Tangerang Selatan, NU Online Banten
Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangerang Selatan (Tangsel) Kiai Muhammad Hanifuddin mengatakan, yang perlu diwaspadai di diri masing-masing adalah munculnya hasud, dengki.’’Ini penyakit hati. Hasud itu tidak boleh, karena perbuatan tercela. Dapat memakan kebaikan seperti api melalap kayu bakar,’’ ujarnya saat ngaji halaman 89-90 Kitab Syarhun Lathifun ‘ala Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama di Lantai 3 Graha Aswaja NU Tangsel, Ciputat, Tangsel, Selasa (4/2/2025) malam.
Santri almaghfurlah KH Ali Mustafa Yakub, pendiri Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, itu melanjutkan, hanya ada pengecualian terkait hasud dalam dua hal. Kemudian, Kiai Hanif membacakan hadits urutan ke-30 dalam kitab tersebut. Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim tersebut berbunyi, la hasada illa fitsnaini; rajulin atahullahu al-Qur’ana fahuwa yaqumu bihi anaallaili wa anaannahari, wa rajulin atahullahu malan fahuwa yunfiquhu anaallaili wa anaannahari.
’’Intinya, tidak boleh hasud kecuali dalam dua hal. Seorang lelaki yang Allah berikan Al-Qur’an, kemudian mengerjakan sepanjang malam dan siang; membaca, memahami, dan mengamalkannya. Dan seorang lelaki yang Allah berikan harta lalu menafkahkannya di siang hari dan malam hari. Hasud dalam hadits tersebut dijelaskan dalam syarah adalah ghibthah, masuk yang ketegori mahmudah, terpuji. Secara umum, ghibthah boleh,’’ terang pria yang malam itu mengenakan kemeja putih lengan panjang tersebut.
Ghibthah, lanjutnya, artinya berangan-angan sesuatu seperti yang didapatkan oleh saudaranya atau orang lain tanpa menginginkan apa yang diperoleh orang tersebut hilang.
Baca Juga
Antara Tahadduts Binni’mah dan Riya
Dalam syarah juga dijelaskan, mengutip Imam Al Baghawi yang membagi hasud menjadi dua. Pertama yang diharamkan. Ini tercela dalam kondisi apa pun. ’’Mengangankan hilangnya nikmat Allah dari seorang hamba. Baik soal agama maupun dunia. Baik hanya di hati saja. Lebih-lebih melakukan sesuatu agar nikmat itu hilang. Ini lebih tercela lagi. Ini hasud yang memakan amal kebaikan seseorang seperti api memakan kayu bakar,’’ ungkapnya.
Kedua, berangan-angan tidak hilangnya nikmat Allah yang telah didapatkan seseorang, di saat bersamaan, dia ingin mendapatkan yang sama. Baik hampir sama, sama persis, atau melebihi yang didapatkan orang lain. ’’Inilah ghibthah. Terbagi menjadi dua. Baik dan tercela. Yang baik, melihat nikmat urusan agama yang diberikan Allah kepada orang lain, lalu orang tersebut ingin mendapatkan yang sama. Ini kategori mengangankan kebaikan,’’ imbuh kiai asal Sragen, Jawa Tengah, yang juga dosen Pondok Pesantren Darus-Sunnah Ciputat, itu.
Sedangkan ghibthah yang tercela mengangankan berhasil mendapatkan urusan dunia, harta benda, tapi untuk kesenangan, kelezatann, dan memperoleh syahwat.’’Dari keterang tersebut jelas, bahwa hasud itu tercela dalam kondisi apa pun. Adapun hasud yang berarti ghibthah, itu terkadang ada yang baik, kadang ada yang tercela,’’ jelas pria yang pernah sembilan tahun menimba ilmu di Pondok Pesantren Ringinagung, Kediri, Jawa Timur, tersebut.
Sekadar diketahui, ngaji kitab rutin ini dilaksanakan setiap Selasa malam. Satu rangkaian dengan istighotsah dan pembacaan Shalawat Nariyah yang digelar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangsel.
Perlu diketahui juga, Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama merupakan karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Kitab Mbah Hasyim—sapaan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari—yang berkenaan dengan berdirinya Jam’iyyah NU itu, memiliki kekhasan. Kitab tersebut dilampirkan bersamaan dengan Mukaddimah Qanun Asasi Nahdatul Ulama yang berkaitan erat (tata'allaq) dengan berdirinya NU.
Arbain Haditsan Mbah Hasyim ini dimulai dengan pesan kebaikan, bagaimana esensi agama, lalu bagaimana pula jika agama diserahkan kepada mereka yang bukan ahlinya. Redaksi yang ditulis oleh Mbah Hasyim dalam Arbain Haditsan tidak melulu dari Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim saja, akan tetapi juga dari Tabrani, Abi Dawud hingga kutipan dari Abu Nuaim Al-Asfahani, yang masih relevan hingga sekarang. Artinya, ada unsur continuity (keberlangsungan) di situ. Dari sinilah keistimewaan sosok Mbah Hasyim mampu meletakkan 40 hadits pilihan sebagai fondasi Jam'iyyah Nahdatul Ulama.
Sedangkan Syarhun Lathifun merupakan syarah atas Arbain Haditsan yang ditulis oleh Khoiruddin Habziz, santri dan pengurus Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur. Kitab dengan tebal 124 halaman tersebut diberi pengantar oleh Wakil Rais ’Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Afifuddin Muhajir, yang juga mengajar di Ma’had Aly Situbondo. (Mutho)
Baca Juga
NU Antibid’ah? Bid’ah yang seperti Apa
Terpopuler
1
Target Desember 2025 Selesai, Pembangunan Gedung Kampus oleh PWNU Banten Dilanjutkan
2
Rencana Presiden Prabowo Hapus Kuota Impor Bisa Rusak Produk Petani Lokal
3
Menlu Sugiono Bantah Relokasi Warga Gaza
4
Kedaulatan Pangan Terwujud jika Kebijakan Berpihak Petani
5
Ketum PBNU: Kerja Sama Multilateral Antarnegara Jadi Upaya Memerdekakan Palestina
6
Haul Satu Abad Syaikhona Kholil; dari Seminar, Tahlil, hingga Peluncuran Kitab
Terkini
Lihat Semua