Perilaku manusia jahiliah modern atas harta yang telah dianugerahkan Allah SWT adalah mengkufurinya. Sikap kufur ini ditandai dengan kepongahan atas nama harta dengan show off pada sesama baik di dunia realita maupun di dunia maya. Hal ini dimaksudkan agar manusia lain takjub dan menganggap hebat dengan harta yang diperolehnya. Padahal, Allah SWT melarang manusia untuk bersikap angkuh (QS Al-Anfal:47) dan menyombongkan diri (QS Al-Isra’:37) karena sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang sombong dan membangga-banggakan diri (QS An-Nisa’:36).
Pamer harta benda apalagi dilakukan oleh pejabat publik, atau anak keturunannya adalah tindakan ketidakwarasan akut karena ia menafikan derita dan empati publik, terlebih jika keadaan masyarakat suatu bangsa sedang dilanda krisis multidimensional. Mereka ini lupa dan terlelap dalam laku kehidupan hedonisme dunia—sebuah kehidupan yang bercorakkan pola pikir dan tingkah laku yang didasarkan pada kelezatan dunia dan mencampakkan kehidupan akhirat.
Seorang Muslim hendaknya memiliki neraca penyeimbang sehingga dapat menakar harta kekayaan dengan perspektif keimanan. Dengan begitu, ia akan dapat memosisikaan harta kekayaan sesuai dengan peruntukannya dan dapat bersikap zuhud terhadap dunia di atas gelimang harta. Hal ini seperti tercermin dari kezuhudan seorang ulama besar dalam Islam, Imam Malik R.A., yang seorang miliarder dan dermawan, namun dunia tidak singgah dalam hati dan pikirannya.
Imam Al-Ghazali dalam pengembaraan spiritualnya, tercitrakan dalam masterpiecenya, Ihya Ulumuddin pada lembar 211-237, juz 4, memberikan clue tentang zuhud. “Ketahuilah, banyak orang mengira, orang yang meninggalkan harta duniawi adalah orang yang zuhud (zahid). Padahal tidak mesti demikian. Pasalnya, meninggalkan harta dan berpenampilan “buruk” itu mudah dan ringan bagi mereka yang berambisi dipuji sebagai seorang zahid.”
Berapa banyak kelompok rahib, kata Imam Al-Ghazali, yang mengonsumsi sedikit makanan setiap harinya? Mereka juga mendiami padepokan tanpa pintu. Tetapi mereka mengharapkan perhatian masyarakat agar disebut sebagai kelompok yang zuhud. Padahal sikap demikian tidak menunjukkan sikap kezuhudan karena kezuhudan dari harta duniawi tidak dapat dilepaskan dari kezuhudan yang berkaitan dengan ketenaran.
Menurut Imam Al-Ghazali, terdapat tiga tanda kezuhudan. Pertama, tidak terpengaruh oleh keberadaan dan ketiadaan benda. Kedua, tidak terpengaruh oleh pujian dan hinaan. Ketiga, terhibur dan senang dengan Allah SWT. Merujuk dari ketiga tanda tersebut, maka contoh sempurna yang bisa kita ambil sebagai role model kezuhudan di era modern di mana kita masuk ke dalam pergumulan masyarakat Society 5.0 adalah Nabi Sulaiman A.S. Seorang nabi yang dikuasakan atas dirinya sebuah kerajaan kaya raya, menguasai bahasa burung dan semua binatang, mengendalikan angin, jin, dan setan. Alih-alih sombong dan congkak dengan kehebatannya, putra Nabi Dawud dari istri Oria itu, seperti terekam dalam QS An-Naml: 40 malah mengucapkan, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau berbuat kufur.”
Akhirnya benang merah dalam menyikapi maraknya perilaku hedonisme dunia adalah dengan bersikap sebenar-benarnya zuhud dengan kesederhanaan yang terpancar bukan citra glamor selebritas.
Wallahu ‘Alamu Bisshawab
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang NU Bayah; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Lulusan Pondok Pesantren Al-Khoirot, Sabilillah Kudus; dan Universitas Diponegoro Semarang
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Asyura
2
Katib Syuriyah PWNU Banten: PD-PKPNU Menguatkan Silaturahim dan Sinergitas
3
Kunci Bisnis Itu Fokus, Berani, dan Sinergi
4
Hukum, Keutamaan, dan Niat Puasa Muharram, Termasuk Tasu’a dan Asyura
5
Pengunjuk Rasa soal ODOL Sempat Ditangkap, Ini Kata Ketua PBNU
6
Sinergikan Ekonomi Alumni Krapyak, Sanad Geber Silaturahim dan Kopdar Nasional
Terkini
Lihat Semua