Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023

Opini

Mencintai Indonesia Nirbatas

Indonesia. (Foto: NU Online)

Disadari atau tidak, masih juga banyak pihak yang selalu mengklaim mencintai Indonesia, tetapi ‎tidak tahu bagaimana cara mencintainya. Ibarat mencintai seorang gadis belia, tetapi tidak tahu ‎bagaimana cara mendapatkan cinta gadis tersebut. Bagi pihak-pihak ini, mencintai Indonesia ‎adalah dengan mengubah falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, menjadi berideologi ‎khilafah, bahkan supaya terdengar keren, ditambahkan kata ‘Islamiyyah.’ Jadi, lengkapnya ‎Khilafah Islamiyyah (Kekhalifahan yang bernuansa Islam atau mengikuti syariat Islam) atau ‎dengan terma lain yang masih mencatut nama Islam, seperti kasus teranyar, munculnya Khilafatul ‎Muslimin, sebuah organisasi keagamaan Indonesia yang mengusung ideologi khilafah.‎


Baca Juga:
Soal Kontribusi NU untuk Indonesia, Ini Jawaban Presiden Jokowi

‎ 
Sebagai bagian penopang dari pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), umat Islam ‎mampu beradaptasi dan menerima Pancasila sebagai dasar NKRI, panduan hidup berbangsa, ‎kepribadian dan jiwa bangsa, perjanjian luhur dan cita-cita serta tujuan berbangsa, dan satu-‎satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini karena, nilai-nilai yang terkandung ‎dalam sila-sila Pancasila sejurus dengan apa yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam. ‎Keduanya berkelindan tidak saling menafikan.‎


Baca Juga:
Ketum PBNU Jelaskan Dua Sikap yang Dibutuhkan Indonesia dan Dunia 

‎ 
Pancasila adalah konsensus kebangsaan yang mampu menyatupadukan semua komponen ‎pendukung bangsa Indonesia yang terdiri atas suku, agama, ras, dan antargolongan. Para pendiri ‎bangsa Indonesia telah bergulat, berdebat, berdialektika pemikiran serta merumuskan panduan ‎berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila.‎

‎ 
Namun, dewasa ini hal yang miris sungguh terjadi, hubungan antaranak bangsa jauh panggang ‎dari api, dengan ditandai berbagai letupan dan friksi yang cenderung mengarah disintegrasi. Lem ‎perekat ‘made in Indonesia’ itu pun belum cukup mampu melekatkan semua komponen bangsa ‎Indonesia yang merupakan rumah besar dengan dihuni berbagai suku, agama, ras dan ‎antargolongan. Bayangkan rumah besar itu didiami lebih dari 278 juta manusia yang menyebar ‎dari Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Jawa serta pulau-pulau kecil sekitar ‎‎17.504 pulau. Dari sisi penganut agama, Indonesia menjamin berbagai agama hidup ‎berdampingan, seperti Islam, Protestan, Katolik, Budha, Konghucu dan lainnya. Keberagaman ‎tersebut  juga terjadi pada bahasa daerah yang jumlahnya 721, meski tidak semua dituturkan ‎secara masif oleh penduduk yang mendiami kepulauan di Indonesia.‎

‎ 
Semakin jelas, bahwa Indonesia adalah rumah besar keberagaman. Indonesia bukanlah Jawa, ‎karena didiami lebih dari 136 juta penduduk. Bukan juga Papua, karena luas wilayahnya terbesar, ‎yaitu 786.000 km2, juga demikian halnya Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Indonesia ‎bukanlah ketiganya. Indonesia sejatinya, adalah kelima-limanya. Indonesia juga bukan islam, ‎meskipun agama terpopuler tersebut, dipeluk oleh 85, 2 persen, sehingga Indonesia selalu dilabeli ‎negara dengan Muslim terbesar di dunia, yakni 230 juta. Indonesia bukan juga Protestan, Katolik, ‎Budha, Konghucu atau yang lainnya. Tetapi, keseluruhan agama itulah Indonesia.‎

‎ 
Persoalan yang mengemuka dewasa ini, adalah terjadi klaim yang saling menafikan ‎antarpenghuni rumah Indonesia. Ini rumahku bukan rumahmu, ini rumah kami bukan rumah ‎kalian. Saling klaim siapa yang lebih mencintai Indonesia; aku dan kelompokku lebih nasionalis ‎daripada kamu dan kelompokmu, kami dan golongan kami, lebih memelihara rumah besar itu, ‎daripada kalian dan kelompok kalian yang hanya bikin onar. ‎

‎ 
Saling klaim tentang asas manfaat; aku lebih bermanfaat dan membangun bangsa ini daripada ‎kamu dan klanmu, kami dan organisasi kami lebih memberikan rasa aman di tataran masyarakat ‎akar rumput daripada kalian dan organisasi kalian. Persoalan yang lain, adalah adanya faktor ‎eksternal, seperti konflik kepentingan di mana setiap individu atau kelompok membawa ‎kepentingan sendiri dan melupakan kepentingan bersama, yakni kepentingan nasional berbangsa. ‎

‎ 
Dalam keberagaman yang luar biasa itu sangat berpotensi untuk terpecah belah. Apalagi jika ‎terjadi berita palsu (hoax) dan provokasi yang sengaja disulutkobarkan oleh kelompok tertentu ‎untuk menyudutkan kelompok lainnya.‎

‎ 
Rasa cinta terhadap Indonesia harus terus digelorakan dengan tetap merawat legacy para leluhur ‎bangsa yakni NKRI yang berasaskan Pancasila. Nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila juga harus ‎mampu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai Ketuhanan YME, kemanusiaan yang ‎adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan ‎dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mutlak ‎untuk diperdengarkan, diperkenalkan, dijalankan dalam sebuah program kebangsaan ‎berkelanjutan demi tetap melekatkan Pancasila dalam benak generasi muda yang akan datang.‎

‎ 
Akhirnya, kehadiran ideologi selain Pancasila akan terus terjadi, karena perkembangan pola pikir ‎dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, negara sebagai otoritas yang memiliki kekuasaan ‎penuh, harus merumuskan pola-pola sistematis, masif dan berkelanjutan untuk tetap menjaga ‎NKRI utuh dan menghindari disintegrasi bangsa dengan menghidupkan kembali Pancasila ‎sebagai falsafah bangsa. Dengan begitu, ideologi yang berbau agama, berjargon surgawi, dan ‎menjanjikan kepada para pengikutnya sebuah masa depan semu penuh kilatan fatamorgana, akan ‎tertolak dengan sendirinya. Semoga! ‎

‎ 
Wallahu ‘Alamu Bisshawab

‎ 
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang NU Bayah; ‎Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Lulusan Pondok ‎Pesantren Al-Khoirot, Sabilillah Kudus; dan Universitas Diponegoro Semarang

Editor: Izzul Mutho

Artikel Terkait