firman-Nya (QS Ali Imran: 146). Namun, meskipun kesabaran sangatlah susah, seorang Muslim harus menjalankannya karena pada hakikatnya musibah adalah dari Allah, seperti yang dikutip Imam Ibn ‘Atho’ yang memperingatkan dalam hadits Qudsi Nabi, ”Barang siapa yang tidak ridha dengan ketentuan-Ku dan tidak bersyukur atas nikmat-nikmat-Ku, maka silakan mencari Tuhan selain-Ku.” (Mukasyafatul Qulub:16).
Dari berbagai referensi di atas, penulis sungguh mengamini bahwa sabar adalah kunci kesembuhan. Apa yang hendak dilakukan ketika kita tidak bersabar atas ketentuan Allah tersebut? Sabar adalah tetap bertawakal kepada Allah, meminta jalan kesembuhan atas penyakit yang diderita, tidak pasrah dan mampu mengontrol emosi, karena ketika sakit emosi kita cenderung labil, memiliki kemauan agar sembuh dan yakin sembuh. Lebih lanjut, ketika kita bersabar, maka tensi dan hati kita menjadi tenang. Jika hati kita tenang, maka hati menjadi lega, relieved, sehingga akselerasi kesembuhan akan kita dapatkan.
Pada akhirnya, selalu belajar menjadi hamba yang bersabar atas segala musibah dengan ikhtiar lahir dan batin mutlak kita lakukan karena di dalamnya terdapat kabar gembira dan juga peringatan keras dari Allah.
Wallahu ‘Alamu Bishawab
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang NU Bayah; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot & Sabilillah dan Madrasah Aliyah Nahdlatul Muslimin Kudus; serta Universitas Diponegoro Semarang
Terpopuler
1
Soal Pertambangan di Raja Ampat Ini Kata Ekonom Unusia
2
Ketika Alumni Pesantren Krapyak Sinergi Ekonomi
3
Khutbah Jumat: Dzikir Menenteramkan Jiwa
4
Hukum Menghadiri Undangan Pernikahan Nonmuslim
5
Penulisan Sejarah Ulang yang Dicap Resmi Abaikan Pluralitas dan Lahirkan Otoritarianisme
6
Ketua PBNU: Pemerintah Harus Berpikir Mengurangi Ketergantungan Eksploitasi SDA
Terkini
Lihat Semua