Opini

Menyikapi Ujian Sakit

Sabtu, 1 April 2023 | 22:14 WIB

Menyikapi Ujian Sakit

Sakit. (Foto: Freepik)

Manusia tak akan luput dari berbagai musibah termasuk di dalamnya ‎mengalami rasa sakit. Setelah ikhtiar lahir dilakukan, maka harus juga ‎diimbangi dengan ikhtiar-ikhtiar batin seperti sabar. Imam Abi Hamid ‎Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam Kitab Tasawuf  ‘Mukasyafatul ‎Qulub’ membeberkan secara gamblang, ’’Barang siapa berkeinginan selamat ‎dari azab Allah, memperoleh pahala dan rahmat-Nya, masuk ke dalam surga-‎Nya maka hendaknya seseorang mencegah dari berbagai syahwat dunia, dan ‎bersabar atasnya,... yakni salah satunya bersabar terhadap musibah yang ‎menimpa.” (hal: 14). Beliau juga menjelaskan dalam kitab lainnya bahwa sabar ‎terkategorikan menjadi dua, salah satunya sabar terhadap musibah yang ‎menimpa badan di antaranya yaitu sakit yang akut.” (Ihya Ulumuddin: Juz 4, ‎hal 65). ‎

‎ 
Lantas sebagai seorang awam yang cetek dalam pemahaman agama, bagaimana ‎kita bersikap terkait musibah sakit?‎
‎ 

Sakit adalah alarm dari Allah agar kita terbangun dan tidak ‘tidur’ terlalu ‎lama. Tidur dalam kelalaian dan kelezatan dunia. Ketika sakit, maka badan ‎menjadi susut dan tenaga menjadi lemah. Manusia benar-benar menjadi ‎‎‘manusia’ dengan segala kelemahannya, seperti Firman Allah dalam QS An-‎Nisa 28, ’’Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia ‎diciptakan (dalam keadaan) lemah.”‎

‎ 
Bagi seorang Mukmin yang Muslim, seyogianya selalu teringat sebuah hadits ‎yang diriwayatkan oleh Sayyidatina Aisyah yang disitir oleh Abul Yaman ‎Hakam bin Nafi’ dari Syuaib, Zuhriyyi merujuk ke Urwah bin Zubair, Rasul ‎bersabda, ”Tidak ada satu pun musibah yang menimpa seorang Muslim, ‎melainkan dosanya dihapus Allah Ta’ala karenanya, sekalipun musibah itu ‎hanya karena tertusuk duri.” (Sahih Bukhori, Juz 4, hal 3, hadis No. 5640). ‎Terkait hadits tersebut, Imam Al-Hafidz bin Ali bin Hajar Al-‘Asqolani ‎memberikan syarahnya tentang perbedaan redaksi hadits yang diriwayatkan ‎oleh Imam Ahmad, begitu juga Imam Ibnu Hibban, dan Imam Muslim. Namun, ‎benang merahnya sama yakni bahwa ketika musibah menimpa seorang ‎Muslim maka Allah hendak menghapuskan dosa, menaikkan derajat, ‎diterimanya amal kebaikan dan diangkatnya siksa. (Fathul Bari, Juz 11, hal ‎‎90). Dawuh Imam Hajar Al-‘Asqolani juga sejurus dengan Imam Junaedi Al-‎Baghdadi yang bahkan mengatakan bahwa seseorang tak akan mendapatkan ‎manisnya iman hingga ketika datang kepadanya bala/musibah, maka ia ridha ‎dan bersabar. (Mukasyafatul Qulub:14).‎

‎ 
Dalam sebuah hadits seperti dikutip Al-Imam Hujjatul Islam, ketika seorang ‎hamba sakit, Allah mengutus dua malaikat. Maka, Allah bertanya kepada ‎malaikat: Lihatlah apa yang dikatakan oleh hamba-Ku? Maka jika dia ‎mengatakan: Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka Allah akan ‎mengangkat penyakit karena Allah Maha Mengetahui. Maka, katakanlah ‎kepada hamba-Ku: Kalaupun Aku mewafatkanya, maka Aku akan ‎memasukkannya ke dalam surga, dan jika Aku menyembuhkannya, maka Aku ‎akan ganti daging yang lebih baik daripada daging (sebelumnya) dan Aku akan ‎ganti dengan darah yang lebih baik dari darahnya, dan Aku akan lebur ‎kesalahan-kesalahannya.” (Mukasyafatul Qulub:15).‎

‎ 
Betapa sungguh kesabaran seorang hamba akan mendapatkan derajat yang ‎mulia, terutama sabar ketika kita mendapat musibah sakit misalnya, karena ‎sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang sabar, seperti Firman-Nya ‎‎(QS Ali Imran: 146). Namun, meskipun kesabaran sangatlah susah, seorang ‎Muslim harus menjalankannya karena pada hakikatnya musibah adalah dari ‎Allah, seperti yang dikutip Imam Ibn ‘Atho’ yang memperingatkan dalam ‎hadits Qudsi Nabi, ”Barang siapa yang tidak ridha dengan ketentuan-Ku dan ‎tidak bersyukur atas nikmat-nikmat-Ku, maka silakan  mencari Tuhan selain-‎Ku.” (Mukasyafatul Qulub:16).‎

‎ 
Dari berbagai referensi di atas, penulis sungguh mengamini bahwa sabar ‎adalah kunci kesembuhan. Apa yang hendak dilakukan ketika kita tidak ‎bersabar atas ketentuan Allah tersebut? Sabar adalah tetap bertawakal kepada ‎Allah, meminta jalan kesembuhan atas penyakit yang diderita, tidak pasrah ‎dan mampu mengontrol emosi, karena ketika sakit emosi kita cenderung labil, ‎memiliki kemauan agar sembuh dan yakin sembuh. Lebih lanjut, ketika kita ‎bersabar, maka tensi dan hati kita menjadi tenang. Jika hati kita tenang, maka ‎hati menjadi lega, relieved, sehingga akselerasi kesembuhan akan kita ‎dapatkan. ‎

‎ 
Pada akhirnya, selalu belajar menjadi hamba yang bersabar atas segala ‎musibah dengan ikhtiar lahir dan batin mutlak kita lakukan karena di ‎dalamnya terdapat kabar gembira dan juga peringatan keras dari Allah.‎

‎ 
Wallahu ‘Alamu Bishawab

‎ 
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil ‎Cabang NU Bayah; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI ‎Kabupaten Lebak; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot & Sabilillah dan ‎Madrasah Aliyah Nahdlatul Muslimin Kudus; serta Universitas Diponegoro ‎Semarang