Keislaman

Iddah Perempuan Hamil karena Perselingkuhan

Selasa, 14 Januari 2025 | 15:55 WIB

Iddah Perempuan Hamil karena Perselingkuhan

Ilustrasi perempuan hamil. (Foto: Freepik)

ADA perempuan dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya, tetapi dalam keadaan hamil dan hamilnya karena selingkuh, bagaimana iddah-nya? 
 
Iddah adalah masa tunggu dalam waktu tertentu yang harus dilalui perempuan setelah ditinggal wafat atau diceraikan suaminya sebagai bentuk ta'abbud (ibadah kepada Allah), sebagai tanda duka cita atas kematian suami, dan untuk memastikan kebersihan rahim. Kewajiban menjalani masa iddah telah ditetapkan melalui sejumlah ayat dalam Al-Qur'an, banyak hadits Nabi Muhammad saw, dan ijma' umat Islam.   
 
Sebelum lebih jauh membahas pertanyaan, perlu diketahui, iddah hanya berlaku bagi pasangan dalam perkawinan yang sah. Di luar perkawinan yang sah tidak ada iddah.    
 
Keadaan perempuan yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suaminya berbeda-beda. Ada kalanya perempuan tersebut masih kecil yang belum mengalami haid, perempuan dewasa yang mengalami haid, perempuan yang sudah tidak haid (menopause), atau perempuan sedang hamil. Perbedaan keadaan ini menjadikan masa iddah juga berbeda-beda.    
 
Mengacu pertanyaan, kondisi perempuan yang ditinggal mati atau diceraikan suaminya sedang dalam keadaan hamil, maka kami akan fokus pada iddah perempuan hamil.    
 
Berkaitan perempuan hamil sebab ditinggal mati atau ditalak, ulama sepakat iddah-nya berakhir dengan melahirkan anak. Hal ini berdasarkan firman Allah swt:
 
   وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ   
 
Artinya: "Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya." (QS Aṭ-Ṭhalaq: 4)   
 
Dari ayat di atas dipahami, masa iddah perempuan hamil berakhir ketika ia melahirkan anaknya. Karena kebersihan rahim dari kandungan tidak akan tercapai kecuali dengan kelahirannya.   
 
Jika seorang perempuan hamil lalu dicerai atau suaminya meninggal dunia, maka masa iddah-nya berakhir dengan kelahiran anaknya, bahkan jika itu terjadi hanya beberapa waktu setelah kematian suaminya.   
 
Hal ini berdasarkan hadits tentang Sabi’ah binti Al-Harits yang ditinggal wafat oleh suaminya saat ia sedang hamil. Ia melahirkan sekitar sepuluh malam setelah kewafatan suaminya. Kemudian ia datang kepada Nabi saw. Lalu beliau bersabda: 
 
  انكحي. وفي رواية: فأفتاني بأني قد حللت حين وضعت حملي، وأمرني بالتزويج إن بدا لي   
 
Artinya: "Menikahlah. Dalam riwayat lain disebutkan: 'Beliau memberi fatwa bahwa aku telah halal (selesai iddah) ketika aku melahirkan anakku, dan beliau memerintahkanku untuk menikah jika aku menginginkannya'." (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz IX, halaman 7177).   
 
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, iddah perempuan hamil sebab ditinggal mati suaminya atau diceraikan suaminya adalah sama, yaitu sampai melahirkan kandungannya meskipun tempo waktunya sangat singkat.    
 
Namun, bagaimana jika ternyata kandungan tersebut bukan berasal dari suaminya yang sah, melainkan buah dari perselingkuhan dengan laki-laki lain?    
 
Imam An-Nawawi menjelaskan, syarat selesainya iddah perempuan hamil dengan kelahiran anak adalah anak yang dilahirkan dapat dinasabkan kepada suaminya, baik secara jelas dan nyata; atau secara kemungkinan (ihtimal) saja.
 
     وَالثَّالِثُ: هُوَ الْحَمْلُ، وَيُشْتَرَطُ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِهِ شَرْطَانِ، أَحَدُهُمَا: كَوْنُهُ مَنْسُوبًا إِلَى مَنِ الْعِدَّةِ مِنْهُ. إِمَّا ظَاهِرًا، وَإِمَّا احْتِمَالًا، كَالْمَنْفِيِّ بِاللِّعَانِ. فَإِذَا لَاعَنَ حَامِلًا وَنَفَى الْحَمْلَ، انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوَضْعِهِ لِإِمْكَانِ كَوْنِهَا مِنْهُ، وَالْقَوْلُ قَوْلُهَا فِي الْعِدَّةِ إِذَا تَحَقَّقَ الْإِمْكَانُ   أَمَّا إِذَا لَمْ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ، بِأَنْ مَاتَ صَبِيٌّ لَا يُنْزِلُ وَامْرَأَتُهُ حَامِلٌ، فَلَا تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ، بَلْ تَعْتَدُّ بِالْأَشْهُرِ. وَلَوْ مَاتَ مَنْ قُطِعَ ذَكَرَهُ وَأُنْثَيَاهُ، وَامْرَأَتُهُ حَامِلٌ، لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا بِوَضْعِهِ عَلَى الْمَذْهَبِ، بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ لَا يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ 
 
Artinya: "Ketiga adalah iddah karena kehamilan. Ada dua syarat selesainya iddah dengan lahirnya kandungan. Pertama, kandungan tersebut dapat dinisbatkan kepada pihak yang menyebabkan iddah (suami), baik secara jelas maupun secara ihtimal (kemungkinan) saja, seperti menafikan anak melalui li’an.   
 
 
Jika seorang suami melakukan li’an terhadap istrinya yang sedang hamil dan menolak kandungannya sebagai anak darinya, maka masa iddah perempuan tersebut berakhir dengan melahirkan anaknya itu, karena adanya kemungkinan anak tersebut berasal dari suaminya. 
 
Pendapat yang dibenarkan dalam masalah iddah adalah pendapat istri bila terbukti adanya kemungkinan anak berasal dari suami.   
 
Jika tidak mungkin anak tersebut berasal dari suaminya, seperti suami adalah anak kecil yang belum mencapai usia dewasa dan meninggal dunia, sedangkan istrinya hamil, maka masa iddahnya tidak selesai dengan melahirkan kandungannya, melainkan berdasarkan bulan (empat bulan 10 hari).   
 
Demikian pula, jika suami yang alat kelamin dan kedua testisnya terpotong, meninggal dunia, dan istrinya sedang hamil, maka menurut pendapat mazhab, masa iddah istrinya tidak selesai dengan melahirkan kandungan tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa anak yang lahir tidak dapat dinisbatkan kepadanya." (An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz VIII, halaman 373-374).    
 
Walhasil, hukum iddah perempuan hamil sebab ditalak atau ditinggal mati suaminya diperinci sebagai berikut:    
 
Pertama, jika nasab anak yang dikandung tersambung kepada suami yang mentalak atau meninggal, baik secara nyata atau kemungkinan saja, maka iddah-nya selesai dengan melahirkan anak tersebut.  
 
Kedua, jika nasab anak yang dikandung tidak mungkin tersambung kepada suaminya, seperti suami belum baligh atau selama kurun empat tahun suami pergi dan istri tidak pernah berhubungan badan dengan suami; atau suami adalah orang yang alat kelamin dan kedua testisnya terpotong, kemudian suami meninggal, maka iddah-nya empat bulan 10 hari, tidak dengan dengan melahirkan kandungannya.    
 
Hemat penulis, iddah perempuan yang hamil dengan selingkuhan sebagaimana dalam soal adalah sampai ia melahirkan anaknya.   
 
Hal ini, sebab hukum asal nasab anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang sah adalah kepada suaminya. Meskipun secara faktual istri berselingkuh dengan laki-laki lain sampai hamil.   
 
Hanya, dalam Islam ada mekanisme sumpah li'an bagi suami untuk tidak mengakui anak yang dilahirkan istri sebagai anaknya, sehingga nasab anak tidak bersambung kepada suami, melainkan kepada istri.   
 
Namun demikian, tetap saja ada kemungkinan anak itu adalah anaknya, sehingga iddah perempuan hamil sebab perselingkuhan adalah sampai melahirkan, karena nasab anak masih memungkinkan (ihtimal) bersambung kepada suaminya. Wallahu a'lam. (NUO)   
 

 
Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo, Jawa Tengah
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND