• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 17 Mei 2024

Opini

Peran Perempuan dalam Perdamaian Dunia Internasional

Peran Perempuan dalam Perdamaian Dunia Internasional
Ilustrasi
Ilustrasi

Berbicara tentang perempuan, tentunya kita harus menelisik kembali sejarah pada masa lampau bahwa peran perampuan memiliki  kontribusi besar bagi kemerdekaan Indonesia. Gerakan perempuan di Indonesia, kita bisa melihatnya dari Masa Kolonial (sebelum 1945). 

 

Pada masa itu, muncul tokoh-tokoh perempuan di daerah-daerah yang aktif melawan penjajah untuk meraih kemerdekaan. Seperti halnya di Aceh ada Cut Nyak Dhien (komandan perang Aceh) dilanjutkan perjuangan Cut Mutia. Ratu Sima (618) menjadi pemimpim perempuan yang jujur di Jawa Tengah. Selain itu, ada juga RA Kartini yang kita kenal sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia.

 

Kebangkitan gerakan perempuan pada masa kolonial semakin terasa di tahun 1928 dengan diselenggarakannya kongres Perempuan 1 (22-25 Desember) di Yogyakarta dengan tujuan memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan politik. 

 

Perbincangan dan perjuangan hak-hak perempuan timbul karena adanya kesadaran pergaulan, dan arus informasi yang membuat perempuan Indonesia semakin kritis dengan apa yang menimpa kaumnya. Perjuangan hak-hak perempuan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan pergerakan kaum perempuan di dunia. 

 

Perkembangan gerakan kaum perempuan menunjukkan kemajuannya dengan munculnya wacana gender pada tahun 1977. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh sekelompok ferminis di London yang tidak lagi menggunakan isu-isu seperti patriarkal. Namun, mereka lebih memilih menggunakan gender discourse. Munculnya perkembangan gerakan perempuan di belahan dunia, membawa imbas terhadap gerakan perempuan di Indonesia pada umumnya. 

 

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa peperangan adalah suatu aktivits yang mengerikan. Dampak dari peperangan bisa merugikan berbagai aspek. Kondisi ini sangat merugikan banyak orang dan mengancam perdamaian dunia. Dalam dunia peperangan baik itu peperangan antar negara maupun perang saudara, perempuan dan anak sering menjadi korban walau mereka tidak bersalah. 

 

Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam dunia perang dianggap sesuatu yang lumrah dan biasa-biasa saja. Contoh kasus pemerkosaan massal di Bozniah yang menunjukan lagi-lagi perempuan menjadi korban dalam peperangan. 

 

Pada perang dunia ke II Jepang mengunakan perempuan sebagai pelengang kekuasaan mereka yakni menyediakan perempuan sebagai budak seks untuk anggota Tentara Jepang. Hal itu demi memenuhi kebutuhan seksual tentara mereka yang balik dari tempat peperangan yang biasanya disebut sebagai (jugung ianfu). Kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya hadir untuk memenuhi kebutuhan nafsu belaka juga hadir sebagai bentuk kebencian terhadap lawan. Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan runtuhnya pemerintahan Afganistan yang diambil alih oleh Taliban. 

 

Afghanistan merupakan negara yang berbahaya bagi perempuan. Mereka mengalami tekanan seperti susahnya akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan serta mengalami kekerasan. Pemerintah Afghanistan telah berupaya dengan meratifikasi Convention on the Elimination All Form of Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 2003, namun hingga tahun 2013 komite CEDAW melaporkan bahwa pemerintah Afghanistan gagal dalam menaati komitmen implementasi CEDAW dalam hal perlindungan hak perempuan dinegara mereka. 

 

Maka dari itu, muncul Women for Women International (WFWI) sebagai International Non-Governmental Organization (INGO) yang bertanggung jawab dalam membantu memberdayakan perempuan yang terdiskriminasi dengan langsung terjun pada perempuan level bawah di Afghanistan. WFWI melakukan pemberdayaan perempuan dengan memberikan berbagai macam pendidikan dan pelatihan terhadap perempuan. 

 

Taliban terakhir kali menguasai Afghanistan pada periode 1996 hingga 2001, sebelum Amerika Serikat dan sejumlah negara sekutunya menginvasi negara tersebut. Selama lima tahun kekuasaan Taliban itu, perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa hidup di bawah aturan ketat. Perempuan saat itu tidak diberi hak bersekolah maupun hak untuk bekerja. Mereka tidak diizinkan meninggalkan rumah tanpa pendamping laki-laki. Penutup wajah ketika itu wajib dikenakan para perempuan. 

 

Pencambukan dan eksekusi di depan umum, termasuk rajam akibat tuduhan perzinahan, dilakukan di stadion. Sejarah itu membuat para perempuan Afganistan cemas menghadapi masa-masa baru di bawah kekuasaan Taliban pada saat ini. Selama lebih dari enam dekade, operasi perdamaian internasional telah dikenal dan dijalankan di puluhan negara-negara dunia. Operasi perdamaian internasional ini telah menjadi sebuah operasi kemanusiaan yang mengglobal yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik dan membantu terciptanya perdamaian yang berkelanjutan (long-lasting peace). 

 

Olehnya dibutuhkan keterlibatan perempuan dalam kemajuan agenda perdamaian dan keamanan memang menjadi bagian yang sangat penting untuk mengedukasi para anak-anak dan perempuan secara umum. Perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dan menerima beban ganda dalam kondisi konflik, namun tak jarang mereka juga menjadi agen penjaga perdamaian. 

 

Komitmen Indonesia terhadap pelibatan perempuan dalam proses penyelesaian konflik pun tidak tanggung-tanggung. Indonesia telah memiliki RAN P3AKS (Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial) dan tercatat sebagai penyumbang women peacekeepers atau agen penjaga perdamaian perempuan terbesar ke-7 di dunia dan pertama di Asia Tenggara dalam hal perlindungan penduduk sipil pada pergolakan di Suriah. 

 

Olehnya menjadi penting keterlibatan perempuan sebagai agen perdamaian dunia. Penting juga kiranya untuk  memahamai bahwa Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 yang diatur dalam hukum humaniter internasional berlaku penuh dalam hal sengketa bersenjata non internasional bertujuan untuk melindungi korban-korban dalam sengketa bersenjata non-internasional. Termasuk perlindungan terhadap penduduk sipil laki-laki maupun perempuan.

 


Sadriana, Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional Kopri PB PMII
 


Editor:

Opini Terbaru