Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023

Opini

Puasa dalam Era Siber

Puasa. (Foto: NU Online)

Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, tujuan berpuasa tidak lain untuk membentuk pribadi ‎bertakwa. Yakni, adanya kesantunan dan perangai luhur melakoni kehidupan sehari-hari. Imbas ‎ketakwaan mesti berjalan dua arah. Selain makin akrabnya bersinggungan hubungan vertikal, juga ‎tak kalah penting, adanya kebaikan horizontal. Terutama sekali, ritus agama ini menghendaki ‎adanya pemupukan rasa solidaritas/kepekaan terhadap sesama.‎


Baca Juga:
Hilal Nampak di Beberapa Wilayah, Gus Yahya: Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1444 H


Dalam suatu hari di bulan Ramadan, Nabi SAW menjumpai seseorang yang menghardik hamba ‎sahayanya. Melihat itu, baginda Nabi lantas berkata: “Makanlah roti ini.” Sontak saja, orang ‎tersebut berujar: “Ya Rasul, aku ini sedang berpuasa.” Nabi SAW kemudian menimpali: ‎‎“Bagaimana engkau berpuasa, namun memaki sahayamu.” Kisah ini rupanya menjadi asbabul ‎wurud dari hadits populer bahwa, betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan ‎dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.  ‎


Baca Juga:
Ngabuburit Ramadhan 2022, Diskusi Soal Puasa Dalam Keberagaman


Puasa yang menebarkan laku kemuliaan bak menjadi oase di tengah kehidupan yang makin serba ‎bebas seperti hari-hari ini. Kehidupan bermedia sosial dalam jagat maya merupakan wahana baru ‎yang menyajikan antarpengguna akun bisa saling berinteraksi tanpa batasan. Ironisnya, dunia ‎maya tak jarang disikapi dengan hiruk pikuk umpatan dan makian. Keluasan dan kebebasan ‎dengan bisa memiliki akun anonim, semakin menggerakkan percakapan di dunia siber menuju ‎ketidakberadaban sebagai manusia.‎


Salah satu keadaban yang diajarkan oleh ibadah puasa adalah hasrat kejujuran yang mesti ‎tertanam kuat. Kejujuran merupakan faktor integral kredibilitas seseorang yang menampilkan ‎adanya transparansi. Karena itu, langkah pertama dalam interaksi di era digital adalah, ‎memantangkan diri untuk bersikap bohong dan pengelabuhan diri.  Ibarat mengisi daftar riwayat ‎hidup pada kolom KTP atau SIM, kejujuran mesti diterapkan pula dalam konfirmasi isian akun ‎media sosial. Kita memahfumi betul aneka teror, ancaman, makian, hardikan, hampir-hampir ‎selalu disetir dan diuarkan dari akun-akun anonim.‎


Diakui atau tidak, fenomena mutakhir jagat maya juga mencuatkan buzzer, istilah yang sering ‎digunakan untuk upaya pencitraan; utamanya dalam urusan kontestasi politik. Dalam asas ‎kebebasan, hal tersebut sah-sah saja. Namun, bakal menjadi soal, manakala fenomena buzzer ‎kadung masuk dalam sengketa ujaran kebencian dan fitnah. Perang cuitan alias twitwar ‎sebenarnya bisa dimaknai sebagai ajang adu gagasan. Bila ini terjadi secara baik, tentu akan ‎menghasilkan keadaban masyarakat berdemokrasi. Sayangnya, yang tampak adalah sebaliknya. ‎Yakni, terbentuknya polarisasi dan fragmentasi masyarakat. ‎


Hilangnya keakraban sebagai sesama warga negara kian hari kita rasakan bersama eskalasinya. ‎Gegara perbedaan corak politik, hampir-hampir menjadi penyulut utama untuk kemudian ‎dijadikan bahan bakar perseteruan yang terus berlangsung. Karena itu, Ramadhan merupakan ‎momentum terbaik menjalin kembali ikatan persaudaraan warga negara. Dengan puasa, ada ‎pelajaran untuk berkontemplasi perihal kemanusiaan. Seperti yang telah banyak diuarkan, puasa ‎merupakan tamsil agar kita bisa memahami kepayahan fakir-miskin yang sehari-hari diakrabi ‎kesusahan beroleh pangan. Dengan imaji kesadaran tersebut, kita bisa sejenak melepaskan hiruk-‎pikuk celoteh politik pragmatis di dunia maya untuk kemudian beralih kepada urusan yang lebih ‎urgen dan subtil di sekitar kita: memastikan lingkungan sekitar tidak kelaparan, misal.‎


Dunia siber melepaskan busur panahnya beribu-ribu lebih cepat ketimbang busur panah ‎sungguhan. Solidaritas kemanusiaan pun berlangsung seketika. Peristiwa di pelbagai belahan ‎dunia, sontak menibakan respons cepat. Keunggulan yang tersemat pada jati diri jagat maya ‎inilah yang mesti kita maksimalkan perannya. Pada banyak sisi keagungan ibadah puasa, ‎kesadaran kolektif berupa merasa senasib sepenanggungan sebagai sesama manusia, menjadi ‎dorongan utama untuk diadopsi dalam pergaulan di dunia maya.‎


Modal berupa jumlah pengguna aktif media sosial masyarakat Indonesia dalam kisaran puluhan ‎juta, meniscayakan keselarasan sikap untuk meneguhkan ciri khas kita yang sering disematkan: ‎ramah, toleran, dan guyub. Dalam perang melawan aksi-aksi terorisme dan intoleransi, peranan ‎dunia maya teranggap penting dan ampuh. Masyarakat kita secara cepat menibakan kecaman atas ‎aksi biadab tersebut. Dengan aneka sematan tagar sebagai bahasa simbol mulai dari ‎‎#kamitidaktakut, #kamibersamapolisi, dan lain sebagainya, merupakan upaya counter pada diri ‎masyarakat kita bahwa orang Indonesia senyatanya tetap solid dan kompak bersama aparat ‎keamanan menanggulangi segala bentuk teror.‎


Keadaban puasa menghasratkan untuk cermat dan penuh kehati-hatian atas setiap pijakan ‎langkah kaki dan gerak jemari; agar pahala puasa bisa terengkuh. Relevansi berpuasa di hari-hari ‎ini, saat aksi intoleran dan ekstremisme makin menguat, adalah dengan berhati-hati pula serta ‎berpikir lebih mendalam saat akan membuat postingan dan menyebarkan konten. Karena itu, ‎upaya pemaksimalan berikutnya adalah menjadikan lini masa media sosial kita sebagai ruang yang ‎bersih dari konten-konten negatif. Me-remove akun-akun penguar hasutan. Membagikan ‎informasi-informasi berfaedah. Dan, khusyuk mendalami ilmu agama melalui ngaji online yang ‎semarak dibawakan para kiai yang mumpuni ilmu serta berjiwa nasionalis-religius. Walhasil, cara-‎cara seperti ini bisa sedikit-banyak mematikan paham radikalisme dan menumbuhkan perangai ‎luhur dalam beragama di era siber seperti sekarang. Wallahu a’lam               ‎


Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus

Editor: Izzul Mutho

Artikel Terkait